7 Januari, 01.50 p.m.
Pram masih duduk di kursinya dengan bibirnya yang tertutup rapat. Mungkin dia tidak akan mengira kalau orang keras kepada dan menyebalkan seperti aku ini bisa meluncurkan kalimat permintaan maaf seperti yang baru saja kudengungkan di telinganya.
“Aku minta maaf tentang apa yang udah aku lakuin ke kamu beberapa minggu yang lalu,” aku mengulangi ucapanku──tidak yakin apakah Pram mendengarkan apa yang sebelumnya kukatakan atau tidak.
Kejadian beberapa minggu lalu, sekitar dua bulan yang lalu, diputar ulang di dalam benakku. Di sini, di ruangan yang sama dengan tempatku berdiri saat ini, entah apa yang mengerubuni sel abu-abu otakku, yang jelas saat itu aku berkelakuan luar biasa kekanak-kanakkan.
“Kalau kamu enggak sanggup nge-handle urusan dengan HRD perusahaan itu, kamu tinggal bilang sama staf yang lain biar mereka yang handle,” saat itu, Pram berdiri di hadapanku dengan tampang seriusnya yang selalu ditunjukkan olehnya kepadaku.
Sementara Pram berkoar-koar──dia tidak pernah marah-marah dengan penuh emosi, namun lebih memilih untuk marah-marah dengan suara pelan dan menghajar lawan bicaranya dengan taktiknya yang menonjok halus perasaan lawannya dengan kata-kata yang tajam. “Aku bisa nyuruh orang lain buat ngerjain tugas itu.”
Pelipis mataku berdenyut. Aku bukannya tidak mau mengerjakan apa yang memang harus aku kerjakan. Masalahnya adalah dari tiga hari sebelumnya aku diserang vertigo, sehingga aku tidak bisa banyak beraktivitas──si Pram ini memang tukang men-judge karyawannya tanpa melihat kondisi yang sebenarnya.
“Ya udah kamu kasih aja kerjaan ini ke orang lain,” desisku kesal saat itu.
Aku tahu, nada bicaraku waktu itu terlalu kurang ajar untuk aku ucapkan kepada bosku. Tapi si Pram ini terlalu menyebalkan. Jadi yang bisa kulakukan hanyalah berkata dengan nada tidak sopan seperti itu.
“Oke, kamu serahin supporting files-nya secepatnya,” Pram membuang pandangannya dariku.
Aku harus berjuang mempertahankan keseimbangan tubuhku saat melihat Pram yang tengah berjalan menjauhiku dan duduk di kursi kerjanya.
Sialan. Vertigo ini belum hilang sepenuhnya. Bahkan perutku sudah mulai mual.
“Oke,” balasku tajam──tidak mau kalah.
Kepalaku semakin terasa pusing. Rasanya semua benda di sekelilingku menjadi berputar-putar, membuatku ingin muntah. Saat aku membalikkan tubuhku dan berjalan ke arah pintu, lututku lemas. Vertigo sialan itu membuatku benar-benar kehilangan keseimbangan.
“Kamu enggak apa-apa, Del?”
Aku memejamkan mataku erat-erat, berharap bila aku memejamkannya selama beberapa detik, saat membuka mata lagi nantinya bayangan-bayangan yang teratangkap mataku tidak lagi bergoyang. Sekelilingku tidak lagi berputar.
“Del?”
Aku memukul-mukul keningku dengan pergelangan tangan kananku.
Sedetik kemudian, aku kaget saat Pram melingkarkan tangannya dari bagian sisi kiri ke sisi kanan tubuhku. Astaga, apa yang akan dia lakukan?! Pasti dia berniat kurang ajar, itu pikirku waktu itu. So-bego-I-am dengan pemikiran enggak banget seperti itu. Hah!
Dengan gerakan kasar dan seperti orang kesetanan, waktu itu aku langsung menghempaskan tangan Pram dan tanganku sudah menamparnya begitu saja. Bahkan sebelum otakku menginstruksikan apa yang harusnya aku lakukan, tanganku sudah begitu saja menampar pipi lelaki yang baru kusadari beberapa saat kemudian kalau dia hanya ingin membopongku ke sofa agar aku bisa istirahat.
“Sorry,” akhirnya ucapan maaf itu baru kuucapkan hari ini──aku benar-benar meminta maaf. Aku serius.
Semenjak kejadian waktu itu, aku tidak pernah sepatah katapun mengucapkan kata maaf untuk Pram, padahal seantero HRD mengetahui apa yang terjadi waktu itu. Aku menampar Pram di ruangannya. Ruangan yang hanya terbatasi kaca transparan, sehingga semua orang HRD bisa melihat apa yang terjadi di dalam ruangan Pram ini.
Tapi… bagaimana lagi? Aku selalu merasa apa yang pernah dilakukannya kepadaku di Henderson Waves membuatku tidak pernah ingin meminta maaf atas apa pun yang kulakukan kepadanya──kesalahan apa pun yang kulakukan──termasuk apa yang sengaja kuperbuat padanya di Gunung Bromo. Tapi untuk hari ini, rasanya sudah waktunya aku meminta maaf. Iya… meminta maaf… untuk kali ini saja.
***
13 Januari, 02.14 p.m.
I love weekend! I usually LOVEEE it!
Tetapi dengan hadirnya lagi Yoga di dalam kehidupanku, rasanya kecintaanku akan sesuatu yang bernama weekend ini bertambah menjadi sepuluh kali lipat!
Seperti saat ini. Mood-ku yang luar biasa meroket ke ambang kebahagiaan maksimal, membuatku mau bersusah payah memasak chicken soup untuk Yoga──oh this is something you should know, kemampuanku memasak hanya sebatas masak air, masak telur, masak nasi di dalam rice cooker, paling banter masak nasi goreng yang rasanya teramat sangat biasa alias pas-pasan.
Tapi sindrom jatuh cinta memang seringkali membuat seseorang mau bersusah payah. Aku, yang biasanya menghabiskan minggu sore dengan nonton DVD atau jalan bareng Natasya selama beberapa bulan terakhir ini, memutuskan untuk berkreasi dengan mengintip cara membuat sup ayam dari internet.
Tadi pagi Yoga bilang tenggorokannya agak terasa sakit, mungkin gejala-gejala flu.
So, I decided to make my very-yummy chicken soup for him!
Saat aku tengah mengaduk masakanku, ponselku yang kuletakkan di atas kulkas berbunyi. Aku melongok melihat siapa yang meneleponku. Papa.
“Hallo, Pa,” aku mengapit ponselku di antara pundak kananku dengan telinga kananku. “How are you?”
“Papa baik-baik aja. Kamu gimana? Kerjaan kamu baik-baik aja, kan?”