20 Januari, 04.21 p.m.
“Del, serius deh. Makin kesini kamu makin mirip zombie di game Plant versus Zombie ini.”
Natasya mengangkat tab-nya ke udara, ke arahku yang berada dua meter jauhnya dari tempatnya duduk, seakan ingin menunjukkan game yang sedang dimainkannya──sekelompok tanaman yang berusaha melawan serbuan zombie-zombie yang akan menyerang tempat tinggal sang pemilik rumah tempat tanaman-tanaman itu ditanam. Oh, kalau tidak salah, ada adegan memakan otak di dalam game itu. Yaks! Apa tidak ada permainan yang lebih manusiawi, ya?
Aku nyengir ke arah Natasya──cengiran yang sangat diragukan ketulusannya. “Emang sekarang bentukan aku kayak gimana?” tanyaku yang tengah merebahkan diri di atas tempat tidurku setelah berjam-jam bertarung dengan laptopku untuk menyelesaikan satu pekerjaan kantorku, yang harus kuselesaikan bahkan di hari minggu seperti ini gara-gara general manager di kantorku meminta file-nya secepatnya sebelum dia melakukan business trip ke Rusia.
Natasya yang duduk di atas karpet tebal berwarna marun di kamarku, memutar matanya, kemudian menjatuhkan lagi pandangannya ke arahku. “Pertanyaan re-to-rik,” sergahnya dengan penekanan kata.
Aku hanya bisa tersenyum──senyum penuh ironi──untuk menanggapinya.
Setelah Yoga mengatakan apa yang dia katakan beberapa hari yang lalu──please don't force me to repeat the words he said to me──I’ve decided to clear my track from Yoga. It's all because I need to save my mind, my feeling also. Walaupun aku belum mengerti apa sesungguhnya alasan mengapa dia mengatakan kalau dia tidak bisa mencintai aku, atau Meira, atau perempuan mana pun.
Sebenarnya, I have one conclusion yang terlalu kutakutkan bahkan untuk sekadar melintas di dalam kepalaku. Tidak. Hal itu adalah satu hal yang mustahil. Ha-ha-ha──demi semesta yang saat ini sedang berkompolot untuk membuat kehidupan percintaanku jatuh terpuruk──satu kesimpulan maha menyeramkan itu tidak lah mungkin terjadi. I better think 'bout any other reasons yang bisa hatiku terima. Sungguh.
Dan sepertinya Yoga cukup membantuku dengan menghilang selama beberapa hari ini tanpa mencariku lagi──yang sayangnya malah membuat luka di dalam hatiku semakin berdarah.
“Nih, dengerin,” Natasya membuyarkan pikiranku. Sahabatku itu mendekatkan tab yang dipegang tangannya ke depan matanya. “Artikel yang ngomongin how to move away from your own 'fear' feeling,” dia berucap sambil memasukkan buah apel merah yang beberapa menit lalu kukupas dan kusimpan dalam mangkuk di dekat tempatnya duduk di atas karpet agar dia sibuk memakan apel-apel itu tanpa merecokiku terus.
Iya, merecoki aku yang tengah patah hati. Tapi ternyata taktikku itu gagal.
“Ada lagi nih, Del,” Natasya melanjutkan ucapannya dengan mulut setengah mengunyah. “Could you move on from your dark of age of your feeling?”
Aku menutup kedua telingaku dengan jari tanganku──masih dalam posisi rebahan di atas tempat tidurku. “Ah, berisik. Aku enggak kenapa-kenapa juga.”
Natasya kemudian berdiri dan berjalan mendekatiku. “Hubungan kalian ngegantung kayak gini. Apa kamu yakin enggak mau nyoba merjuangin sekali lagi? Yah... anggep satu usaha terakhir buat kamu merjuangin perasaan kamu,” Natasya berkata serius. “Perasaan kamu akan terus keiket sama dia kalau kamu ngebiarin semuanya ngegantung gitu aja.”
Baru kali ini aku merasa komentar Natasya ada benarnya. Statement-nya masuk akal. Statement yang masuk akal, namun nyatanya membuat hatiku terasa keram.
***