"Wah... Apa ini? Ada yang baru dikantor kita." Ucap Razel sambil merapikan seragamnya.
"Mesin pembuat kopi. Coba deh pake." Sahut Heru sambil mengangkat cangkir kopinya.
"Itu bikinnya pakai mesin ini?" Tanya Razel penasaran.
"He-em."
Razel memperhatikan mesin dan meraba-rabanya. Lalu menoleh ke Heru.
"Hehehe..."
"Kenapa cengengesan gitu?" Tanya Heru heran.
"Aku ga tau cara makenya."
"Ckckck..." Heru meletakkan cangkirnya dan mendekat untuk mengajari Razel.
"Memangnya kopinya disitu udah habis?"
"Masih ada. Dikit. Aku butuh lebih banyak kafein."
"Ambil kertas penyaringnya, pasang disini trus ini. Kopinya ditaruh disini. Makin banyak, makin pekat. Tergantung airnya juga seberapa banyak. Lalu... Tunggu sampai airnya selesai netes kesini." Kata Heru sambil mempraktekkan yang dikatakannya.
"Oh... Gitu doang." Gumam Razel.
"Iya, gitu doang." Sahut Heru kalem.
Tetes-tetes terakhir berhasil masuk ke dalam poci. Heru menuangkannya ke dalam cangkir lalu membangunkan Razel yang tengah tertidur dengan menyandarkan kepalanya di atas meja.
"Ini." Kata Heru.
Razel mengerjakan matanya dan mengusap tangan diwajahnya sendiri untuk mengembalikan kesadarannya.
"Terima kasih."
***
"Mestinya kau berterima kasih." Kata salah seorang dari remaja putri berseragam SMA negeri.
Ketiga remaja itu meskipun berusaha mendandani dirinya dengan sebaik mungkin agar sesuai dengan peraturan sekolah yang ketat, mudah sekali mengenali kalau alis mereka itu tidak asli. Mungkin mereka sudah mencukur lebih dari setengah alis mereka untuk memperoleh tato alis aneh itu.
"Kenapa aku harus berterimakasih? Hari ini aku ada urusan, aku tidak mau pulang terlambat." Jawaban Arisa itu memancing emosi Jolie, anak perempuan paling sok diantara tiga orang lawan bicaranya.
"Heh! Sekarang udah berani ngelawan, ya! Kamu pikir kalau ga ada Alexa disini, kau boleh ngejawab kayak gitu sama kita-kita?" Seru Jolie seraya mendorong bahu Arisa dengan tangannya.
"Kau sendiri, kalau ga ada Alexa aja yang sok-sokan. Meskipun sering nongkrong bareng Ratu Sekolah, bukan berarti kau wakil ratu. Semua juga tau kalau kau cuma budak. Aku ga mau gantiin kalian piket kelas. Kerjakan saja tugas kalian sendiri."
Jolie menggigit bibirnya geram. Anak perempuan yang biasanya mereka perlakukan sebagai budak, berani-beraninya mengatainya budak. Dia merasa marah mendengarnya tapi dia, juga kedua temannya yang lain yang tidak siap dengan perlawanan Arisa siang itu menelan ludah dan mengakui perkataan Arisa didalam hati.
Alexa memperlakukan mereka sebagai dayang-dayang. Hal itu menyebalkan. Semua murid perempuan pasti ingin menjadi Ratu atau Tuan Puteri, tapi selama ada Alexa tidak ada yang berani berlagak seperti itu. Jolie, Denise dan Heni berusaha agar mereka tetap bertahan dengan status itu agar kehidupan sekolah mereka sejahtera. Lebih baik menjadi dayang-dayang daripada menjadi budak, dan meskipun tak ubahnya dengan budak lebih baik menjadi budak kelas satu yang dekat dengan sang Ratu dibandingkan menjadi kain pel sekolah.
