29 Desember, 07.12 a.m.
“You're not a kid anymore. Do it in a right way.”
Kata-kata yang diucapkan Kak Renata saat pertama kali aku datang ke Singapura beberapa hari yang lalu berputar-putar di kepalaku hingga membuat kepalaku terasa hampir meledak.
“Yoga... dia balik ke Jakarta minggu depan.”
Giliran wajah Pram yang kemudian melintas di kepalaku saat aku mengingat apa yang dikatakannya tadi malam, ketika saat entah-apa-yang-merasuki-kepala-Pram membuat dirinya mengajakku ke Henderson Waves lagi. Dan di sana, Pram mengatakan kepadaku kalau Yoga akan pulang dari Jogja minggu depan.Yoga... dia akan kembali ke Jakarta sebentar lagi.
Sesungguhnya ada pertanyaan-pertanyaan di dalam benakku yang terus mengusikku. First of all is... kenapa Pram harus mengajakku ke jembatan itu lagi tadi malam?
Saat kutanyakan tadi malam, jawaban Pram terdengar terlalu simpel. Dia ingin jalan-jalan, dan baginya, Henderson Waves adalah pedestrian area paling oke di Singapura. Astaga, apakah dia tidak ingat apa yang pernah terjadi di antara kami saat berada di tempat itu?
Tapi, tololnya aku, aku malah tidak menolak saat Pram mengajakku ke sana. Itu karena... karena diakui atau tidak, di sanalah kenangan terkuatku akan kehadiran Yoga berada. Di sana... adalah tempat terakhir kalinya aku melihat Yoga tertawa untukku.
Lalu, pertanyaan lainnya adalah... untuk apa Pram memberitahuku bahwa Yoga akan kembali? Apa dia pikir, dengan memberitahuku, maka akan membuatku memaafkan apa yang dilakukannya dulu?
Tapi, aku tidak harus peduli tentang itu. Hanya satu yang perlu kupedulikan saat ini. Iya... tentang kembalinya Yoga ke Jakarta.
Membayangkan Yoga berada di kota yang sama denganku lagi saja sudah membuat perasaanku tidak keruan. Bagaimana bila nanti aku berkesempatan untuk bertemu dengannya lagi?
Oh, God... I do really miss my boy. If only I could call him as my boy… seperti sebelumnya.
“Lebih baik kamu balik ke Jakarta. Surat pengunduran diri kamu masih ada di aku. Belum aku kasih ke general manager.”
Suara Pram masih berdenging di telingaku.
“Emang mau sampai berapa lama kayak gini? Lari dari hal yang sebenernya enggak usah kamu hindarin.”
Aku merapatkan kedua mataku selama beberapa detik. Kejadian tadi malam, masih terekam jelas dalam benakku. Saat aku dan Pram berada di Henderson Waves.
“'Kamu lari dari kerjaan kamu. Kamu jadi manusia antisosial yang cuma ngurung diri di flat kakak kamu. Semuanya cuma gara-gara masalah cinta. That's too much, Del. Hidup kamu enggak berhenti di titik di mana kamu patah hati gara-gara Yoga. Kamu──”
“Kamu bisa ngomong kayak gitu karena kamu enggak pernah tau gimana rasanya sayang sama orang,” aku mendebat ucapan Pram dengan nada dingin. “Apa yang dulu kamu rasa untuk Meira, enggak sama dengan apa yang aku rasa buat Yoga. Kalau kamu emang sayang sama dia, dulu kamu enggak akan semudah itu buat lepasin dia. Kamu──”
“Terserah apa yang pengin kamu lakuin!”
Aku masih ingat bagaimana ekspresi Pram saat dia tiba-tiba membentakku tadi malam. Apa yang kukatakan ternyata lebih dari cukup untuk menyulut amarahnya.
Aku tahu, aku terlalu memancing emosinya. Tapi, nyatanya hal itu tidak membuatku merasa menyesal dan ingin menarik kata-kataku sebelumnya.
