26 Desember, 08.20 p.m.
Hatiku bergemuruh seperti ada mesin pesawat tempur yang bersarang di dadaku dan membuat kebisingan dengan kekuatan ratusan ribu desibel──that's what I feel, kalau aku boleh berhiperbolis.
Saat ini, yang aku tahu pasti, rasa kebencianku kepadanya masih tetap utuh. Aku membenci lelaki yang saat ini sedang duduk di seberangku.
“Aku enggak suka kamu dateng ke sini.” Sepersekian detik, aku bergidik, kaget sendiri dengan nada suaraku yang seperti ingin melahap hidup-hidup lelaki yang ada di hadapanku.
Lelaki itu bergeming. Rahangnya yang kokoh tampak mengeras. Mungkin dia sedang menahan emosinya dalam menghadapi wanita menyebalkan dan keras kepala sepertiku.
Ah, dari caraku bernapas saja sepertinya dia sudah bisa menebak bahwa aku benar-benar memusuhinya. Lelaki itu pasti bisa tahu bahwa aku tidak menyukai keberadaannya di sini, di flat kakakku──untuk mencariku.
Pram diam tanpa bicara selama beberapa saat. Tubuh tegapnya duduk di atas sofa di seberangku, kedua tangannya saling terkait seakan dapat berfungsi untuk menekan amarahnya. Matanya──sepasang mata biru yang dulu selalu menarik perhatianku, yang selalu mengingatkanku pada mata Paul Walker (ah sialan! Untung warna birunya lebih gelap daripada Paul-ku)──lekat menatapku. “Kenapa pengin resign segala dari kantor, Del? Apa ini ada hubungannya dengan masalah di antara kita berdua?”
Aku membuang pandangan darinya, tidak menjawab pertanyaannya. Aku pura-pura sibuk dan tidak peduli dengan kehadirannya.
Pram masih diam menunggu responku.
Aku lalu membungkukkan sedikit tubuh dan meraih sepotong pepperoni pizza.
“Bukan urusan kamu. Aku pengin resign, ya, karena pengin. Enggak perlu banyak alesan kan, buat itu?” sahutku akhirnya saat kuperhatikan Pram masih menatapku tajam, menunggu aku bersuara.
Mungkin dia kira aku sudah lupa bagaimana caranya untuk berbicara saking lamanya aku tidak menggubris keberadaannya.
Saat keheningan mulai terasa mengusikku lagi, buru-buru aku meraih remote yang tergeletak di atas meja dan segera menyalakan TV seraya bergumam, “If you don't have anything else to say, please go.” Aku menghindari bertanya: “Untuk apa kamu nyari aku?”
Seakan bisa membaca pikiranku, Pram bangkit berdiri. Tubuh tingginya yang berkemeja hitam yang dilipat sebatas siku, dengan celana jeans biru pudarnya──yang aku ingat jelas adalah pemberian dariku setahun yang lalu──berdiri tegap dua meter dari tempatku duduk.
Sekali lagi, aku pura-pura tidak peduli dengan keberadaannya dengan tidak mendongakkan kepala ke arahnya.
“Aku bakal ke sini lagi besok pagi.” Pram berkata seperti baru saja berhasil menjatuhkan bom di atas kepalaku.
Bila bom yang jatuh di Hiroshima dan Nagasaki adalah bom terdahsyat yang dijatuhkan pada tahun 1940-an, bom yang baru saja dijatuhkan Pram adalah bom terdahsyat di penghujung tahun ini.
Kontan saja wajahku merah padam. Mataku kini terfokus seratus persen ke arahnya──oh, ke arah punggungnya karena tepat saat aku berbicara, dia telah membalikkan tubuhnya dan berjalan menuju pintu.
“Buat apa? Kita enggak ada urusan lagi. Kamu balik aja ke Jakarta!” seruku setengah berteriak.
Aku berkeberatan. Sangat berkeberatan!
“Jam delapan pagi,” jawab Pram. Rupanya dia tidak peduli dengan reaksiku barusan.
Setelah itu, dia segera berlalu tanpa menoleh lagi sedikit pun ke arahku, kemudian menutup pintu dan meninggalkanku sendirian dalam kebingungan.
* * *
27 Desember, 08.50 a.m.
TOK. TOK.
Aku menaikkan selimut ke atas kepalaku hingga tubuhku tertutup sepenuhnya oleh selimut, berharap ketukan-ketukan di pintu bisa mereda dengan sendirinya. Aku tidak memedulikan hidungku yang mulai meronta-ronta karena meminta untuk diberi udara segar. Yang aku pedulikan sekarang hanyalah agar suara-suara ketukan di pintuku itu berhenti.
“Del, wake up. Masa jam segini kamu masih tidur juga?”
Aku mendengar suara kakakku yang memanggil-manggilku dari setengah jam yang lalu. Lima menit mengetuk pintu, sepuluh menit menyerah, mengetuk pintu lagi, menyerah lagi, dan seterusnya hingga saat ini adalah ketukannya yang entah keberapa kali. Oh, come on. My brain isn’t just used to count the number of ‘knock-knock’ at the door, is it?
Kenapa sih Kak Renata tidak bisa diajak kompromi? She knows exactly why’d I choose to stay in my room. Jelas-jelas karena Pram ada di sini. Sedang menungguku, seperti yang tadi malam dia katakan.
Ya, dari jam delapan pagi dia sudah ada di sini, seperti janjinya tadi malam. Aku tidak mengerti. Otaknya si Pram itu terbuat dari apa sih? Harusnya dia paham dong, kenapa aku bersikap defensif seperti ini padanya!
“Mungkin Radel butuh istirahat, Pram.”
Sayup-sayup aku mendengar kakakku berkata. Masih dengan bersembunyi di bawah gulungan selimut, aku menajamkan telinga──refleks ingin mendengar jawaban Pram yang sesungguhnya tidak terlalu aku pedulikan. Namun tetap saja, aku ingin tahu apa yang ada di kepala lelaki itu.
“Ya udah, aku pamit dulu sekarang.”
Ah, rasanya bongkahan batu di kerongkonganku hilang sudah saat mendengar suara Pram yang mengatakan hal itu kepada kakakku. Yes, he has given up! Aku menurunkan selimutku hingga hanya bagian perut ke bawah yang tertutup selimut.
Selama hampir lima menit, aku masih berdiam diri, memandangi udara bebas di luar sana melalui jendela kaca yang berbatasan dengan tempat tidurku. Titik-titik air yang menempel di jendela, hasil hujan semalaman, rasanya menimbulkan aroma segar yang lebih menyenangkan daripada biasanya. Hmmm… mungkin karena efek saluran pernapasanku yang bekerja normal kembali setelah Pram mengangkat kakinya dari tempat ini.
Setelah akhirnya merasa aman karena tidak mendengar suara-suara antara Kak Renata dan Pram lagi, aku memutuskan untuk keluar dari kamar──gua persembunyianku. Sesudah sampai di bibir pintu kamar, aku mengintip ke arah pintu depan.