4 Juni──enam bulan sebelumnya, 08.10 a.m.
“Radella Editha,” ucapku pelan, memperkenalkan diri. Aku menganggukkan kepala sedikit saat mengucapkan nama lengkapku di hadapan orang-orang yang tengah menjadikanku sebagai pusat pandangan mereka.
Natasya, sahabatku dari zaman kuliah, tersenyum kecil untuk memberi semangat dari ujung ruangan. Tangannya sedikit mengepal ke udara sambil berkata tanpa suara, “Semangat!” dengan gerak bibirnya.
Senyumku masih terkembang──hanya Tuhan dan aku yang tahu dengan jelas bagaimana sekarang aku berjuang sekuat tenaga untuk menyembunyikan kegugupanku. Aku, seorang karyawan baru yang tengah mengenakan celana formal berwarna cokelat dengan kemeja polos berwarna cream lengkap dengan blazer-nya ini, tengah berjuang untuk memasang tampang santai, jauh dari rasa gugup. Padahal yang terjadi adalah seratus delapan puluh derajat dari apa yang sedang kutunjukkan itu.
Setelah berhasil membersihkan kerongkonganku dengan sedikit berdeham, aku kembali mengedarkan pandangan. Beberapa orang berdiri di hadapanku, tidak mengacuhkan kubikel-kubikel yang menjadi saksi bisu apa saja yang dikerjakan oleh orang-orang yang menempati kubikel-kubikel itu selama ini. Ya, bekerja, tentunya. Mungkin dengan intermezzo berselancar di dunia maya untuk hura-hura di media social. Atau untuk googling hal-hal yang sama sekali tidak berhubungan dengan pekerjaan. Atau kubikel itu bisa juga menjadi tempat untuk bergosip. Ooops.
“Hari ini saya mulai bekerja di sini. Mohon bimbingannya kepada semuanya,” kataku sesopan mungkin, lalu menganggukkan kepala sedetik, dan mencoba untuk tersenyum kepada beberapa staf yang ada di ruangan Human Resource Department, di salah satu perusahaan swasta yang bergerak di bidang distribusi alat eletronik ini.
“Hai Radella,” sapa seorang lelaki yang kelihatannya umurnya hanya beberapa tahun di atasku.
Tubuh lelaki itu tidak terlalu tinggi dengan wajah berseri-seri yang mempertontonkan sederet gigi-giginya yang putih. Oh, ternyata bukan hanya gigi-giginya saja yang putih. Kulit lelaki itu juga terbilang putih──lebih putih dari aku. Ya-ya-ya, sejak kapan juga aku termasuk dalam jajaran perempuan berkulit putih? Sepertinya sejak lahir pigmen warna kulitku mentok di warna kuning langsat.
“Hai,” aku menjawab kikuk.
“Semoga betah kerja di sini, ya,” lanjut lelaki itu sambil membenarkan letak kacamatanya yang sesungguhnya tidak melorot di hidungnya yang mancung itu.
Dia mengulurkan tangannya ke arahku, lalu aku membalas uluran tangan itu.
“Makasih” jawabku, masih tersenyum.
Tidak lama kemudian, terdengar ledekan-ledekan ke arah lelaki yang butuh lebih dari lima detik untuk melepaskan jabatan tangannya dari tanganku itu.
“Ahhh, si Ari ini mentang-mentang ada karyawan cewek baru, langsung aja curi start,” potong seorang wanita berusia pertengahan tiga puluh tahun dengan setelan rok dan blazer berwarna merah marun seraya berjalan mendekatiku. “Selamat bergabung, Radella,” wanita itu tersenyum lebar. Rambutnya yang dipotong pendek dengan tubuhnya yang agak gempal, sedikit mengingatkanku pada salah satu film kartun Hollywood yang kemarin baru saja kutonton.
“Panggil Radel aja, Bu,” koreksiku cepat. “Kalau manggil Radella, kepanjangan.” Aku nyengir setelah selesai mengucapkan kalimat terakhir.
Wanita itu tersenyum. “Oh, oke.”
Dia kemudian sedikit membalikkan tubuhnya, lalu memperkenalkan beberapa orang yang sedang berada di ruangan yang sama dengan kami semua.
“Ini Pak Soni,” tunjuknya pada seorang bapak muda yang tampangnya tidak begitu ramah, tapi tetap sedikit menganggukkan kepalanya ke arahku, tanpa tersenyum.
Aku balas menganggukkan kepalaku dan mencoba untuk tetap tersenyum. This is my very first day to start my new job in this place, people. So, I should make a good first impression to my new team. Am I right? Padahal kalau boleh, aku ingin menyodorkan permen asam agar wajah pria itu bisa sedikit berekspresi selain memasang tampang judes.
“Itu Natasya,” lanjut wanita tadi lagi. “Kamu pasti udah kenal dia kan, ya?”
Pertanyaan retorik, batinku. Yes, of course, Ma’am. Actually, she’s the one who insisted me to take the test to get a job in here.
Natasya nyengir ke arahku dengan penuh semangat. Tangannya ramai dengan gelang-gelang perak yang bergemerincing saat tangannya itu ikut bergerak-gerak ketika dia berbicara. “Selamat bergabung, Del!”
Aku tertawa kecil padanya, “Makasih.”
“Oh iya, saya Santi, asisten manajer di sini,” kata wanita bersetelan marun tadi──seperti baru tersadar kalau dia melupakan dirinya sendiri untuk diperkenalkan. “Dan itu,” Bu Nenden melihat ke arah sudut kanan ruangan, di mana seorang lelaki yang tampangnya sudah sangat familier bagiku, sedang sibuk berkutat dengan laptop di meja kerjanya.
Dari tempatku berdiri, aku masih bisa melihat raut muka serius lelaki itu melalui pembatas ruangan dari kaca transparan.
“Dia manajer HRD[1], Pak Pramana Abimanyu,” Bu Santi berkata dengan sedikit pelan. “Dia masih cukup muda tapi sudah berhasil menjadi manajer,” pujinya. “Hmmm… kamu mau memperkenalkan diri sekarang atau nanti saja saat Pak Pram sudah tidak sibuk?”
Buru-buru aku menggelengkan kepala dengan mantap. “Nanti saja, Bu. Kayaknya beliau lagi tidak bisa diganggu.”
In fact, I don’t wanna say ‘hi’ to that guy. Malas!
“Oke kalau gitu, waktu perkenalan selesai,” Bu Santi menutup acara introduction karyawan baru di tempat ini──yang tiada lain adalah aku. “Sekarang waktunya bekerja,” Bu Santi kemudian menginstruksikan kepada kami semua, seraya berlalu ke arah meja kerjanya, diikuti dengan Pak Soni dan Ari, yang juga beranjak ke meja kerjanya masing-masing.
Natasya beringsut ke arahku sambil mengangkat jempol tangan kanannya, “Good job! Akhirnya kita kerja bareng!”
Aku meletakkan jari telunjuk kananku di depan bibir, “Hssst… profesional dong ah, kita rekan kerja sekarang, bukan temen kuliah,” jawabku dengan tampang serius.
Natasya pura-pura melotot galak ke arahku, “Nonsense, ah!” protesnya sambil mengibaskan rambutnya──yang baru saja di-creambath kemarin malam.