Beauty and the Beast

Mizan Publishing
Chapter #3

Bab 2

Dua tahun telah berlalu. Keluarga itu telah mulai terbiasa dengan kehidupan pedesaan. Mendadak harapan untuk mendapatkan kembali kekayaan datang mengusik ketenangan hidup mereka. Sang Ayah menerima kabar bahwa salah satu kapalnya, yang telah lama dia anggap hilang, merapat dengan selamat di pelabuhan, sarat dengan barang dagangan. Para pembawa kabar menambahkan, mereka khawatir orang-orang culas akan memanfaatkan ketidakhadiran sang Saudagar dan menjual muatan kapal dengan harga murah. Kecurangan itu akan memberi keuntungan besar kepada orang-orang itu, tetapi sang Saudagar akan merugi.

Sang Saudagar menyampaikan kabar ini kepada anakanaknya. Mendengar hal itu, mereka langsung yakin tak lama lagi mereka akan dapat meninggalkan tempat terpencil itu dan kembali ke kota. Putri-putrinya jauh lebih menggebu-gebu mendengar kabar ini dibandingkan putra-putranya. Para gadis itu menganggap tidak perlu menunggu bukti-bukti lebih meyakinkan lagi. Mereka sudah tak sabar untuk meninggalkan tempat yang mereka benci itu. Namun sang Ayah, yang lebih berhati-hati, memohon mereka untuk menahan diri.

Dia memutuskan untuk berangkat sendiri terlebih dulu, meski dia harus meninggalkan keluarganya pada saat yang amat penting. Masa panen hampir tiba. Pekerjaan di ladang tak bisa ditunda, atau jerih payah mereka selama ini akan sia-sia. Perannya selama ini amat penting dalam mempersiapkan panen. Tapi akhirnya, dia memercayakan pengerjaan panen kepada putra-putranya. Setelah memastikan semua hal, dia pun bersiap-siap menempuh perjalanan panjang ke kota.

Putri-putrinya, terkecuali Belle, yakin tak lama lagi mereka akan kembali menikmati kehidupan yang menyenangkan. Mereka memperkirakan, bahkan jika kekayaan yang kembali itu tidak cukup untuk hidup di kota besar tempat tinggal mereka dulu, setidaknya sang Ayah mampu membawa mereka pindah ke kota kecil yang biaya hidupnya lebih murah. Mereka yakin akan berkumpul kembali dengan golongan terpandang, mendapat banyak pengagum, dan menyambut pinangan pertama yang datang kepada mereka. Kenangan segala kesusahan yang mereka lalui selama dua tahun nyaris sepenuhnya terhapus. Mereka yakin nasib mereka telah berubah, seolah-olah suatu keajaiban turun menolong mereka keluar dari kemiskinan dan kembali ke kemewahan. Mereka bahkan sampai hati merepotkan sang Ayah dengan permintaan-permintaan berlebihan. Kehidupan bersahaja tidak memudarkan kegemaran mereka untuk bermewahmewah dan bersolek. Mereka meminta sang Ayah membelikan perhiasan, baju bagus, dan hiasan rambut. Setiap dari mereka berusaha mengungguli permintaan yang lain, sehingga seluruh keuntungan yang diperkirakan bakal diperoleh sang Ayah tidak mungkin cukup untuk memenuhi semua permintaan itu.

Namun lain halnya dengan Belle. Dia bukan orang yang takluk oleh keinginan, dan selalu bersikap hati-hati. Dia bisa memperkirakan jika ayahnya memenuhi semua permintaan saudari-saudarinya, maka sia-sia baginya untuk meminta apa pun. Sang Ayah heran melihat Belle hanya diam. Maka, dia pun menyela permintaan bertubi-tubi putri-putrinya yang lain, “Belle, apa kau tak ingin sesuatu? Apa yang bisa kubawakan? Apa yang kau inginkan? Mintalah.”

“Ayah,” jawab Belle sambil memeluk ayahnya dengan penuh kasih, “aku hanya ingin satu hal yang lebih bernilai dari semua barang yang diminta kakak-kakakku kepadamu. Hal itu adalah melihat Ayah pulang dengan sehat dan selamat.” Permintaan tanpa pamrih ini membuat saudari-saudarinya bingung dan malu. Mereka pun amat marah. Salah seorang dari mereka berbisik dengan pedas, “Anak itu sok mulia, pura-pura ikhlas, padahal ingin dianggap lebih baik daripada kita. Benar-benar konyol!” Namun, sang Ayah sangat tersentuh hatinya oleh ucapan putri terkecilnya itu. Tak bisa menahan luapan kebahagiaan dan juga keinginan menghargai sikap tak mementingkan diri putrinya, dia mendesak Belle untuk meminta sesuatu. Demi meredam kebencian putri-putrinya yang lain terhadap Belle, dia berkata, “Belle, tak pantas gadis seusiamu tak memedulikan penampilan. Sekarang, aku bisa membelikan sesuatu yang indah untukmu. Mintalah sesuatu.”

“Baiklah Ayah,” jawab Belle. “Karena Ayah mendesak, aku minta dibawakan bunga mawar. Aku sangat suka bunga itu. Sejak tinggal di tempat terpencil ini, aku tak pernah melihat mawar.” Dengan jawaban ini, Belle bisa mematuhi sang Ayah sekaligus membuatnya tidak perlu mengeluarkan uang untuk memenuhi permintaan itu.

