Beautiful Sorrow

Pia Devina
Chapter #14

Bab 13 - Kita

 5 Januari, 09.19 a.m.

“Harusnya kamar ini dipasangin CCTV[1] biar ntar kamu bisa liat apa yang lagi kamu lakuin.”

Aku tidak menggubris ucapan Natasya yang tengah duduk di atas tempat tidurku sambil menggeleng-gelengkan kepala melihatku yang sibuk mondar-mandir di depan cermin.

“Kamu kayak ABG banget deh, Del. Sekarang masih Sabtu pagi, malem mingguannya masih berjam-jam lagi,” ujarnya lagi dengan gemas. “Aduuuh, kamu tuh kayak mau kencan ama Jude Law aja, prepare-nya dari berabad-abad sebelumnya.”

“Berlebihan deh, ah,” sahutku yang kemudian bergerak mendekati lemari bajuku dan mengambil cocktail dress-ku yang berwarna broken white dengan motif bunga berukuran kecil berwarna pink di beberapa spot-nya. Sementara baju yang kupegang──shirtdress berwarna kuning muda──yang kupatut sebelumnya di depan cermin, kulempar begitu saja ke atas tempat tidur, persis ke arah samping tubuh Natasya yang masih bergelung di bawah selimut.

This is my very first date,” responku sambil sibuk memandangi diriku sendiri di cermin.

Natasya langsung tertawa terpingkal-pingkal mendengarkan apa yang baru saja kuucapkan. “Astagaa, se-obsess itu kah sekarang kamu ke si Yoga, Del? Gila! Kencan pertama dong katanya!”

Aku memutar tubuhku dan membelalakkan mata dengan galak kepadanya. “Sama sekali bukan obsesi,” kataku membela diri. “Maksud aku, ini pertama kalinya aku nge-date beneran sama Yoga setelah kita berdua bubaran hampir setaun yang lalu.”

Natasya tersenyum meledek. “Ini cewek usianya 26 tahun tapi kelakuannya kayak ABG-ABG yang belum genap 17 tahun. Yes, everyone. Cinta itu emang gila. Bisa memutarbalikkan posisi otak juga kali, ya.”

Aku kembali meletakkan baju-bajuku di depan tubuhku──yang masing-masing masih tersemat pada setiap hanger baju──secara bergiliran. “Udah, jangan bawel, ntar aku enggak akan ngeizinin kamu nginep lagi di sini kalau kamu baru balik subuh kayak tadi,” ancamku bercanda, lalu memandangi diriku sendiri lagi di depan cermin.

“Ah, parah! Aku didepak gara-gara si Yoga,” Natasya pura-pura sewot.

Aku terkekeh geli melihat sahabatku yang sedang manyun.

I need to take a party, Del. Minimal sebulan sekali,” Natasya masih duduk di tempatnya dengan menutupi wajahnya menggunakan kedua tangannya, kemudian setengah membanting tubuhnya di atas tempat tidur. “Hal yang penting dilakuin buat melepas stress.

Itulah sahabatku dan hobinya.

“Ya udah, makanya mending sekarang bantuin aku milih baju buat dipake nge-date ntar malem, daripada kamu ngomel-ngomel mulu kayak nenek-nenek,” ujarku.

Natasya bangkit dari tempat tidur, kemudian bergerak mendekatiku dan selama beberapa detik memperhatikan black v-neck flatter yang kusimpan di depan tubuhku. “That's good,” tunjuk Natasya. “Tapi, Del. Serius deh. Ini acaranya ntar malem loh. Dan sekarang masih pagi. Kamu bisa milih baju ntar aja kali, ntar kan──”

“Ya justru itu, untuk acara ntar malem, aku harus nyiapin secara matang apa yang harus aku pake,” aku memotong ucapan Natasya.

Natasya hanya menggeleng-gelengkan kepala──lagi──melihat tingkahku.

* * *

5 Januari, 09.43 p.m.

Aku bingung dengan apa yang ada di kepala Yoga──lelaki yang sekarang tengah menyantap ayam goreng McDonald's di hadapanku. Tadi, sekitar jam tujuh malam, Yoga menjemputku. Aku kira dia akan mengajakku makan malam di restoran atau apa lah, tapi ternyata dia mengajakku ke McDonald’s.

Aku bukan pemilih, bukan juga tidak menyukai junk food. Hanya saja… mungkin aku berharap Yoga akan mengajakku untuk candle light dinner di tempat yang romantis. Di restoran Italia, mungkin? Seperti apa yang dulu kadang-kadang dia lakukan bersamaku.

Yah… namanya juga berharap. Boleh-boleh saja kan kalau aku masih berharap kedekatan kami bisa seperti dulu, sebelum kejadian sialan di Henderson Waves itu terjadi?

Malam ini Yoga mengenakan polo shirt putih dengan celana khaki. Seperti biasa, dia selalu terlihat fresh dengan penampilannya. Kalau boleh, saat tadi dia menginjakkan kaki di depan teras rumahku, aku ingin memeluknya begitu saja. Tapi untunglah otakku masih bisa berfungsi dengan benar dan sanggup memerintahkan kerajaan emosi di dalam tubuhku agar bisa menahan diri. Ya… kenyataannya, Yoga bukan pacarku lagi. Ah... seandainya...

“Abis ini kita ke mana lagi?” tanyaku dengan mulut yang setengahnya dipenuhi nasi dan potongan ayam goreng.

“Makan aja dulu,” jawab Yoga sambil tersenyum. “Tadi kita baru makan kebab pinggir jalan aja. Kekurangan gizi ntar kamunya kalau enggak makan nasi.”

Aku mengernyitkan kening, pura-pura berkeberatan. “Kayaknya sepanjang kita bareng malem ini, semuanya serba rahasia.”

Yoga tertawa. “Sekali-kali boleh, kan?”

“Hmmm,” jawabku pendek. “Boleh enggak, ya?” Aku memasang tampang pura-pura tengah berpikir keras.

Jujur, selama hampir setahun ini, rasanya aku belum pernah mengalami euphoria sehebat ini. Menghabiskan waktu bersama Yoga membuatku lupa akan yang namanya 'tidak tersenyum' atau 'tidak tertawa'.

Lihat selengkapnya