Beautiful Sorrow

Pia Devina
Chapter #13

Bab 12 - Dua Figur

2 Januari, 09.40 p.m.

“Hai!”

Aku tersenyum kikuk saat melihat Natasya yang menyapa Yoga dengan tidak santai gara-gara diliputi kebingungan. Mungkin dikiranya, Yoga tidak akan datang secepat ini mencariku.

Aku yang berdiri di samping Natasya, tepat di hadapan Yoga, berdeham saat selama tiga detik tidak ada satu orang pun dari kami yang berbicara. “Jadi──” aku berusaha mencari topik pembicaraan, tapi otakku malah mentok pada satu kata itu saja.

Actually, I have a lot of questions in my mind──segunung pertanyaan yang berkelibatan di dalam kepalaku. Pertanyaan pertama: bukankah tadi Yoga bilang akan menungguku di tempat parkir? Nah, kenapa Yoga sekarang tiba-tiba muncul bahkan sebelum aku memberi kabar bahwa acara makan malamnya sudah selesai?

Pertanyaan kedua: ke mana larinya bunga dan tasku? Yoga menungguku dengan tangan kosong. Pertanyaan berikutnya adalah...

“Kalian bener-bener satu tempat kerja sekarang?” tanya Yoga kemudian, membuyarkan isi pikiranku.

“Iya,” jawabku singkat.

Aduh, ingin rasanya aku meminta Yoga untuk ngobrol-ngobrol di tempat yang lebih humanis dibandingkan berdiri di lobby hotel ini. Ada sih sofa mewah di lobby ini, tapi tidak ada tanda-tanda dari Yoga kalau dia ingin berlama-lama di lobby hotel ini.

“Dulu Radel bilang, katanya dia enggak betah kerja di tempat yang sebelumnya, jadi aku ajak dia buat ikut tes masuk perusahaan tempat aku kerja.” Natasya mulai bercerita dengan santai──tanpa suara dengan basic kebingungan. Untunglah.

Aku menganggukkan kepala dengan cepat. Aku tidak mau Yoga salah paham karena aku dan Pram bekerja di satu perusahaan yang sama, departemen yang sama pula!

“Untunglah IQ points-nya Radel enggak dalam level jongkok banget, jadi dia diterima di perusahaan ini,” canda Natasya sambil tertawa, yang kontan saja diikuti tawa dari Yoga.

Astaga, mereka berdua berkomplot untuk menertawakanku, ya?

“Apa maksudnya, Nat? Pipi kamu pengin dicium pake sepatu aku, ya?” aku pura-pura ngambek dengan mendelik galak ke arah sahabatku itu. Detik berikutnya, aku ikut-ikutan tertawa.

“Iya, akhirnya aku sama Radel kerja di tempat yang sama,” jawab Natasya yang kemudian meletakkan tangannya di pundak kiriku, melewati pundak kananku. “This is so great. Jadinya seru!”

“Banget!” responsku cepat dengan penuh semangat. “Untunglah aku betah kerja di sini. Yah… mungkin karena sehari-hari ada hiburan dengan adanya orang stress semacam Natasya ini,” sambungku dengan memasang tampang pura-pura serius.

Yoga masih tertawa. “Kalian berdua ini bener-bener ya, enggak ada bedanya sama dulu pas kita masih pada kuliah. Sayangnya aku enggak kenal akrab dari pas masa-masa dulu itu.”

Meira. Masa-masa kuliahku identik dengan nama itu. Hush! Sekarang bukan saatnya untuk membahas masalah itu, kan?

Natasya menganggukkan kepalanya. “Harusnya kamu kenal kita dari dulu, dan pacaran dengan Radel dari dulu.”

Bola mataku rasanya hampir copot seperti adegan-adegan di film kartun Tom and Jerry saat Natasya berbicara seperti itu.

Natasya nyengir, tampak merasa bersalah dengan ucapannya yang keceplosan itu barusan. Thank God, ternyata Yoga malah terkekeh menanggapinya. Untung dia tidak kabur begitu saja karena──ehem, mungkin──tahu kalau aku masih jatuh cinta kepadanya. Bahkan hingga detik ini dia ada di hadapanku.

“Kerja di sini menyenangkan,” Natasya berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Tumben dia cukup wise untuk berbicara.

Baru saja aku akan membuka mulutku ketika ternyata Natsaya meneruskan kata-katanya.

 “Kecuali tentang Pram kali, ya, yang suka bikin mood Radel nge-drop.”

Aku tarik kembali ucapanku tentang Natasya beberapa detik yang lalu tentang wise-wise-an itu.

Suasana seketika hening. Tawaku lantas lepas dari wajahku. Kenapa sih Natasya harus keceplosan di saat menyenangkan seperti beberapa menit yang baru saja berlangsung?!

“Nat,” aku menyahut dengan sedikit mendelik, tapi berusaha sebisa mungkin untuk kembali terlihat tersenyum. Terbayang, kan, bagaimana susahnya tersenyum di kondisi ini?

“Eh, itu──” Natasya gelagapan.

“Emang Pram kenapa?” tanya Yoga yang tersenyum kepadaku dan justru membuatku tidak enak hati.

Buru-buru Natasya mengibaskan kedua tangannya di depan dadanya. “Enggak kenapa-kenapa sih. Mereka cuma kayak tikus sama kucing... kadang-kadang.”

Lagi, adegan di film Tom and Jerry yang sedang berlari-larian untuk saling bunuh, muncul di dalam kepalaku.

* * *

 2 Januari, 11.03 p.m.

Are you tired?

Aku yang tengah duduk di salah satu sudut Café De Burse yang berada di daerah Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, mengalihkan perhatianku kembali ke arah Yoga, setelah sebelumnya aku sibuk membalas SMS dari Natasya yang tengah mengalami euphoria karena melihat aku yang jalan berdua dengan Yoga malam ini──dia sengaja melupakan bagian keceplosan yang tadi dilakukan olehnya.

Aku menggelengkan kepala dengan cepat ke arah Yoga yang duduk di samping kanan tubuhku. “Enggak kok, I’m okay,” jawabku.

Aku memang seharian beraktivitas hari ini, tapi rasanya energi di tubuhku masih bersisa sembilan puluh sembilan persen──you know, dari jam delapan pagi hingga jam enam sore aku bekerja di kantor, jam enam sampai hampir jam tujuh malam aku berjuang mencari dress, lalu dilanjutkan dengan acara dinner bersama dengan orang-orang kantor hingga jam setengah sepuluh tadi. But now I’m so far from something called tired──thanks to Yoga for making my day. Boleh deh tiap hari aku beraktivitas seperti ini, asalkan Yoga selalu muncul di setiap hariku itu. I won't complaint. Aku serius.

Okay, here I am now. Dengan sisa-sisa tenagaku hari ini, aku mengiyakan Yoga untuk menemaninya pergi ke kafe ini, menghabiskan waktu di sofa panjang yang ada di salah satu sudut kafe yang berbatasan dengan kaca besar yang menghadap langsung ke luar kafe. Dari tempat yang ada di lantai dua ini, aku bisa melihat lampu-lampu kendaraan yang berlalu lalang di jalanan salah satu bagian ibukota sana.

Lihat selengkapnya