31 Desember, 11.42 p.m.
Aku tidak percaya dengan penglihatanku sendiri. Apa aku harus pergi ke dokter mata saat ini juga? Ini benar-benar tidak masuk akal.
“Kak Rena, kenapa Pram ada di sini?” aku bertanya kepada kakakku yang sibuk menggoyangkan tubuhnya mengikuti irama musik yang tengah disuguhkan oleh seorang DJ[1] yang entah siapa namanya di atas stage sana.
Kak Renata menolehkan kepalanya kepadaku. “Apa?” tanyanya dengan suara cukup keras, berusaha mengalahkan dentum musik yang membahana ke seluruh penjuru Marina Bay──sebuah pusat hiburan terpadu yang menghadap ke Teluk Marina.
Ribuan orang entah ratusan ribu orang dari berbagai sudut Singapura memadati acara New Year’s Eve kali ini yang diadakan di bagian lapangan terbuka yang luas.
“Pram... kenapa dia ada di sini?” gumamku, entah kakakku mendengar ucapanku atau tidak, namun ternyata tidak lama kemudian kakakku memutar kepalanya, mengikuti arah pandangku.
Detik berikutnya, Kak Renata melambaikan tangannya ke arah Pram yang tengah berjalan mendekatiku dan Kak Renata. “Hai, Pram!” Kak Renata memanggil lelaki itu dengan setengah berteriak.
Pram yang malam ini mengenakan jaket denim, menyunggingkan sedikit senyumnya ke arah kakakku──tidak kepadaku yang berdiri tepat di samping kakakku. That's good. Setidaknya aku tidak perlu merepotkan diriku sendiri untuk menyapa dirinya.
“Hai, Ren,” Pram menyapa Kak Renata──tanpa embel-embel 'Kak' di depan nama kakakku.
Usia Pram dan kakakku memang hanya terpaut satu tahun. Kak Renata lebih tua satu tahun dari Pram.
“Kirain enggak jadi dateng,” ucap Kak Renata dengan tawa friendly yang dia tunjukkan kepada Pram──entahlah apa yang ada di dalam otak kakakku itu. Jelas-jelas dia tahu siapa yang telah membuat kehidupan percintaanku jatuh terpuruk.
Iya, walaupun dia tidak tahu tentang kejadian di Henderson Waves itu, tapi seharusnya dia bisa mengambil conclusion-nya, kan? Aku dan Yoga putus gara-gara si Pram brengsek itu! Kurang jelas apalagi, sih?
Tetapi tetap saja Kak Renata selalu memperlakukan Pram seperti adiknya sendiri. Kak Renata memang photo copy-nya Papa. Mereka berkomplot satu sama lain.
“Sorry tadi aku enggak sempet bales SMS kamu, lagi bareng temen-temen tadi,” jawab Pram yang telah berdiri tepat di samping kiri tubuh Kak Renata.
Tunggu. SMS? Mereka berdua sungguh-sungguh berkomunikasi dengan baik, ya?
“Ho-oh,” Kak Renata pura-pura cemberut.
Aku tidak tahu bagaimana respons Pram selanjutnya, tapi yang jelas, sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku.
Ah, sebodoh apa sih dia sampai tidak menyadari kehadiranku di sini? Tidak mungkin. Jelas-jelas tadi dia berjalan ke arahku──maksudku ke arahku dan kakakku.
Atau… dia sengaja pura-pura tidak menyadari keberadaanku?
Ah, aku yang berdiri di samping kanan tubuh Kak Renata pun tidak perlu memusingkan keberadaan lelaki itu. Mood-ku drop seketika dengan datangnya si Pram──lelaki menyebalkan──yang nyatanya adalah bosku juga. Oh, shit. Aku benci untuk mengakuinya. Dia akan menjadi bosku lagi setelah sebelumnya dia sudah berstatus calon mantan bosku.
Selama satu menit, aku berusaha tidak mengacuhkan perbincangan seru antara kakakku dan Pram, sementara aku sibuk menyimak lagu Got Me Good──lagunya Ciara──yang sedang dibawakan oleh seorang perempuan di atas panggung sana.
