Beautiful Sorrow

Pia Devina
Chapter #3

Bab 2 - Pecahan Memori

23 Desember, 11.14 p.m.

Kini aku berada pada satu titik di mana aku merasa lelah, untuk kesekian kalinya. Aku lelah. Terlalu lelah untuk menegakkan semua mimpiku kembali. Terlalu lelah untuk membangun kembali mimpiku yang telah rapuh... hingga menjadi usang... dan tak sanggup aku tata kembali agar sedikit menjadi lebih baik.

People said, “banyak hal yang jauh lebih penting untuk dipikirkan, daripada cinta”. Iya, aku berharap hal itu adalah sebuah hal nyata──bukan omong kosong belaka──yang mudah untuk dilakukan. Tapi… mengapa setiap episode hidup dari manusia harus selalu berkisar di antara cinta, cinta, dan cinta? Padahal, filosofi dari cinta itu sendiri, tidak pernah pasti. Apa itu cinta? Rasa manis kah? Atau pahit──sepahit seperti apa yang aku kecap?

I’m sick with all the feelings inside my heart. Aku tahu, dengan mengeluh pun, tidak akan ada hal yang menjadi lebih baik... atau menjadi lebih berarti. Tapi setidaknya, dengan mengeluh, aku bisa mengeluarkan sedikit geram yang tertanam dalam diriku. Mungkin aku juga bisa sedikit merasa lebih lega. Walaupun pada kenyataannya, aku sadari... mengeluh hanya membuat semua hal terlihat semakin memburuk.

Aku membaca tulisan yang berderet rapi di atas kertas putih di depan kedua mataku──rentetan kalimat yang kubuat beberapa saat lalu yang tidak lama lagi akan berakhir di dalam tempat sampah. Tulisan itu refleks tertuang saat kepenatan menguasai diriku sepenuhnya. Rasanya ada batu seberat ratusan ton yang menghimpit dadaku.

Aku membuka lebar-lebar jendela di hadapanku──satu-satunya jendela yang berukuran cukup besar yang ada di sudut ruangan berukuran 3x4 ini, salah satu kamar di flat tempat Kak Renata menetap selama beberapa tahun terakhir. Angin malam yang bersemu hangat pun akhirnya berhasil membelai pipiku setelah berjam-jam aku mengurung diri di kamar ini, bak petapa yang mengisolir diri di dalam gua yang gelap dan pengap.

 Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mencuri semua oksigen yang mampu tertampung di dalam paru-paruku. Aku menahan napasku dan memejamkan mata sekuat mungkin.

Andai dunia nyata ini adalah sebuah dongeng, saat ini juga aku akan menganggukkan kepalaku dalam satu hitungan, lantas menghilang begitu saja. Oh, bukan menghilang. Aku hanya berlari melintasi dimensi waktu, kembali ke sepuluh bulan yang lalu. Tidak. Aku ralat. Mungkin yang aku butuhkan hanyalah berlari ke masa depan, melewati sekitar tiga puluh atau empat puluh tahun masa hidupku ke depan. Mungkin di titik itu aku bisa merasa lebih baik. Mungkin aku sudah sanggup untuk melupakan perihku. Ya, mungkin. Too many things that might be so impossible in this world, rite?

Damn. Aku benar-benar terlihat seperti orang yang sedang patah hati, ya?

* * *

24 Desember, 03.05 a.m.

We'll be together, always...

Aku merasa darahku kembali mengalir, menghangatkan tubuhku yang selama beberapa saat membeku dalam rasa takut yang mencekam.

“Aku enggak kenapa-kenapa, Radel...”

Kedua tanganku menggenggam erat lelaki yang kini duduk di sampingku di atas tanah. Jantungku masih terasa ngilu mengingat apa yang baru saja terjadi. “Tap—tapi barusan—”

“Aku enggak kenapa-kenapa,” potong lelaki itu seraya tersenyum. Dia sedikit mengangkat kedua tangannya, menyatakan dengan tegas bahwa dia baik-baik saja.

Air mata masih membanjiri wajahku. “Kamu nyaris jatuh,” ucapku terbata di tengah tangisku yang sesenggukan, lalu memperhatikan kakiku yang tertekuk lemas di atas tanah──di sebuah tebing tinggi yang anehnya tidak kuketahui berada di mana. Sejauh penglihatanku, yang terlihat hanya lekuk-lekuk tajam terbing berwarna kecokelatan dan pohon-pohon hijau berukuran besar, dengan hamparan laut luas di bawah sana.

Suara debur arus air di bawah sana membuatku semakin merasa tidak tenang. Membayangkan kemungkinan beberapa saat yang lalu lelaki di hadapanku nyaris jatuh ke bawah sana, membuatku takut setengah mati. Oh, tidak, maksudku membuat aku ketakutan hingga aku sendiri nyaris mati ketakutan.

“Hei, kamu udah nyelamatin aku barusan waktu aku hampir jatuh,” lelaki itu lantas merangkulku. Bola matanya berbinar hangat, seakan ingin memberikanku kekuatan. “I'm okay now. Aku di sini. Sama kamu.”

Tubuhku masih gemetaran. Rasa ngeri yang kurasakan saat beberapa menit yang lalu sekuat tenaga aku meraih tangannya untuk mencoba menopang tubuhnya yang baru saja tergelincir dari salah satu sisi tebing, membuat bulu kudukku meremang.

Oh, Tuhan. Tidak. Aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri seandainya tadi aku tidak berhasil mencengkeram lengan kanannya yang akhirnya berhasil membuatnya merangkak kembali ke atas tebing.

Menit demi menit berlalu. Hatiku mulai lebih tenang saat aku menenggelamkan kepalaku di dadanya walaupun air mataku masih belum berhenti mengalir.

Thanks for not giving me up, sayang,” ucap lelaki itu lirih, kemudian mengecup puncak kepalaku. Aku bisa merasakan embusan napas hangatnya yang meniup lembut beberapa helai rambutku. “Makasih… kamu enggak ngelepasin aku. Aku… aku juga enggak akan ngelepasin kamu. I promise...

Aku menganggukkan kepalaku dengan yakin tanpa mendongakkan kepala. Aku terlalu takut kehilangan lelaki dalam dekapanku ini. Yang aku inginkan sekarang hanya mempererat pelukanku di tubuhnya.

“Radel.”

Lihat selengkapnya