BEAUTY BLOOD

quinbbyyy
Chapter #8

Persaingan Yang Menyala

Backstage malam itu penuh dengan energi tegang namun memukau. Para finalis Icon Kecantikan Indonesia bersiap di balik panggung, masing-masing berdiri dengan anggun, mengenakan busana yang mencerminkan keunikan dan keindahan budaya Nusantara. Kru panggung sibuk memeriksa setiap detail, dari pencahayaan hingga musik yang akan mengiringi langkah mereka.

Panitia dengan headset terus berkoordinasi, suaranya berpadu dengan suara gemuruh dari panggung utama. Para finalis melakukan sentuhan akhir pada riasan mereka, memperbaiki posisi mahkota, dan mengatur napas dalam-dalam untuk mengusir rasa gugup.

Reina, yang sedari tadi mengedarkan pandangannya dengan rasa was-was karena tidak mendapati roommate-nya itu kini berjalan cepat di antara finalis lain ketika ia sudah mendapati sosok Vanya yang baru saja datang ke ballroom.

"Vanya! Kamu hampir giliran! Cepat ke sini!" seru Reina, menepuk bahunya.

Dengan penuh ketenangan, Vanya mengangguk dan mulai bersiap. Ia berdiri tegak, memandang dirinya di cermin besar, lalu menarik napas panjang. Ini adalah panggung Impian, kesempatan untuk menunjukkan tidak hanya keindahan luar, tetapi juga karakter dan pesona yang telah ia bangun selama perjalanan kompetisi.

Sorakan penonton semakin terdengar ketika finalis sebelumnya berjalan di atas panggung. Lampu sorot mulai bergeser, dan kini giliran Vanya untuk melangkah menuju momen yang akan dikenang selamanya.

Di balik meja panjang yang megah, tiga dewan juri duduk dengan penuh kewibawaan, memperhatikan setiap finalis yang melangkah di atas panggung dengan saksama. Mereka terdiri dari seorang pakar mode kenamaan, seorang mantan pemenang ajang kecantikan internasional, dan seorang antropolog budaya yang dikenal dengan dedikasinya terhadap pelestarian warisan Nusantara.

Setiap gerakan, ekspresi, dan cara para finalis membawakan diri dicermati dengan tajam. Pena meluncur di atas kertas penilaian saat mereka mencatat poin-poin penting seperti keanggunan, kepercayaan diri, dan seberapa baik busana nasional yang dikenakan mencerminkan kekayaan budaya Indonesia.

Sesekali, salah satu juri melirik sesama rekan dan bertukar pandang, seolah mendiskusikan keistimewaan setiap finalis tanpa perlu mengucapkan sepatah kata pun. Tatapan mereka penuh analisis dan profesionalisme, menunjukkan betapa pentingnya malam ini bagi para peserta yang telah berjuang keras untuk sampai di tahap ini.

Vanya yang kini bersiap di sisi panggung, dapat melihat keseriusan para juri dari sudut matanya. Ia menarik napas panjang, memperkuat tekadnya. Ini adalah kesempatan untuk membuktikan dirinya. Dengan angkah mantap, ia bersiap melangkah menuju sorotan utama.

***

 

Lorong hotel dipenuhi kesibukan para finalis yang bergegas menuju kamar masing-masing. Lantainya yang mengkilap memantulkan cahaya temaram dari lampu gantung di langit-langit, sementara suara langkah kaki berpadu dengan desahan lelah dan tawa ringan. Para finalis masih terdengar saling berbincang, membahas pengalaman mereka saat mengenakan busana nasional yang begitu megah dan mencerminkan budaya Nusantara.

Di antara mereka, Vanya berjalan berdampingan dengan Reina, Tiara, dan Sasha. Mereka bercengkrama dengan antusias, mengenang momen-momen berharga di atas panggung. Namun, langkah Vanya perlahan melambat. Matanya tertuju pada pintu kamar di ujung koridor, pintu yang sejak tadi mengusik pikirannya.

Reina, yang selalu sigap memperhatikan sahabatnya, segera menyadari perubahan sikap Vanya. Tanpa banyak kata, ia menarik tangan Vanya, menyuruhnya segera masuk ke kamar mereka, kamar 1810. "Ayo, kita harus cepat bersiap!" serunya, sebelum melirik ke arah Tiara dan Sasha. "Tunggu kami di depan lift, ya! Kita turun ke ballroom bareng!"

Lihat selengkapnya