Kota Tua, sebutan untuk tempat kos Anja berada. Mungkin karena letaknya jauh dari pusat kota, membuat semua yang terlihat di sini nampak usang hingga disebut kota tua. Sudah beberapa jam yang lalu sejak pihak panti menghubunginya, tetapi sampai penghujung sore ini tidak ada kabar sama sekali. Mungkin karena jarak tempuh yang panjang, tapi jika diperkirakan seharusnya seorang yang ditunggu Anja sekarang sudah datang.
Setelah selesai berbenah kamar ia menunggu dengan terus merapikan makanan di atas meja kecil yang ia hidangkan. Kegundahannya tidak kunjung mereda. Untuk memastikannya, Anja akan keluar untuk mencari telpon umum dan menanyakan kembali pihak panti. Namun, baru akan bersiap, mendadak pintunya dipukul keras dari luar sana.
“Anja! Buka pintunya!” teriak Anna berulang kali, berusaha menahan seorang di punggungnya.
Anja sigap bergegas. Dengan siluet samar ia terperanjat melihat sosok anak lelaki kecil yang dibawa Anna di pundaknya. Ia terkapar lemas dengan darah mengaliri kepalanya. Anna dengan kemeja putih penuh bercak darah itupun tidak terlihat baik baik saja.
Anna dengan tatapan sedih dan panik mencoba berucap, “Anja … adek lo.” Tatapan Anja membulat, degup jatungnya terasa berhenti. “Kiky!” Anja lekas membawa Kiky ke atas kasur lipatnya. Menyalakan lampu dan mengambil kain lap, serta mengambil air untuk membersihkan luka luka di sekujur tubuh adiknya.
“Ki, kenapa bisa begini? Kenapa?” Anja terisak menahan sesak melihat banyaknya luka lebam. Air matanya tak bendung terus membasahi pipi dan berusaha ia tepis, ia tidak ingin menumpahkan tangis dan membuat emosinya tidak stabil di situasi darurat seperti ini. Ia seharusnya berteriak dan merutuk dengan tangisan. Ia bisa, tetapi memilih tak melakukannya.
Anna yang melihatnya hancur pun tak bisa berkata, ia bahkan tak memperhatikan dirinya yang kini berantakan dengan noda darah melumuri wajahnya yang menangis melihat kondisi Anja dan adiknya.