28 Desember, 05.19 p.m.
Yang jelas kurasakan saat ini adalah jantungku yang berdetak ngilu, seiring dengan tetes air mata yang membanjiri kedua mataku. Pandanganku mulai buram karena tergenangi basahan air mata saat masih menatap layar tab-ku.
Sudah berbulan-bulan aku men-deactivate akun Facebook-ku, berharap teori kosong yang menyebutkan bahwa dengan tidak mengaktifkan akun milikku itu bisa menjadi salah satu jalan untuk melupakan Yoga. Benar-benar teori kosong. Karena pada kenyataannya, aku tetap saja tidak bisa menahan keinginanku untuk membuka foto-foto yang ada di jejaring sosial itu. Ya, we're still talking about Yoga.
Dengan mata masih buram, aku memperhatikan profil Facebook-ku. Tidak ada lagi tulisan 'in relationship with Yoga Dion Eryawan’ seperti dulu. Oh, come on, you could call me so damn childish, tapi aku sungguh-sungguh merindukan adanya tulisan itu di profilku.
Air mataku masih saja mengalir, sekeras apa pun usahaku untuk menghapus air mataku──bahkan kedua telapak tanganku ikut-ikutan jadi korbannya, basah kuyup terbanjiri air mata. Berulang kali aku harus mengelap tanganku yang basah itu pada kaus bajuku, agar aku bisa menyentuh ikon-ikon di tab-ku dengan benar.
Wall Facebook-ku sangat sepi. Entah apa yang terakhir tertulis di sana, sesungguhnya aku juga tidak peduli. Aku hanya memandangi ketiadaan tulisan 'in relationship with Yoga Dion Eryawan’ di profilku itu.
Beberapa menit berlalu, hingga akhirnya dengan ragu aku menyentuh tulisan 'Photos' yang ada di bagian bawah foto profil Facebook-ku──I was smilling back there. Di foto itu aku tersenyum lebar, bahkan mempertontonkan gigi-gigiku yang dulu masih berbehel.
Aku bahkan sudah lupa bagaimana rasanya tertawa seperti itu. Mungkin… karena sumber tawa itu sekarang tidak ada lagi di sisiku. Tidak ada lagi kelakuan jahil seorang Yoga yang seringkali memotretku dengan snap shot-snap shot-nya.
Seperti di foto itu… saat aku sibuk dengan gunungan mi ayam di hadapanku dan Yoga meledek ada seekor panda yang tinggal di dalam perutku, sehingga aku makan dalam porsi dobel──entah tripel.
Aku tersenyum saat mengingat waktu itu aku mendebatnya: panda tidak makan mi ayam. Lalu Yoga menjawab bahwa ada kemungkinan panda makan mi ayam, karena pada dasarnya penduduk China──negara yang identik dengan Panda-nya──selalu memakan makanan dengan sumpit. Dan mi ayam yang kumakan adalah makanan yang dimakan dengan menggunakan sumpit.
Saat itu, aku tertawa terbahak-bahak memikirkan korelasi yang tidak masuk akal itu. Apa yang dikatakan Yoga terlalu jenius. Terlalu konyol. Candaannya terlalu… kurindukan.
Aku menarik napas panjang, mengalihkan pandanganku dari profile photo-ku itu. And there we go... berikutnya yang tertangkap mataku adalah foto-fotoku bersama Yoga. Foto-foto di mana aku dan dia berada dalam satu tahap bahagia. Sangat bahagia.
Seketika, air mataku tumpah semakin membrutal bagaikan bendungan air sungai yang jebol tanpa bisa tertahan. Semua kenanganku yang berusaha kusimpan dalam kotak besi bergembok di sudut hatiku, kini terbuka begitu saja. Seperti sebuah kotak pandora yang menyisakan sepi dan pedih di hatiku.
Dulu... aku pernah ada di satu titik di mana aku merasakan cinta pertamaku untuk Yoga. Yeah, people might call it sebagai... cinta monyet. Aku yang masih duduk di bangku kelas satu SMP, menyukai kakak kelasku yang pertama kali kutemui saat kami berdua sama-sama menjadi bagian dari kepengurusan OSIS[1].
