Terima Kasih kepada
Aku tersentak saat menulis ini. Tiba-tiba teringat kalau aku belum pernah menyebut nama Almarhum Bapak di buku-buku yang kutulis. Padahal, Bapak adalah pendukung terbesarku untuk menjadi penulis, cita-cita yang sempat kukubur lebih dari sepuluh tahun. Maafkan aku ya, Pak.
Abdul Jalil, nama Almarhum Bapak. Beliau berdarah campuran Pakistan-Jawa dengan hidung bengkok yang kuwarisi dengan telak. Sempat bertahun-tahun menetap di Singapura, Almarhum adalah jagoan matematika paling hebat yang pernah kutemui. Bapak mampu menyanyi dengan suara yang luar biasa. Pengetahuannya akan dunia film pun sungguh mengagumkan.
Bapak adalah orang yang disiplin, tapi tidak pernah keberatan melihatku hanya melahap beragam bacaan sepulang sekolah. Begitu tahu aku suka menulis, saat SMP aku dihadiahi mesin tik jadul yang saat dipakai membutuhkan tenaga ekstra. Namun, selama bertahun-tahun mesin tik itu yang sangat berjasa menemaniku menghasilkan satu per satu cerpen. Aku masih bisa mereka ulang kebanggaan Bapak saat cerpen pertamaku dimuat di majalah Aneka Yess.
Setelah Bapak tiada, suamikulah pendorong terbesar untuk menulis. Aeron Hanaco namanya. Saat pertama bertemu, suamiku adalah pria dengan rambut panjang yang selalu diikat dan anting berlian terpasang di telinga. Padahal, aku begitu anti dengan pria bergaya seperti ini. Namun apa daya, aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Itulah kenapa aku banyak menulis tentang cinta pada pandangan pertama.