Kepulan debu siang hari menyelimuti halaman kos yang disinggahi Anja. Sekarang sudah kesekian kalinya ia harus mengambil ember air ke belakang untuk menyiram halaman mereka yang gersang. Kemeja bunga dengan rok selutut berwarna krem yang ia kenakan terbuyar habis oleh keringat. Jarak kampus dengan kosnya terhitung memakan waktu hampir satu jam perjalanan. Namun, Anja tak memiliki pilihan selain menerima penawaran kosan dengan harga paling murah se-Jakarta kalau kata Anna si anak empunya kos. Ya, dengan risiko ia harus mengurus kos ini menjadi layak huni.
Aneh. Biasanya Anja akan mengerjakan banyak hal dengan terus mengeluh dan berdesas desus sepanjang yang ia inginkan sampai hatinya tenang. Anna yang memperhatikannya pun terheran berjongkok sembari memakan apel yang sudah dikupasnya. “Mimpi apa lo tiba tiba rajin.”
Anja tersenyum girang, “Ada yang bakal datang hari ini.”
Anna memangut sebagai jawaban. Alunan suara radio bergulir di sebelahnya. Tidak ada yang lebih menghibur selain radio di masa itu. Kebiasaan Anna, mengutak atik saluran sampai benar-benar menemukan apa yang ia cari. Tidak heran, ia mahasiswa sastra dengan jiwa aktivis yang amat membara, anggota resmi dari kelompok pro demokrasi yang Anja tidak tahu persis bagaimana legalitas himpunan itu. Radio, menjadi salah satu alat komunikasi mereka, begitu yang diceritakan Anna. Ia tak akan pernah alpa untuk membahas komunitas mereka yang isinya orang keren semua, katanya.
“Saluran dari kampus lo biasanya siang gini muter lagu western gitu. Tapi … kok malah ada orasi, ya? Apa lagi ada aksi?”
“Perkenalkan saya Ian mahasiswa fakultas hukum Universitas Diwangkara—"
Anja yang telah kehabisan tenaga itupun mengusap peluhnya kemudian beralih duduk mendengarkan seraya melahap potongan apel di atas piring. “Perasaan tadi pagi gak ada ribut, kok.”
“Siaran kali ini khusus untuk, perempuan bernama … Anja–” suara radio itu tertangkap jelas oleh telinga keduanya. Sontak Anja dan Anna beradu tatap, terkejut. “Anja? Lo gak lagi diburon ’kan?”
Anja dengan mulut masih dipenuhi apel pun menggeleng kencang selagi fokus mendengarkan.
“Kamu mungkin tidak tau betapa bersinarnya dirimu. Kamu adalah cahaya yang tidak terjamah oleh masa, jadi tetaplah bersinar dan jangan redup. Tunggu sampai kita bertemu dan akan kutunjukkan bagaimana–” sayangnya, siaran radionya terputus dan secara mendadak berubah menjadi alunan musik seperti biasanya.