Baru saja Jolie akan mengayunkan tangannya tapi tertahan dengan kata-kata Arisa, "Aku punya kartu keselamatan untuk dipakai minggu ini dari Alexa. Kalau berani telpon saja Alexa, apa dia masih merasa senang jika kalian melawan kebijakan Alexa."
Ketiga anak perempuan itu diam. Mood Alexa sedang buruk belakangan ini dan mereka tidak mau mengambil resiko lebih jauh. Jolie memandang geram wajah Arisa. Wajah dengan luka mencolok itu rasanya ingin ia cabik-cabik hingga menjadi cacat dan tak berani datang ke muka publik lagi!
Arisa tidak menunggu lama untuk segera pergi dari situ. Jolie melayangkan kursi hingga terpelanting cukup jauh untuk meluapkan amarahnya.
"Rasanya tadi lumayan memalukan buat kita. Budak itu bisa-bisanya mengatai kita budak." Kata Denise sambil menata kursi secara terbalik di atas meja, sementara Heni menyapu debu diantara meja yang telah ditata kursinya.
"Tapi dia punya kartu keselamatan. Bakal dianggap pembangkang kalau kita mengabaikan itu. Meskipun kita semua budak, setidaknya kita harus tetap bertahan jadi budak level satunya Ratu." Lanjut Denise.
"Itu makanya kita harus berbuat sesuatu supaya Arisa juga mau menuruti perintah kita meskipun ga ada Alexa." Sambut Heni santai.
"Coba telpon Alexa, karang apa kek buat bisa bikin kita ngasi pelajaran buat anak jelek itu." Ucap Jolie pada Denise. Sebetulnya Denise kurang suka dengan nada bicara Jolie--terkesan memerintahnya. Padahal mereka kan sama saja status nya di depan Alexa. Tapi, akhirnya dia membuka tasnya sendiri untuk mengambil ponselnya.
***
Petugas minimarket memasukkan item terakhir ke dalam kantong plastik.
"Pulsanya ga sekalian kak?"
"Tidak." Sahut pelanggan di depannya pendek--terkesan dingin.
"Snack-nya lagi promo kak, beli dua gratis satu?" Gadis dengan jaket hitam bertudung itu menggeleng. Kasir merasa kurang nyaman dengan aura keberadaan gadis itu, diliriknya papan nama yang menyembul sedikit dari jaket itu. Ale--
Ah, tidak terbaca. Alea? Alena? Alexa?
"Baik. Jadinya lima puluh delapan ribu lima ratus, ya kak." Gadis itu memberikan sehelai seratus ribuan dan langsung pergi dari sana dengan membawa belanjaannya.
"Kembaliannya, Kak?" Kasir minimarket itu menahannya, tapi gadis itu hanya melambaikan tangannya. Sepertinya dia cukup terburu-buru. Kasir itu terlihat bingung sesaat namun sumringah kemudian.
"Rezeki. Makasih, ya Kak!" Serunya ke arah pintu keluar. Tapi gadis tadi sudah pergi.
"...apa ada hidden camera? Prank giveaway artis? Atau selebriti streamer?" Gumam si kasir sambil celingukan, tapi tak ada tanda-tanda yang membuktikan kecurigaannya.
***
Ponsel Alexa berdering.
"Ya? Ada apa? Kalian mau mati? Biarkan anak itu." Klik. Alexa mematikan ponselnya setelah memutuskan panggilan dari Denise. Alexa menghentikan sebuah taxi dan pergi dari sana.
***
"Ah, aku harus bekal minuman dan cemilan." Gumam Arisa pada dirinya sendiri. Ia memeriksa tasnya dan mengambil sebuah peta dan melihat screenshot foto iklan kompleks perumahan di ponselnya sambil berjalan kaki.
Langkahnya terhenti di depan sebuah minimarket lalu memutuskan masuk ke dalamnya.
"Selamat datang, silahkan berbelanja!" Sapa kasir ketika Arisa masuk ke dalam. Arisa hanya membalas dengan senyum sekenanya lalu langsung ke blok minuman dingin.