“Untung kamu nge-SMS dan ngajakin aku ke sini. Jadi aku enggak perlu diem di flat dengan cuma nonton TV.”
Refleks, aku menoleh ke sebelah kiri. Astaga! Pram benar-benar mengobrol asyik dengan kakakku? Dan... ternyata Kak Renata yang mengajak Pram untuk menghabiskan malam tahun baru kali ini bersama kami?! Unbelievable! Kak Renata harus siap-siap mendengarkan rentetan ocehanku sepulangnya kami nanti dari acara ini!
Ugh! Ingin rasanya aku menyikut lengan kakakku yang masih sibuk menggoyangkan tubuhnya sambil bernyanyi.
Ah, tidak. Pram bukan lelaki bodoh yang tidak akan menyadari kelakuanku bila aku menyikut Kak Renata sebagai bentuk protes atas kehadiran lelaki itu.
“Nonton TV? Lah, pacar kamu yang kemaren mana?” tanya Kak Renata kemudian sambil tertawa.
Wait! Apa aku tidak salah mendengar?! Kak Renata berbicara seperti barusan... artinya dia sering ketemu Pram juga? Bukan hanya lewat telepon atau SMS? Jangan bilang kalau kakak kandungku sungguh-sungguh berada di kubu si lelaki brengsek itu, bukan di kubu adiknya sendiri!
Aku pura-pura masih memfokuskan diriku dengan hingar bingar musik di tempat ini, walaupun tubuhku mematung seperti manequine, tidak berjingkrak-jingkrak seperti apa yang sedang dilakukan kakakku──dan entah apa yang dilakukan si Pram sekarang, aku tidak peduli.
Pram tertawa lepas. “Pacar?”
Astaga! Apa-apaan lagi ini? Pram bisa tertawa sesantai itu? Rasanya seumur-umur aku tidak pernah mendengar lelaki itu tertawa selepas itu. Apakah aku se-mem-bo-san-kan itu di hadapannya selama ini!
Sepersekian detik kemudian, aku menggelengkan kepala. What the hell was I thinking?! I don't need to care about what-is-inside-Pram's-empty-brain.
“Kenapa, Del?”
Aku terhenyak saat Kak Renata menepuk pundakku.
“Apanya yang kenapa?” jawabku balas bertanya.
Kak Renata menaikkan sebelah alis matanya. “Kamu ngegoyang-goyang kepala kamu barusan, kayak lagi pusing,” tuturnya.
Oh, Radella Editha──the idiot one. I need to learn how to drive away my stupid idea without shaking my head or make somebody else realizes what I’m doing.
Aku semakin terhenyak saat melihat Pram memajukan sedikit posisi berdirinya dan menoleh ke arahku. Sisa-sisa tawanya bersama Kak Renata barusan lenyap begitu saja saat tatapannya bertemu denganku.
“Kamu enggak enak badan?” tanya Kak Renata.
“Mau aku anter balik?” tanya Pram kemudian tanpa memberiku kesempatan untuk menjawab pertanyaan Kak Renata sebelumnya.
Refleks, aku mengerutkan keningku. “Enggak usah,” jawabku tanpa ekspresi, kemudian kembali mengalihkan pandanganku ke arah panggung.
“Yakin?” tanya Kak Renata lagi.
Aku menganggukan kepala tanpa melihat ke arah kakakku.
“Kalau misalnya enggak enak badan, mending──”
“Renata!”
Kakakku menghentikan ucapannya saat terdengar suara seorang perempuan memanggilnya.
Kak Renata memutar tubuhnya seratus delapan puluh derajat. “Hallo, Mandy!” Kak Renata memanggil nama temannya yang baru saja berjalan mendekati kami.
Seorang perempuan bule dengan rambut cokelatnya yang ter-blow sempurna menghampiri Kak Renata. Dia mengingatkanku pada Blair Waldorf di drama serial Gossip Girl.
“You're here!” ucap teman kakakku itu sambil tersenyum.
Kak Renata terkekeh, “Yes, I am. Anyway, this is my little sister, Radella,” ujarnya yang kemudian menoleh ke arahku.
Aku sedikit menganggukkan kepalaku ke arah Mandy.
“Mandy temen aku di kantor,” jelas Kak Renata kepadaku.