2 Januari, 07.14 p.m.
Aku adalah seorang Radella Editha yang dirundung patah hati berkepanjangan, nyaris selama satu tahun. Mungkin banyak orang yang tidak menganggap satu tahun ini sebagai satu proses panjang. Tapi terserah dengan anggapan orang lain. Karena pada kenyataannya, waktu selama hampir setahun itu terasa bagai berabad-abad bagiku.
Ya, berabad-abad dalam penantian. Penatian tanpa kepastian akan kembalinya seseorang yang selalu kurindukan. Seseorang bernama Yoga Dion Eryawan.
Lebih dari seminggu yang lalu, aku memutuskan untuk lari ke Singapura—yang nyatanya menjadi satu usaha gagal untuk memperlebar jarakku dengan kenanganku. Usaha yang benar-benar-terlalu-sia-sia. Ya, ya, ya, standing applause untuk Pramana Abimanyu yang malah ikut-ikutan pergi ke Singapura dan malah semakin mengingatkanku akan masa-masa hampir setahun yang lalu kami berada di Singapura.
Maksudku, kenangan-kenangan manisku di Jakarta bersama Yoga terlalu banyak. Makanya aku mengatakan bahwa aku perlu untuk memperlebar jarakku dengan kenanganku. Di rumahku, di kantorku yang dulu ada di daerah Kuningan, di warung seafood kesukaan kami, di mall-mall tempat kami menghabiskan waktu untuk sekadar nonton di bioskop atau makan ice cream Baskin-Robbins, atau nongkrong-nongkrong sambil tertawa ngakak di food court-nya, atau saat kami duduk manis berdua di ruang tamu rumahku untuk melakukan marathon DVD──yang beberapa di antaranya diselingi dengan pelukan dan kecupan hangat dari Yoga untukku.
At first… I thought I was stuck in a zero point of my way to forget my memories. Tapi kemudian aku baru mengerti. Mungkin aku memang belum siap untuk melepas kenangan itu. Aku masih menanti kenangan yang menempel di setiap inci tubuhku untuk menjadi nyata. Dan sekarang… di sinilah aku berada. Berdiri berhadapan dengan lelaki yang selalu kurindu di setiap siang dan malamku. Yoga Dion Eryawan.
Mungkin butuh dua puluh hingga tiga puluh orang untuk menampar pipiku saat ini──agar aku bisa terbangun dari mimpiku. Mimpi tentang Yoga yang berdiri di hadapanku dengan senyumnya yang selalu menghangatkan hatiku.
Wajah yang kurindukan itu, tampak segar. Lelaki itu seperti baru saja mandi pagi dengan hasil proses shaving yang sempurna.
Kedua bola mata lelaki itu berkilat hangat. Menatap ke arahku. Kalaupun ini hanya mimpi, rasanya aku rela untuk tidur berbulan-bulan──oh my, but don't put me in a vegetative state, I beg.
“Hai.”
Kakikku masih menapak di atas lantai marmer Manhattan Hotel ini, kan?
“Apa kabar?”
Oh, God. He's really here!
“Yo... ga?” akhirnya aku sanggup bersuara. Tenggorokanku tercekat.
“Apa kabar, Del?”
Otakku tidak bisa berpikir dengan cepat. Aku bahkan sudah tidak peduli bila ternyata sekarang aku tampak bodoh di hadapan lelaki itu.
“Baik,” meluncurlah satu kata yang terbebas dari kegagapan. Thank God.
Yoga yang masih tersenyum ke arahku, berjalan mendekatiku. “Buat kamu,” ucapnya sambil memberikan seikat bunga tulip untukku.
Aku sampai lupa bagaimana caranya bernapas saat aku meraih bunga itu ke dalam pangkuanku.
Masih dengan menahan napas, aku memperhatikan bunga-bunga tulip kesukaanku. Yoga… masih ingat akan jenis bunga favoritku.
“Kamu keliatan cantik, Del. As usual,” Yoga tiba-tiba mengucapkan kalimat yang tidak aku duga. “As usual... you look so wonderful.”
“Thanks,” refleks, aku tertawa kikuk. “Sorry, aku agak-agak bingung kenapa tiba-tiba kamu ada di sini,” ucapku jujur.
Yoga tertawa. “Ceritanya panjang. Kecuali kalau kamu mau absen dari acara makan malam dengan orang-orang kantor kamu.”
Aku yang masih shock akan kedatangan Yoga yang tiba-tiba muncul di hadapanku, semakin shock dengan statement yang baru saja dia ucapkan. “Loh, kok tau?” tanyaku.
“Lagi-lagi aku cuma bilang. Ceritanya panjang, kecuali──” Yoga menyipitkan matanya, pura-pura memasang tampang serius.
Ingin rasanya aku menangkupkan kedua telapak tangan di wajahku karena wajahku pasti sedang memerah. Namun aku sedang menggenggam bunga cantik pemberian dari Yoga, jadi aku kesulitan untuk menutup wajahku dengan kedua tanganku──kecuali kalau aku mau menenggelamkan wajahku pada bebungaan ini.
Am I like a fifteen years girl who meets her first love? I guess so. In fact, the guy is my-really-first love.
Jantungku berdebar-debar──menggedor keras rongga dadaku seolah akan keluar begitu saja.
Yoga berdiri semakin dekat dengan tubuhku yang hanya sebatas lehernya. Dia masih memandang ke arahku dengan matanya yang agak sipit dan iris matanya yang berwarna cokelat. Aku masih ingat bagaimana rasanya saat menyentuhkan tanganku di tulang hidungnya yang tinggi. Aku juga masih bisa merasakan dengan jelas ketika dulu aku menjahilinya dengan mencubit pipinya. Dulu…
“Kamu mau ke mana bawa-bawa tas itu?”
Aku terhenyak. Buru-buru aku mengerjapkan mata, berusaha untuk menyimpan kenanganku bersama Yoga di dalam kotak pandoraku tersayang di dalam hatiku──sebuah kotak yang indah namun hanya berisi perih. Perih dari sisa cerita yang ada.
“Tas kamu mau dikemanain?”
Astaga! Aku lupa kalau aku masih menenteng tas kertas untuk menyimpan baju kantorku. “Aku mau ke mobil, mau nyimpen ini,” aku tergagap.
Yoga menaikkan sebelah alis matanya. “Emang mobil kamu di mana?”
“Di dep──” aku menepuk keningku sendiri saat baru mengingat apa yang telah kulakukan. “Aku enggak tau parkirnya di mana. Tadi pake vallet parking.”
Kontan Yoga tergelak, sementara aku terpesona dengan pemandangan di hadapanku. Yoga-ku... tertawa bersamaku...
“Aku tadi buru-buru ke kamar mandi buat ganti baju, jadi──”