16 Januari, 03.12 p.m.
It has been four days since the last time I met Yoga. Ya, sejak aku menemukan fotonya bersama Meira di mobilnya.
Rasanya akhir-akhir ini aku dihantui rasa serba salah. Selama beberapa hari ini aku menghindari dirinyanya. Aku tidak membalas SMS Yoga-nya, BlackBerry Messenger-nya, WhatsApp-nya. Telepon-telepon darinya pun aku reject. Oh, bukan. Maksudku, teleponnya tidak aku angkat.
Am I kinda a loser? I think that's who I am now.
Apakah aku terlalu berlebihan memikirkan hubunganku dengan Yoga? Tentang perasaanku kepadanya? Tentang kenyataan bahwa aku masih saja jatuh cinta kepadanya?
Mungkin semua orang akan mengiyakan, karena nyatanya... siapa sih aku? Hanya seorang mantan pacar dari Yoga Dion Eryawan yang sampai saat ini masih menjadikan lelaki itu sebagai sumbu perasaan yang kumiliki.
Mungkin aku terlalu menghadapi perasaanku dengan pola pikir yang kenakak-kanakkan. But trust me. When you have a crush to someone who's already have someone else──but in fact it’s not you──you'll understand what I mean.
‘JLEB’ moment. Singkatnya begitu. Sayangnya, rasa tidak enak hatinya tidak sesingkat itu.
Untukku, saat ini aku hanya butuh waktu untuk berpikir. Mungkin butuh beberapa hari untuk aku mengisolir diriku dari lingkaran keberadaan Yoga. Tapi, entahlah apakah aku bisa melakukannya dengan baik atau tidak.
“Semua dokumen asuransi yang berhubungan dengan Finance Department udah siap?”
Pram berbicara di samping kubikelku. Mungkin dia sedang berbicara dengan Natasya, bukan denganku. Karena sepanjang hari ini aku tidak mengerjakan apa-apa──termasuk urusan asuransi dan Finance Department itu.
Aku yang sedari tadi memfokuskan pandanganku pada PC di depan mataku──memperhatikan entah apa yang kuperhatikan──tidak menggubris kehadiran Pram. Aku hanya terdiam mendengar ocehan Pram.
Saat tidak lama kemudian Pram bergerak mendekat ke arahku dan berdiri tepat di depan bagian belakang PC Hewlett Packard-ku, maksudku salah satu sisi kubikelku, barulah aku mendongakkan kepala. “Ada apa?” tanyaku setengah bergumam.
Pram hanya menatapku dalam diam selama beberapa saat, sama seperti yang aku lakukan kepadanya.
“Kamu temenin saya ke salah satu supplier calon pemenang tender kemarin.”
Selama beberapa detik aku mematung. Ya sudahlah, semoga dengan mengerjakan pekerjaan yang menuntutku agar bisa fokus terhadap pekerjaanku itu, aku bisa sedikit mengalihkan perhatianku. Iya. Perhatianku dari semua hal di otakku yang terus-menerus membicarakan Yoga, Yoga, dan Yoga.
***
16 Januari, 03.45 p.m.
“Bukannya kita mau pergi?” aku menolehkan kepalaku ke arah Pram yang tampak sibuk dengan iPad-nya.
Dari sudut mataku, sepertinya dia sedang membaca referensi entah-tentang-apa-itu dari iPad-nya itu. Aku dan dia sedang berada di tempat parkir basement di lantai paling bawah di gedung kantor kami.
“Pram,” aku mulai bergerak tidak tidak sabar di kursi mobil Pram. “Aku balik ke kantor kalau kita enggak jadi ketemu supplier,” tegasku.
“Percuma kalau kamu naik ke atas, enggak ada juga kerjaan yang bisa kamu kerjain dengan bener sekarang ini,” ucapnya tanpa melihat ke arahku. Matanya masih terfokus pada layar iPad-nya, dengan jari telunjuk tangan kanannya yang sibuk mengganti halaman.
“Kamu ngomong apa sih?”
“Maaf.”
Aku kaget. Untuk apa Pram minta maaf?
Pram menoleh sekilas ke arahku dan menatapku dengan pandangan yang tidak mudah untuk kebaca.
Pram menarik satu napas dalam, seakan dia bersiap-siap untuk berbicara dengan hati-hati.
“Minta maaf untuk apa?” aku akhirnya bertanya.
Hening sejenak saat tidak ada satu pun dari kami yang berbicara.
“Maaf... kalau aku enggak bisa bikin kamu ngerasa lega. Maaf juga... kalau apa yang aku omongin tentang Meira ternyata bikin kamu sedih.”