25 Desember, 07.15 p.m.
“Untunglah kamu enggak jadi manusia pedalaman hari ini.”
Aku menyipitkan mata ke arah kakakku yang tengah menggeleng-gelengkan kepalanya ke arahku. Aku rasa apa yang dilakukannya barusan sudah menjadi salah satu rutinitasnya bila sedang menghadapiku.
“Aku nyesel, aku mau-mau aja dipaksa Kak Rena buat keluar dari flat, ngabisin waktu naek kereta MRT[1], dan ngebobol ATM[2] aku buat belanja,” aku membalas dengan ekspresi pura-pura sebal, lalu melirik ke arah kantong-kantong belanjaanku──dua kantong belanja Charles and Keith dan dua kantong belanja Tangs.
Kak Renata tertawa hingga membuat bumbu breef brisket noodle yang dimakannya belepotan di salah satu sisi bibirnya. “I know you might be crazy when you have a chance to go shopping.” Ia terkekeh puas. “Dan jangan salah, masih ada babak berikutnya. Abis ini kita ke Bugis Street[3]. Gilirannya berburu barang-barang low price. But, trust me. Mau barang punya brand atau enggak, aku jagonya milih.”
Kali ini aku yang menggeleng-gelengkan kepala. “Udah tau adiknya gila belanja. Malah dikomporin lagi sama kakaknya,” ocehku sok sebal.
“Ah, kamu juga happy kalau kita shopping.”
“Tapi aku enggak segila Kak Rena kalau belanja-belanja,” sahutku tidak mau kalah.
Kak Renata tidak menggubris ucapanku dan malah mencibir ke arahku sambil tertawa.
“Emang enggak rugi?” tanyaku menggantung, lalu memasukkan makanan ke dalam mulutku.
“Rugi apanya?”
“Tadi kan Kakak lagi jalan sama pacar Kakak. Gara-gara aku dateng, kabur tuh dia,” celetukku.
“Oooh, dia emang cuma mampir doang tadi pas aku lagi ngopi sama temen-temen kantor di Starbucks.”
For your information, mungkin bila ada yang bertanya kenapa tadi kakakku pergi bersama teman-temannya dan sekarang malah hang out bersamaku, itu karena dia terlalu berinisiatif untuk memaksaku keluar dari flat. Jadi, tadi dia pun pamit dari teman-temannya ketika aku datang.
“Dia harus kerja juga sih malem ini, jadi yah, aku sendirian,” Kak Renata mengakhiri ucapannya dengan memasang wajah seolah baru saja ditinggal oleh Bang Toyib.
“Ini kan Christmas Holiday!” ujarku tidak percaya. “Dan dia kerja?!”
Kak Renata menganggukkan kepalanya. “Aku juga enggak ngerti apa yang harus dikerjain IT[4] programmer sampai mesti masuk kerja juga di hari libur kayak gini.”
Kini giliranku yang mengangguk-anggukkan kepala.
“Eh, jangan ngalihin pembicaraan,” ujar Kak Renata tiba-tiba seolah baru saja mengingat hal-maha-penting yang tidak boleh terlewat olehnya.
“Apaan?” jawabku dalam bentuk pertanyaan──berlagak tidak mengerti apa-apa.
“Shopping,” gumam Kak Renata tidak jelas karena sedang mengunyah makanannya. “Shopping untuk menghilangkan stress──moto hidup kamu. Moto hidup aku juga, tentunya.”
Aku memiringkan kepalaku sedikit. “Oh. Ya… at least belanja tuh mengalihkan perhatian, Kak.” Aku menjawab seadanya.
“Nah!” seru Kak Renata dengan volume suara ditambahkan tiga poin.
Damn! Aku keceplosan! Ah, dasar bodoooh kamu, Radellaaa!!!
“Tapi kali ini aku lagi enggak butuh mengalihkan perhatian, kok!” kataku cepat-cepat sebelum kakakku yang sedang menatapku penuh selidik itu menyadari apa yang sebenarnya terjadi padaku.
“Ya-ya-ya, aku percaya──” ujarnya, “kalau aku bodoh, baru aku percaya.”
Kalimat lengkap Kak Renata berhasil membuatku mendesis.
“Big-no-way,” staccato alias artikulasi terputus-putus yang terdengar jelas──terlalu jelas──meluncur dari bibirku.
Kak Renata tertawa. “Udah, udah, enggak usah dibahas sekarang, daripada kamu ngamuk, terus ngacak-ngacak semua outlet di VivoCity ini. Bisa berabe.”
“Hmmm... you still remember ‘bout that one thing. You have a sister yang kalau ngamuk serupa monster,” ujarku sambil tergelak, disusul tawa Kak Renata.
Tidak lama kemudian, Kak Renata meneguk habis minumannya. “Are you done yet?”
Aku menganggukkan kepala.
“Oke,” sahut Kak Renata.
Dalam gerakan cukup cepat, aku berdiri dan meraih kantong-kantong belanjaanku──sama halnya dengan kakakku yang kini sibuk menggenggam tali-tali kantong belanjaan miliknya. Astaga, untunglah tubuh mungil kakakku itu masih sanggup menenteng belanjaan sebanyak itu.
“Kak Rena bakalan bangkrut kalau belanjanya kayak gitu.” Aku mengoceh sok tahu saat kami berdua baru melangkahkan kaki keluar dari Food Republic, tempat kami makan barusan.
“Itulah enaknya masih single. Enggak usah pusing-pusing dulu mikirin biaya lain-lainnya,” jawabnya sambil terkekeh.
“Kak Rena udah 29 tahun, menjelang 30 tahun loh!”
“Stop it,” perintah kakakku sambil tertawa. “Jangan bahas masalah ini sekarang, oke? Papa udah cukup bikin kuping aku panas dengan terus-terusan ngomongin itu.”
Aku mengibaskan sebelah tanganku yang bebas dari kantong belanjaan. “Aaah, oke.” Aku manggut-manggut bak orang bodoh.
Selama beberapa menit kemudian, aku dan Kak Renata berjalan mengunjungi beberapa outlet lainnya di VivoCity, lalu mengistirahatkan kaki kami di Sky Park yang ada di level 3. Menyaksikan panorama dari Sky Park adalah salah satu hal favorit yang selalu aku dan kakakku lakukan bila mengunjungi mall ini.
“Eh ngomong-ngomong, aku lupa bilang.”
Aku memutar kepalaku sembilan puluh derajat, menoleh ke arah kakakku yang berdiri di sampingku. Kami berdua berdiri di depan sebuah Christmas Tree raksasa yang penuh dengan hiasan dan lampu warna-warni. “Lupa bilang apa?”
Kak Renata menatapku, kemudian menyipitkan matanya sedikit. “Aku ragu sih.”
“Ragu apanya?”