14 Januari, 11.14 a.m.
“Radel! Woooy!”
Aku tersentak saat menyadari Natasya tengah mengibas-ngibaskan tangannya ke arahku.
“Kamu ngelamun, ya?” tanyanya menyelidik. “Bengong gitu.”
Aku pura-pura tersenyum yang sepertinya malah semakin membuatku tertangkap basah kalau aku baru saja melamun──jiwaku melayang-layang, kembali ke tadi malam, sementara tubuhku di sini, di kubikel kerjaku, dengan tumpukan pekerjaan yang harusnya kuselesaikan di hari Senin yang hectic seperti hari ini. Iya, pikiranku masih terpancang kuat pada foto Meira dan Yoga yang tidak sengaja kulihat tadi malam. Foto yang jelas bercerita kalau mereka masih saling jatuh cinta. Setidaknya itu yang bisa kutafsirkan dari foto yang dengan suksesnya membuat hatiku menjadi sedih-sesedih-sedihnya.
“Ini dokumen-dokumen dari pihak asuransi. Kamu review lagi,” Natasya yang berdiri di hadapanku menyodorkan dokumen-dokumen yang ada di dalam file folder berwarna merah, sementara aku terdiam seperti orang idiot.
Natasya lalu menggeleng-gelengkan kepala, kemudian meletakkan file folder itu di mejaku saat aku tidak mengulurkan tanganku untuk mengambil barang yang disodorkannya. “Mulai lagi nih bocah, ngelamun sampai lupa yang lainnya.”
Aku meringis. “Sorry,” ujarku.
Natasya mengangkat kedua bahunya, kemudian berjalan ke arah kubikelnya. “Ada apa lagi? Tentang Yoga?” tanyanya saat dia sudah duduk di kursi kerjanya.
“Enggak, bukan,” jawabku berbohong, kemudian buru-buru berakting membuka dokumen-dokumen di hadapanku.
Aku tahu Natasya mengetahui bahwa aku sedang berbohong. Tetapi sepertinya kali ini dia ingin memberiku kesempatan untuk tenggelam dalam lamunanku sendiri tanpa bertanya-tanya lebih lanjut. Syukurlah. Aku memang butuh menghabiskan waktu dengan pikiranku sendiri. Dengan apa yang mungkin tengah kuhadapi.
Setelah melihat foto Yoga dan Meira itu, rasanya aku tidak bisa tidur tenang. Foto itu sepertinya belum lama diambil, mengingat model rambut Yoga yang tadi malam kutemui dengan model rambut Yoga yang ada di foto memiliki model yang sama──satu analisis tidak penting yang nyatanya cukup penting. Atau bahkan sangat penting, yang sialnya menjebloskan aku ke dalam puing-puing kegelisahan.
Ya, aku gelisah──bertanya-tanya. Tapi tidak mungkin juga kan kalau aku bertanya? Memangnya aku siapa? Pacarnya Yoga? Bukan, kan? Masa aku harus bertanya, “Apa kamu balikan sama Meira?”. Luar biasa sekali kalau aku sampai melakukan hal itu.
Ya sudah, kutelan sendiri saja pertanyaan itu. Yoga tidak perlu tahu bahwa aku pernah melihat foto itu.
Aku mencoba memfokuskan deretan-deretan tulisan pada dokumen yang ada di hadapanku, tapi tak ada satu kalimat pun yang menempel dan tercerna oleh otakku. Rasanya otakku penuh dengan Yoga dan Meira.
Dalam beberapa jam ke belakang, sebuah lubang kerisauan terbentuk di dalam dadaku. Bila sebelumnya lubang itu hanya berdiameter satu sentimeter, entah bertambah menjadi berapa besar sekarang diameternya itu. Lubang itu bertambah besar seiring dengan perasaan takutku bila pada kenyataannya, Yoga tidak mencintaiku seperti apa yang selama ini aku harapkan dari Yoga. Bagaimana bila hal itu adalah satu kenyataan yang harus aku hadapi?
Karena ternyata ujung-ujungnya aku harus mengakui, walaupun selama ini sesosok perempuan bernama Meira Devani Hilmy pernah hadir dalam kehidupan Yoga, aku selalu pura-pura bego dengan menganggap eksistensi Meira di kehidupan Yoga tidak terlalu hebat. Tapi melihat apa yang terjadi, Meira tampaknya masih ambil bagian dalam kehidupan Yoga. Itu yang mungkin baru aku ketahui sekarang.
Yang tidak aku tahu... seperti apa bentuk hubungan Meira dan Yoga saat ini? Mengapa ada foto mereka berdua di mobil Yoga?
Satu solusi yang entah layak kucoba atau tidak, melintas di kepalaku.
Pram. Aku harus bertanya pada Pram.
***
14 Januari, 08.07 p.m.
Pandanganku mengedar. Dari dalam mobil, aku celingak-celinguk ke arah luar, memastikan nomor yang tertera di salah satu dinding halaman rumah di hadapanku sama dengan nomor yang tertera di secarik post it yang kupegang di tangan kiriku.
Dengan menekan egoku separah-parahnya, tadi sore aku memutuskan untuk mencari alamat tempat tinggal Pram dari database kantor──aku menghindari menelepon Om Darma dan Tante Nena yang selama setahun terakhir ini stay di Denpasar. Kalau aku bertanya pada mereka, terus mereka memberi tahu Papa, entah apa yang akan Papa katakan padaku nantinya. Mungkin Papa akan bersorak-sorak kegirangan karena akhirnya aku mengibarkan bendera kakak-adik dengan Pram. Big-no-way.
Okay, sebenarnya bisa saja aku mencari solusi dengan meminta bertemu dengan Pram selain mendatangi rumahnya. Yang jelas, kantor kucoret dari list ‘tempat yang memungkinkan untuk bicara dengan Pram’.
Berhubung hal yang akan kubicarakan adalah hal yang luar biasa penting bagi kehidupanku, aku memutuskan bahwa aku juga harus rela berkorban. Ya, menekan ego adalah sebuah pengorbanan, kan?
So, here I am. Sejak keluar dari kantor jam setengah tujuh tadi, aku langsung melaju mencari alamat rumah Pram di daerah Bintaro.
Sekarang sudah jam delapan, tapi belum ada tanda-tanda Pram sudah pulang. Tidak ada mobil Xtrail-nya yang terparkir di garasi rumahnya. Sambil menunggu Pram pulang, aku menyalakan radio. Lagu Broken Angel milik Arash featuring Helena mengalun. Hell. Lagu kesepian. Mungkin semesta sedang menertawakanku.