Beautiful Patience

Dewi indrianti achmad
Chapter #2

Awal Mula

Kanker adalah penyakit yang gejalanya sulit diketahui. Orang-orang menyebutnya silent killer. Biasanya orang baru sadar ketika kanker sudah besar dan menyebar.

Mendengar penyakit kanker rasanya semua manusia pasti akan merasakan hal yang sama yaitu : Takut. Ya, kanker sementara ini masih menjadi penyakit mematikan nomor wahid di dunia sehingga banyak masyarakat yang merasa khawatir dan takut saat berhadapan dengannya. Tak terkecuali aku dan suami.

Bagi kami tak terbayangkan sebelumnya kami akan berhadapan dengan penyakit ini. Jika banyak orang bertanya, "Kok bisa kena?" "Penyebabnya apa?" Jujur kami juga tak tahu. Saat aku tanya ke dokter pun mereka menjawab belum ada penelitian yang benar-benar valid tentang penyebab pasti dari penyakit ini.

Meskipun demikian memang ada beberapa hal yang bisa memicu penyakit ini semisal rokok dan alkohol. Namun, Mas Faqih tidak suka keduanya. Suamiku tidak merokok apalagi minum-minuman keras. Jadi, kami tak tahu mengapa penyakit ini bersarang di tubuh suamiku. Pada akhirnya kami hanya bisa menganggap ini adalah hadiah dari Allah.

Mungkin, Allah ingin kami semakin mendekat padaNya. Barangkali juga ini adalah caraNya untuk menghapus dosa-dosa kami yang begitu menumpuk.

Apapun itu, kami hanya ingin berbaik sangka pada Sang Pencipta. Semua pasti ada hikmahnya. Jika belum kami temukan sekarang barangkali nanti akan kami dapatkan. Insya Allah.

Satu hal yang aku syukuri adalah penyakit Mas Faqih ini telah diketahui lebih awal sehingga bisa ditangani sesegera mungkin. Kami hanya berusaha namun Allah lah yang menyembuhkan.

***

Semua berawal dari tiga bulan lalu ketika aku baru saja melahirkan putra kami yang pertama. Ketika mengobrol ringan tiba-tiba saja Mas Faqih bercerita.

"Kok di leher aku kaya ada benjolan, ya?" tanyanya sambil meraba leher sebelah kiri.

"Sakit, gak?" Aku meminta Mas Faqih menunduk agar aku bisa melihat benjolan yang dimaksud. Saat itu kondisiku masih belum pulih pasca operasi caesar.

"Enggak, sih."

"Coba deh periksa," ujarku. Saat itu aku tak berfikir macam-macam karena jahitan operasi caesarku saja masih nyut-nyutan. Belum lagi kehadiran bayi yang masih beradaptasi juga semakin menguras energi dan fikiran.

Mas Faqih juga ingin segera periksa, tapi ia masih sibuk kesana kemari mengurus adminisrasi persalinan sehingga belum sempat pergi ke dokter untuk memeriksa benjolannya.

Hari ke tiga pasca melahirkan kami pulang ke rumah. Bekas jahitan operasiku masih terasa perih, tapi aku sudah harus mengurus bayiku sendiri. Aku merasa tertekan dan stress, terlebih Salman waktu itu tak mau menyusu langsung. Aku juga tak paham kenapa, tapi orang-orang bilang karena aku memiliki flat nipple sehingga bayi tak bisa menyusu langsung.

Akhirnya setiap dua jam sekali aku memompa ASI untuk Salman. Aku sedih karena hasilnya tak lebih dari lima mili sehingga Salman rewel dan terlihat sangat kehausan.

Orang-orang di sekitarku menyarankan untuk memberi susu formula saja namun aku masih bertahan dengan keyakinan ASIku masih cukup untuk Salman dan pasti nanti akan melimpah menyesuaikan dengan kebutuhannya. Namun, ternyata untuk kasusku dugaanku tak sepenuhnya benar.

Hari ke tiga setelah aku melahirkan, Salman rewel. Dia menangis tanpa henti. Aku berikan ASI perah dia tak mau, disusui malah tambah mengamuk. Aku dan Mas Faqih bingung, tak tahu lagi harus berbuat apa karena kami hanya bertiga saat itu. Kami bertiga tinggal di kontakan petakan sedangkan Ibuku dan mertua tinggal di rumah yang berbeda.

Kupegang dahi Salman, ternyata panas. Di termometer terlihat suhunya mencapai 39 derajat dan semakin malam semakin meninggi. Salman pun semakin rewel dan menangis kencang terus menerus.

Lihat selengkapnya