Tibalah hari keberangkatan sang Saudagar. Meski berat hati, dia harus meninggalkan keluarganya untuk mengubah nasib mereka. Dia berusaha menempuh perjalanan secepat mungkin menuju kota besar yang menjanjikan harapan baru. Tapi, apa yang dia jumpai setibanya di kota itu jauh sekali dari harapan. Kapalnya memang tiba dengan selamat. Namun, para mitranya menyangka dia telah meninggal dunia. Mereka menguasai kapal itu sebagai hak milik mereka dan membagi-bagikan muatannya di antara mereka. Sang Saudagar tidak bisa memperoleh bagiannya dengan jalan damai. Demi memperjuangkan haknya, dia harus menghadapi berbagai tipu muslihat. Akhirnya, dia berhasil menang setelah enam bulan lamanya berseteru. Dan, selama itu dia membutuhkan biaya cukup besar. Akibatnya, dia nyaris tak lebih kaya daripada sebelumnya. Para mitra yang berutang kepadanya tak mampu membayarnya. Dia sendiri hampir-hampir tak bisa menutupi pengeluarannya. Tamat sudah impian untuk mengubah nasib keluarganya.

Kesulitannya bertambah. Demi penghematan, dia tak bisa menunda kepulangannya. Maka, dia pun tetap berangkat mengendarai kuda meski saat itu musim dingin yang ganas. Pada hari keberangkatannya, cuaca sangat tak bersahabat. Salju turun deras dan angin bertiup kencang. Di sepanjang perjalanan angin dingin berembus menusuk tulang, dia menyangka bakal mati karena kedinginan dan kelelahan. Tapi kemudian, dia menyadari dirinya telah berjarak beberapa kilometer lagi dari rumahnya. Semangat dan kekuatannya bangkit kembali. Dia menyesal pergi meninggalkan keluarganya demi mengejar harapan palsu itu. Sungguh benar firasat Belle untuk tidak memercayai kabar itu!

Masih butuh waktu beberapa jam lagi baginya untuk menembus hutan dan tiba di rumahnya. Malam telah tiba, tapi dia berniat meneruskan perjalanan. Sungguh berat perjalanannya pada malam itu. Sekujur tubuhnya tertusuk-tusuk udara dingin. Badan dan kudanya hampir bisa dibilang terkubur salju. Saking tebalnya salju, dia tak bisa menemukan jalan. Terlintas dalam benaknya: “Hidupku akan berakhir di sini .…” Dia tak menemukan satu pun gubuk persinggahan untuk berteduh, yang di sekitar hutan itu semestinya banyak dijumpai. Satu-satunya perlindungan yang dia dapati hanyalah sebatang pohon tua yang berongga. Bergegas dia masuk dan berteduh di dalam rongga itu. Pohon itu melindunginya dari udara dingin dan menyelamatkan hidupnya. Kudanya menemukan pohon berongga lainnya, tak jauh dari tempat tuannya berteduh, dan secara naluriah meringkuk di dalamnya.

Malam yang menyeramkan itu terasa baginya seolaholah tanpa ujung. Perutnya yang sangat lapar menambah deritanya. Hatinya dicekam kengerian mendengar geraman binatang-binatang liar yang berkeliaran di sekitarnya. Tak bisakah dia mendapatkan sedikit ketenangan?

Pada akhirnya, malam pun berlalu. Tapi, kesulitan dan keresahan sang Saudagar tak pergi bersama malam. Hanya sekejap dia sempat merasakan kelegaan melihat cahaya fajar, yang segera disusul kecemasan lebih hebat. Tanah tertutup salju yang luar biasa tebal sehingga dia tak bisa menemukan jalan. Setelah bersusah payah dan berkali-kali terjerembap, barulah dia berhasil menemukan semacam jalur yang bisa dia tapaki dengan mantap.

Dia terus menyusuri jalan itu tanpa tahu akan menuju ke mana. Mendadak, sampailah dia di jalan setapak mengarah ke sebuah istana indah. Meski di tempat lain salju bertumpuk tinggi, istana itu tampak bersih. Seakan-akan salju segan menjamahnya. Sang Saudagar heran karena selama ini tak pernah tahu atau mendengar kabar adanya istana di sekitar situ. Keadaan mendesak membuatnya tak bisa berpikir panjang. Dia segera menapaki jalan masuk itu, berharap mendapat pertolongan atau sekadar tempat berlindung sementara di istana itu.

Jalan setapak itu dipagari oleh empat baris pohon jeruk tinggi, sarat bunga dan buah. Di sana-sini berserakan patung-patung, yang tampaknya diletakkan sembarangan, tanpa aturan. Sebagian patung-patung itu berdiri di tengah jalan setapak. Sebagian lainnya berada di sela-sela pepohonan jeruk. Sang Saudagar tak bisa menebak apa bahan pembuat patung-patung itu. Ukuran mereka seperti manusia pada umumnya. Warna tubuh dan pakaian mereka tak ubahnya seperti manusia sungguhan. Mereka menampilkan berbagai sikap tubuh berbeda, dan corak pakaian yang berbeda-beda pula. Sebagian besar dari mereka tampaknya dari golongan kesatria. Saat tiba di pekarangan, sang Saudagar menemukan jauh lebih banyak patung lain. Dia sangat kedinginan sehingga sama sekali tak terpikir olehnya untuk berhenti sejenak dan mengamati patung-patung itu.

Lihat selengkapnya