Beautiful Patience

Dewi indrianti achmad
Chapter #3

Di antara Dua Tangisan

Pagi ini, di sudut kamar yang sempit, aku duduk sambil memandang Salman yang masih terpejam. Aku merenung dan memikirkan banyak hal. Salah satunya adalah penyakit suamiku. Mataku basah, hatiku seperti diremas-remas saat memikirkan berbagai macam kemungkinan terburuk. Tak pernah kubayangkan sebelumnya suami yang sangat kucintai dan masih relatif muda mengidap penyakit ini. Suamiku adalah orang yang sangat baik dan bertanggung jawab. Dia selalu memanjakanku dan aku sangat bergantung padanya. Bahkan untuk memotong buah saja, Mas Faqih yang melakukannya. Ya, aku memang kurang terampil dalam mengerjakan pekerjaan Rumah Tangga seperti wanita pada umumnya. Mas Faqih awalnya sering kali memprotesku akan hal ini. Aku pun sudah berusaha berubah untuk membahagiakannya, tapi mungkin levelku masih belum bisa mencapai standar Mas Faqih sehingga pada akhirnya aku lebih memilih menjadi diriku sendiri dan Mas Faqih yang sudah malas berdebat denganku membiarkanku seperti ini. Meski dalam hatinya mungkin masih merasa tak suka. Walaupun begitu, Mas Faqih masih bersikap amat baik dan memanjakanku. Aku tak mengerti mengapa orang baik seperti dia diberikan ujian seberat ini. Rasanya ingin protes dan ingin mempertanyakan pada Allah, "Kenapa suamiku?" tapi mungkin Allah akan menjawab, "Kenapa tidak?"

Ya, bagaimanapun Allah lah yang berkuasa atas segala sesuatu. Semua sudah diatur olehNya termasuk suamiku yang harus sakit kanker di usia belum genap dua puluh tujuh tahun. Sebagai manusia biasa, kami hanya bisa menerima dan berusaha menjalani takdirnya dengan ikhlas. Kuakui ini berat. Teramat berat bahkan. Terlebih, anakku masih bayi dan sangat membutuhkan kehadiranku setiap saat. Terkadang aku ingin berlari. Pergi menjauh dari semua ini, tapi tak mungkin. Kami tak punya pilihan kecuali hadapi!

Sat ini kepalaku rasanya nyaris pecah, hatiku serasa teriris pisau yang baru saja diasah. Bagaimana tidak, aku melihat Mas Faqih, suamiku tengah merintih kesakitan. Dia berteriak, mengucapkan nama Allah dan berdzikir keras-keras sambil menahan sakit yang terasa di sekujur tubuhnya. Sesekali beliau berlari ke kamar mandi lalu mengeluarkan seluruh isi perut. Kata dokter, efek mual dan muntah-muntah hebat memang tak bisa dihindari setelah kemoterapi  meskipun saat kemo Mas Faqih juga diberikan obat anti mual. Jika sudah muntah-muntah seperti itu Wajah Mas Faqih pucat, bibirnya nyaris tak berwarna, dan tubuhnya seperti tak memiliki tenaga. Mas Faqih meneteskan air mata dan membuatku nelangsa. Sementara itu, bayiku Salman juga terus menangis dan rewel karena kehausan.

Aku menarik napas berat lalu mengembuskannya perlahan. Jika Salman rewel dan membuatku tertekan seperti ini aku harus ingat bagaimana perjuanganku untuk mendapatkan Salman dulu.  Aku tak boleh mengeluh karena aku sendiri yang menginginkan kehadirannya. Ya, kehadiran Salman memang sangat kami nanti sebab jarak antara pernikahanku sampai akhirnya dia  berada di rahimku cukup lama yaitu selama lima tahun. Mungkin waktu lima tahun termasuk sebentar karena kami tahu banyak juga pasangan suami isteri yang masih belum dikaruniai buah hati setelah puluhan tahun pernikahan, tapi bagi kami lima tahun adalah waktu yang sangat lama karena kami menanti dan terus menanti. Aku bahkan sempat berpikir jangan-jangan aku memang ditakdirkan tak bisa hamil sampai akhirnya kami berikhtiar ke dokter spesialis kandungan. Suamiku diperiksa kondisi kesehatan spermanya dan aku pun menjalani serangkaian pemeriksaan yang menyakitkan. USG transvaginal, HSG adalah beberapa pemeriksaan yang membuatku tak nyaman bahkan kesakitan. Namun, itulah yang harus dilakukan sebagai usaha kami untuk mendapatkan buah hati. Aku ingat selama masa penantian itu  banyak  air mata tertumpah. Setiap kali datang bulan aku menangis tersedu-sedu karena kecewa usaha kami tak membuahkan hasil. Kini aku bersyukur karena akhirnya Allah mengabulkan doa kami. Salman akhirnya hadir di tengah-tengah kami meskipun kini, rasanya pikiranku menjadi bertambah dan tenagaku harus berlipat karena harus mengurus Salman sekaligus suamiku yang saat ini sedang sakit. Tangis Salman kembali terdengar menggelegar membuyaran lamunanku dan membuatku stress mendengarnya.

"Ya Allah, berikanlah aku kekuatan," ucapku pelan.

Dengan bergegas, aku mengambil ASI yang tersimpan di kulkas lalu menghangatkannya. Setelah itu, aku ambil Salman dari tempat tidur lalu menimangnya perlahan. Alih-alih diam, Salman malah semakin menangis kencang. Sontak saja aku yang belum ada pengalaman mengurus bayi lansgung panik dan bingung harus bagaimana.

"Sabar ya, sayang. Ini susunya," ucapku gemetaran sambil tangan kananku buru-buru menuangkan ASI ke botol susu lalu segera mengarahkan botol susu itu ke mulut mungilnya. Dengan sangat rakus Salman langsung menghabiskan ASI perahku dalam waktu kurang dari lima menit. Padahal ASIku sedikit dan memerahnya butuh usaha yang tak mudah. Setiap dua jam sekali aku harus memerah agar produksi ASIku semakin meningkat, tapi Salman begitu cepat menghabiskannya sehingga stok ASIku sering kali tak mencukupi untuk kebutuhan Salman.

Akhirnya aku mengambil lagi ASI di kulkas lalu memberikannya pada Salman sampai ia kenyang. Tak lama kemudian mata Salman terpejam. Aku lega akhirnya ia tidur dengan tenang. Setelah menidurkannya di kasur, aku mendekati Mas Faqih dan berusaha menenangkannya yang sedang kesakitan.

"Kasihan Salman. Masih bayi, tapi Ayahnya sudah sakit kanker," ucap Mas Faqih sambil berkaca-kaca.

Lihat selengkapnya