7 Januari, 03.39 a.m.
Suara Danny O’Donoghue membangunkanku. Entah butuh waktu berapa lama sang vokalis dari band The Script itu harus bernyanyi hingga aku berhasil terbangun dari tidurku. Well, I'm not telling you that the guy is having a live concert in my room. Si Bang Danny ini bernyanyi karena ada seseorang yang sedang meneleponku──hell yeah, the voice comes from my cell phone tones.
Dengan mata masih tertutup, aku meraba tempat tidurku──hanya sebatas jangkauanku tanganku saja karena aku terlalu malas untuk bangun dan mencari ponselku itu. Sesaat sebelum ringtone ponselku itu berhenti, aku berhasil menemukan ponselku di belakang tubuhku, tertindih oleh setengah bagian tubuhku.
Aku menyentuh layar ponselku asal-asalan, tanpa membuka mata.
“Hallo,” ternyata aku cukup jenius untuk mengangkat telepon dalam kondisi ngantuk parah seperti ini.
“Del, ini Pram.”
Dahiku otomatis mengerut saat mendengar suara Pram dari seberang sana.
Refleks, aku menjauhkan ponselku dari telingaku, kemudian melihat angka penunjuk jam yang tertera di layar ponselku. 03.40.
Buset, kurang pagi woy meneleponnya!
“Pram, ntar lagi aja neleponnya. Kayaknya enggak etis juga kalau ada bos ngasih kerjaan ke stafnya jam setengah empat pagi kayak gini.”
Aku tidak tahu apakah kalimat yang kuucapkan itu sudah runut atau belum. Tapi aku tidak peduli. Rasanya terlalu keterlaluan bila Pram mengejarku dengan pekerjaan-pekerjaan yang dia berikan kepadaku di luar jam kerja yang wajar.
Tanpa mendengar respon dari Pram, aku langsung menutup teleponku dan berusaha menutup mataku rapat-rapat. Kepalaku masih berdenyut sakit karena tadi──tepat sebelum Pram meneleponku──aku tengah bermimpi buruk.
Aku bermimpi tanganku diseret dengan kasar oleh sesosok siluet lelaki yang memaksaku menjauh dari tempat Yoga berdiri di sebuah hall yang berukuran sangat besar dengan hawanya yang dingin. Aku meronta-ronta agar tanganku terlepas dari sosok siluet lelaki itu. Aku ingin kembali ke tempat Yoga berada. Iya… Yoga yang baru saja mengatakan kepadaku bahwa dia tidak akan pernah melepaskanku.
***
7 Januari, 10.04 a.m.
Beberapa kali aku membenarkan posisi brown hobo bag-ku di pundak kananku. Sudah jam sepuluh. Aku baru bangun jam delapan pagi gara-gara tadi subuh lagi-lagi aku didera migrain yang sangat menyebalkan dan akhirnya aku minum obat yang membuatku berakhir dengan ketiduran lagi, dan alhasil aku bangun kesiangan. Tepuk tangan untuk diriku sendiri, terima kasih.
“Kamu dicariin dari tadi, Del.”
Baru saja kakiku mendarat dengan selamat di atas karpet──alas dari meja dan kursi kerjaku──namun Natasya yang tampak tergesa-gesa sudah muncul di hadapanku.
“Handphone kamu enggak nyala sepanjang pagi ini, ya?” dia bertanya buru-buru dengan wajah kusut.
Wait. Did i miss something here?
“Iya, aku lupa nge-charge tadi malem. Tadi aku bangun kesiangan pula. Nyetir aja udah kayak orang gila. Dasar Jakarta, enggak bisa gitu, ya, kalau enggak macet,” aku ngomel panjang lebar sambil meletakkan tasku di atas meja dan mengeluarkan beberapa dokumen dari map transparan yang aku bawa──map yang tiada lain-tiada bukan adalah map berisi setumpuk pekerjaan yang diberikan Pram waktu beberapa hari yang lalu dia menungguku di depan rumah.
Natasya yang hari ini mengenakan mid grey longline blazer itu menghela napas panjang. “You're in a big disaster, Del. Serius, deh.”
Seketika aku menghentikan pergerakanku dan mendongakkan kepala ke arah sahabatku yang tengah menatapku dengan khawatir. “Maksudnya? Ada apa, Nat?”
“Kamu dicariin sama Pram, sama dicariin Bu Santi juga,” jawab Natasya. Kali ini dia menunjukkan ekspresi prihatin kepadaku.
“Ada apa emangnya?”
“Tadi ada meeting dadakan jam delapan. Meeting yang harusnya jam satu siang, di-reschedule jadi jam delapan tadi. Mr. Alex yang minta meeting dipercepat gara-gara ntar siang dia ada teleconference sama pihak headquarter. Dia minta file presentasi untuk review tahunan dari beberapa supplier yang kerjasama dengan perusahaan ini sepanjang tahun lalu.” Natasya menjelaskan panjang lebar.