Di sana, aku bisa melihat semangat Yoga, kakak kelasku yang duduk di bangku kelas tiga. Hal pertama yang mencuri perhatianku tentang Yoga adalah tawanya. Dan entah dari mana datangnya, otakku kemudian menyebut Yoga dengan sebutan: cowok penuh dengan karisma.
Sebutan karisma terlalu berlebihan untuk remaja bau kencur, bukan? Tapi nyatanya memang begitu. Bagiku, Yoga teramat karismatik. Senyumnya. Tawanya yang renyah. Tubuh tingginya yang kupikir bisa cukup melindungiku bila tiba-tiba aku diserang para berandalan──but thank God, I’ve never met that kind of punk di masa-masa sekolahku dulu.
Ah, aku rindu tatapan matanya bila sedang mengobrol denganku. Aku... aku rindu uluran tangannya saat pertama kali dia berkenalan denganku di depan ruang OSIS. Aku... rindu pelukan tidak sengajanya saat dia menyelamatkanku ketika aku nyaris terserempet motor di depan gerbang sekolah.
Aku juga rindu saat dia masih menjabat sebagai seniorku di kampus. Seorang senior yang diam-diam aku sukai, dan terkadang kuajak ngobrol, walaupun sebelumnya aku harus mencari-cari cara sampai pusing tujuh keliling agar bisa berbincang dengannya. Walaupun hanya sebentar, seperti mengobrol basa-basi di kantin kampus, tetap saja aku bisa tersenyum-senyum seharian gara-gara itu. Yoga... was my saviour.
Walaupun ketika kuliah aku sempat berpacaran dengan orang lain──tiga kali aku pacaran, yang masing-masing di antaranya hanya bertahan selama lima bulan, delapan bulan... dan satu bulan saja. Let's skip those parts──tetap saja ada percikan-percikan kecil di hatiku bila aku sedang berada di dekat Yoga.
“I think you've got my attention.”
Kalimat itu seketika menghantuiku lagi. Kalimat yang diucapkan Yoga sekitar dua tahun yang lalu, saat aku baru menginjakkan kakiku di depan rumahku sepulangnya aku dari kantor.
“I think... I've fallen for you...”
Air mataku semakin berderai hebat, menimbulkan nyeri di dadaku. Kenangan itu menabrak lagi ruang memoriku.
Saat itu, Yoga memberiku bunga tulip, bunga kesukaanku. Dia menyatakan cintanya, membuatku terbang ke langit ketujuh dengan semua kebahagiaan yang kumiliki.
Saat itu, beberapa tahun setelah kami berdua bertemu kembali──setelah diadakannya reuni SMP di salah satu hotel di daerah Jakarta Pusat──akhirnya aku menjadi kekasihnya. Kekasih Yoga… lelaki cinta pertamaku.
Saat itu, aku mendapatkan kebahagiaanku. Sampai akhirnya aku mengenalkan Yoga pada papaku saat aku, Papa, Om Darma, Tante Nena dan Pram makan malam bersama.
Yeah, we had our family dinner──kalau makan malam ini bisa disebut sebagai family dinner karena sesungguhnya tidak ada hubungan darah antara aku dan keluarganya Pram.
Saat itu, aku mengajak Yoga, kekasihku, lelaki yang menyayangiku untuk ikut serta dalam acara makan malam itu.
It wasn't a fault… to introduce my beloved one, was it?
Ya... itu bukan satu kesalahan. Seharusnya bukan kesalahan. Sampai akhirnya aku sadar... perkenalan Yoga dengan Pram-lah yang menjadi satu kesalahan besar.
Oh, tidak. Bukan perkenalan Yoga dengan Pram. Karena sesungguhnya mereka berdua sebelumnya telah saling mengenal satu sama lain. Mereka berdua bahkan memang berteman baik──I've told you that they were classmates in campus.
Mereka memang bersahabat, sebelum aku mengetahui, ternyata ada satu cerita yang membuat hubungan persahabatan di antara mereka itu retak.
* * *