“Deeel... Papa nelepon niiih!”
Suara nyaring Kak Renata mengagetkanku. Aku yang masih duduk di depan cermin meja riasku, otomatis memutar kepalaku ke arah pintu saat mendengar suara Kak Renata yang memanggilku itu. Buru-buru aku berjalan keluar dari kamar, kemudian mendekati Kak Renata yang sibuk menyalakan microwave di dapur.
“Nih,” Kak Renata menyodorkan ponsel yang sedang digenggamnya ke arahku. “Papa mau ngomong sama kamu.”
Aku mengerutkan kening, lalu dengan gerakan cepat menempelkan ponsel milik Kak Renata ke telinga kananku. “Kenapa sih Papa harus nyuruh Pram dateng nyariin Radel segala ke sini?” aku berbicara hanya dalam sekali napas.
“I miss you too,” respons Papa dari seberang sana──sebuah respon yang tidak nyambung dengan apa yang aku ucapkan sebelumnya. “Harusnya kalau Papa nelepon, kamu nyapa Papa dulu. Nanya kabar Papa atau bilang kangen sama Papa,” suara Papa terdengar serius. Tapi aku tahu pasti kalau Papa sedang tersenyum sekarang.
“I miss you, Pa,” gumamku akhirnya dengan pelan, dengan wajah cemberut yang untungnya tidak terlihat oleh Papa.
Aku mendengar suara Papa yang tengah mengembuskan napas panjang. “Del, Papa enggak tau kenapa kamu enggak suka sama Pram. Papa ngeliat dia itu kakak yang baik buat kamu.”
Yeah, you just don't know what that guy did to me, Pa. Terus aja anggap kalau dia itu a-good-guy-as-you-always-think.
“Denger. Sekarang daripada kamu luntang-lantung enggak ada kerjaan di Singapura, lebih baik kamu balik ke Jakarta. Batalin resignation letter kamu. Pram pasti bisa ngeberesin masalah ini.”
Gigiku beradu. “Papa, please...”
“Kamu enggak pengin bikin Papa khawatir, kan? Kamu mau, tiap saat Papa enggak tenang gara-gara mikirin anak Papa yang kayak enggak punya tujuan hidup dan kerjanya cuma tidur-makan-tidur-makan dan ngurung diri? Ayolah, Radel... Kak Rena juga kan beraktivitas setiap hari. Jadi, please, Papa minta kamu──”
“Iya, Pa. Iya,” jawabku cepat saat aku sudah tidak ingin di-skakmat lebih jauh lagi oleh Papa. Titik lemahku adalah bila Papa terlalu mengkhawatirkan keadaanku. “Aku akan balik ke Jakarta.”
Detik berikutnya, aku mendengar Papa tertawa lega. “I love you, dear.”
“I love you too,” jawabku, berusaha untuk tersenyum di tengah bimbang dan ragu akan keputusan yang baru saja kubuat.
“Papa tau, kamu enggak pernah ngecewain. I'll call you back later. Salam buat Kak Rena. Baik-baik ya, sama dia.”
“Iya,” jawabku dengan suara lemah.
“Okay. Bye, dear.”
“Bye, Pa.”
Sambungan telepon pun kemudian terputus.
“Aku lupa nanya!” aku menepuk keningku tepat setelah papaku menutup teleponnya.
“Apaan?” Kak Renata bertanya sambil sibuk mengambil apel dari dalam kulkas.
“Aku lupa nanya sekarang Papa ada di mana.”
Kak Renata memutar bola matanya dengan malas. “Astaga, anak macam apa kamu ini, Radella Editha.”
Aku masih manyun.
“Itu muka kamu jangan kayak dilipet-lipet gitu, dong,” Kak Renata mengacungkan pisau yang dipegangnya ke arahku, pura-pura mengancamku. “Enjoy your days sih, Del. Heran deh aku punya adik muram mulu mukanya. Senyum, woy!”