Beautiful Wounds in 1998

nilnaulia
Chapter #3

Suatu Hari Nanti

1998, suara kicauan burung di langit senja masih ada. Tidak merdu, tetapi akan terkenang seiring berjalannya waktu. Sinar matahari sore menyelinap samar melalui jendela kamar yang penuh ditutupi poster dan koran lama. Suasana senyaman ini biasanya cepat sirna. Terbukti, saat suara seorang menaiki tangga menggema di seluruh ruangan menghancurkan kesunyian yang tertata lama. Bima tahu persis siapa yang akan segera membuka pintu kamarnya.

“Gimana pesanan gue!” Ian dengan nafas tersengal mencoba mengatur nafas.

“Lain kali lo mesti bayar mahal buat ini.” Bima menyodorkan secarik kertas yang sudah ia tulis dengan beberapa biodata seorang yang Ian katakan telah berhutang padanya, hanya bermodal data transit kereta, Bima bisa menemukan setidaknya 20 wanita dengan karakteristik yang dijelaskan Ian padanya. Bima masih berkutik di depan komputernya, mengotak atik kode yang Ian pun menggeleng karena tak paham bagaimana mahasiswa fakultas hukum memiliki kegilaan terhadap sistem. Namun untuk kali ini tidak dihiraukan, perhatiannya teralih pada kertas di genggamannya.

Ian meletakkan tas selempang di ujung ranjang dan mulai menelentangkan tubuhnya yang kaku. Manik mata coklatnya berbinar hanya dengan mengamati secarik kertas. “Mestinya lo lamar di CIA aja, Bim! Ngapain mesti kuliah hukum segala si?”

Bima menggeleng mendengar pertanyaan yang sama untuk kesekian kalinya. “Ya lo tau ayah gue maunya hukum, dengan dalih jadi penerus.” Tak ingin berlarut membahas perihal ‘ayah’ membuat Bima mengalihkan topik mereka, “Perempuan yang lo cari itu berutang berapa banyak si? Nominalnya gak sedikit kan sampai harus neror telpon rumah?”

“Ya gitu deh,” balas Ian singkat. Tak ingin Bima tahu terlalu banyak.

Bima yang mendengarnya pun menggeleng pelan, “Gak heran si, tampang lo emang sasaran empuk buat dimintain rasa kasihan, dan semudah itu lo kasih padahal baru ketemu sekali.” Bima mengalihkan pandang ke arah bingkai foto di ujung mejanya. “Jangan asal ngasih kepercayaan, bahkan pada orang yang lo anggap dekat sekalipun. Kita gak tau seberapa asing kita buat mereka yang kita anggap keluarga.” Kini ia beranjak menyalakan rokok dan berdiri di tepi jendela. “Gimana rapat lo tadi? Gue yakin lo pasti buat ribut.”

“Wah!” Ian berdecak sontak duduk dan bersandar di tembok, “Lo selain jadi hacker, berbakat jadi cenayang juga ternyata. Barusan, gue diceramahin karena gak mau ikut-ikutan dalam pemilihan ketua umum yang dilatar-belakangi oleh kepentingan ormas tertentu, tapi mereka mayoritas yang hadir di sana malah gak terima. Ya, lo pasti tau kelanjutannya.”

Lihat selengkapnya