27 Desember, 03.55 p.m.
Sekarang... siapa yang lebih pantas disebut kekanak-kanakan? Aku yang berusaha menghindar──maksudku menjaga jarak──untuk menghindari perang dingin lebih lanjut, atau lelaki yang kali ini berdiri di depan pintu flat kakakku tanpa kikuk… di hadapanku?
“Pram, kita udah enggak punya urusan lagi satu sama lain. Please,” kataku sambil bernapas berat.
“Well, papa kamu...”
“Jangan pake papaku sebagai alesan apa pun,” potongku cepat dengan kesal.
Seketika, dalam waktu satu per sekian detik, aku merasa mata biru Pram menyiratkan kesedihan. Ah, mustahil. Aku pasti berhalusinasi. Sepeduli apa sih dia kepadaku?
Selama beberapa saat kemudian, kami berdua terdiam. Pram yang hari ini bersetelan jeans hitam dengan polo shirt abu dan sepatu Nike──he has sporty look, as usual──masih berdiri diam di tempatnya. Matanya tepat mengarah kepadaku.
“Aku butuh kesempatan untuk bicara serius sama kamu, Del. Kita butuh buat bicara. Bukan bertengkar. Aku butuh bicara.”
Aku bergidik saat Pram mengatakan itu. Bukan, bukan karena caranya berbicara yang seperti aktor yang sedang bermain film horor. Tapi nada serius dalam ucapannya itu yang membuatku bergidik.
“Apalagi, Pram?” aku mencoba menetralkan suaraku.
Dalam peperangan, kadang dibutuhkan taktik gerilya untuk membuat lawan menyerah, bukan? So then, this is my time to act as I'm the weak one to win the game.
“Beberapa bulan yang lalu, kita juga jalan-jalan keliling Singapore, kan?” tanya Pram tiba-tiba. Sama sekali tidak kuduga bahwa dia akan membahas masalah ini. “Apa bedanya dengan jalan bareng lagi di sini?”
“Pram, stop it. Enggak ada yang perlu kita bahas lagi,” ucapku berdesis, dengan gigi yang sedikit beradu karena menahan emosi.
Aku sedang tidak ingin rekaman ingatanku diputar lagi pada momen itu. Saat itu, saat-saat aku masih bersama Yoga... dan kemudian kami berpisah karena apa yang dilakukan oleh Pram.
“I”ll stop when you say yes. Itu aja. Simple,” responnya santai. “Aku pengin kita ngomong berdua.”
Ingin rasanya aku mencakar wajah Pram yang kemudian malah menyunggingkan senyum ke arahku. Damn! Kenapa dia harus tersenyum seperti itu sih? Dia meremehkan aku?!
“Aku tunggu kamu di bawah, di tempat parkir.”
Aku baru membuka mulutku ketika lelaki itu sudah membalikkan tubuhnya.
“Jangan lama-lama,” ucapnya tanpa membalikkan tubuhnya ke arahku lagi.
Aku hanya melongo melihat sesosok tubuh jangkung dengan rambut gelapnya yang tampak ditata tidak terlalu rapi seperti biasanya itu.
Wait! Biasanya?! Sejak kapan aku memperhatikan model rambut Pram?!
Rasanya baru kali ini! Iya, sungguh! Hanya kali ini! Aku baru sadar rambut Pram agak sedikit berantakan yang membuatnya terlihat lebih casual, ummm, seperti model rambut James Franco, si Harry di film Spiderman.
Astaga!!! Apa sih yang sedang aku pikirkan?!
* * *
27 Desember, 05.59 p.m.
“Seburuk itu sekarang pola makan kamu?”
Aku menengadahkan kepalaku ke arah Pram dengan malas. Wajah lelaki itu agak sedikit menunduk, memperhatikan gundukan nasi padang yang ada di hadapanku.
Ayam gulai favoritku, tergeletak begitu saja dengan daging-dagingnya yang masih utuh. Semoga potongan ayam ini tidak ngambek padaku gara-gara pengorbanannya bertransformasi menjadi sebentuk makanan sia-sia begitu saja gara-gara tidak aku makan.
“Bukan urusan kamu,” ujarku ketus, lantas memandangi makananku dengan putus asa.
Mana bisa aku makan sementara Pram ada di hadapanku dengan apa yang mungkin sekarang ada di dalam pikirannya. Sebenarnya, terserah dia mau berpikir apa, asalkan jangan tentang apa yang terjadi sepuluh bulan yang lalu.
Pram meletakkan sendok yang tengah dipegangnya di atas piring makannya, kemudian selama beberapa detik mengedarkan pandangannya ke beberapa spot di tempat makan di Wisma Atria ini. “Kenapa harus makan di tempat seramai ini sih?” tanyanya lagi, mengganti topik pembicaraan sebelumnya.
Wisma Atria, bangunan yang terdiri dari lima lantai dan ada di Orchard Road ini merupakan salah satu pusat lalu lintas belanja domestik, turis asing, dan pebisnis. Kurasa, bangunan yang memiliki lebih dari seratus toko ini──sebut saja Gap, Tory Burch, Seafolly, dan entah toko-toko mana lagi yang perlu kusebut──bisa menjadi tempat yang aman bagiku.
Taktik. Strategi. Lelaki di hadapanku ini tidak akan berbuat macam-macam bila ada di tempat umum, bukan?
Kuulangi, di keramaian seperti ini, si Pram pasti tidak akan berani berbuat macam-macam kepadaku. Tunggu, memangnya si Pram mau berbuat sesuatu kepadaku? Oh, I’m gonna put a gun on his forehead if he dares to do that.
Dan di Food Republic yang berdesain furnitur gaya lama dan menyuguhkan konsep tempat makan terbuka, aku memutuskan untuk makan bersama Pram di sini. Great choice, rite?