31 Desember, 04.17 a.m.
Dulu, saat Pram pertama kali menginjakkan kakinya di kampus tempatku berkuliah, aku merasa bahwa dia memang tipikal lelaki yang arogan. Maksudku, aku bisa menebaknya dari bagaimana cara lelaki itu memandang orang lain──termasuk memandangku. Sinis adalah satu kata yang cukup tepat untuk menggambarkan dirinya.
Aku tidak terlalu memperhatikan keberadaan lelaki itu, sampai suatu ketika, Papa memintaku untuk stay selama beberapa bulan di rumah salah satu sahabat Papa──Om Darma dan Tante Nena, istrinya. Sialnya, Pram adalah anak dari mereka berdua. Semenjak itu, aku pun juga mulai menyadari bahwa Pram adalah sahabat karib Yoga──lelaki yang tiada lain adalah cinta pertamaku.
Semuanya pasti akan baik-baik saja, maksudku... tentang aku dan Yoga. Iya, semuanya akan baik-baik saja, seandainya cerita lama di antara Pram dan Yoga tidak pernah ada.
Pikiran itu seketika saja melayangkan rekaman di dalam kepalaku pada potongan-potongan adegan di masa lalu.
“He's my first love,” aku ingat bagaimana beberapa tahun yang lalu aku mengatakan hal itu kepada Natasya saat aku dan dia tengah bolos satu mata pelajaran kuliah dan malah menghabiskan waktu dengan nongkrong tidak jelas di kantin kampus.
Natasya memutar kepalanya saat aku menunjuk seseorang yang duduk di sebuah bangku kantin—tepat di belakang tubuh sahabatku itu. “Dia?” tunjuknya pada seorang lelaki ber-polo shirt abu-abu yang tengah berbicara dengan tiga orang temannya di meja sebelah tempat aku dan Natasya duduk.
Buru-buru aku menyubit lengan kanan Natasya dan menarik tangannya itu agar tidak menunjuk dengan gerakan barbar ke arah Yoga—sahabatku itu hampir merentangkan tangannya dengan sempurna ke arah Yoga. Oh, please, aku tidak mau sebuah rahasia kecilku yang kujaga dengan baik dan hati-hati, menjadi buyar seketika gara-gara keteledoran Natasya, si Nona Teledor.
Natasya menggelengkan kepala, membuat rambutnya yang dikucir tinggi bergerak ke kanan dan kiri. Ia menyedot ice tea-nya, kemudian bersuara dengan mulut setengah penuh dengan minuman. “Ini udah abad keberapa, dan kamu masih mendem yang namanya cinta pertama?” tanyanya mendramatisir. “Poor you, my dearest friend.”
Aku diam, lalu menyesap cappuccino dinginku dengan wajah muram. “Whatever you said. Emangnya salah kalau punya cinta pertama?” aku berusaha membela diri.
Natasya menertawakanku—aku menyubit lengannya sekali lagi hingga dia menutup mulut. Astaga, rahasiaku benar-benar bisa bocor dengan kelakuan sahabatku yang satu itu.
“Sorry, sorry,” dia berkata pelan, lalu meneguk minumannya lagi sebelum berkata, “Tapi… ada hal yang perlu kamu tau juga, Del.”
“Apa?” tanyaku tidak bersemangat, padahal aku tengah mendengar suara Yoga yang sedang tertawa bersama teman-temannya dari meja sebelah itu.
Sebisa mungkin aku melawan intuisiku untuk menengok ke arah sumber suara. Well, aku sebenarnya kan kenal dengan Yoga. Tapi tidak mungkin juga aku tiba-tiba nimbrung ke kerumunan itu dan bilang, “Haaai, lagi pada ngobrol apa, nih?” Hah!
Natasya memandangiku sejenak, seperti menimbang apakah aku akan baik-baik saja bila mendengar apa yang akan diucapkannya.
“Apaan sih?” tanyaku waktu itu, setengah menuntut saat Natasya sudah menggerakkan bibirnya, namun buru-buru mengatupkan lagi bibirnya itu.