Cahaya lampu gantung kristal memancarkan kilauan lembut, menerangi ruangan luas dengan nuansa emas dan krem yang elegan. Aroma melati dari diffuser di sudut kamar bercampur dengan sisa-sisa parfum para finalis, meninggalkan jejak kemewahan dan keanggunan. Gaun-gaun berkilauan masih tergantung rapi di sisi lemari, sementara meja rias dipenuhi berbagai produk kecantikan dan aksesori yang baru saja mereka gunakan.
Reina merebahkan tubuhnya di atas sofa panjang, merasakan empuknya bantal-bantal sutra yang menghiasi tempat itu. Kakinya yang masih terasa nyeri setelah berjam-jam mengenakan sepatu hak tinggi ia angkat sedikit, mencoba meredakan kelelahan.
“Aku nggak peduli menang atau kalah, aku cuma ingin tidur sekarang.” Celia menghempaskan tubuhnya ke kasur dengan gerakan malas.
“Kasur hotel ini terlalu nyaman. Aku takut kalau kebanyakan rebahan, aku bakal lupa kalau kita masih dalam kompetisi.” Adelina terkekeh, jari-jarinya sibuk mencoba melepas pin rambut yang tersangkut di bagian belakang kepala. “Seseorang tolong bantu aku sebelum aku menariknya terlalu keras dan malah botak!”
Vanya mendekat dengan senyum kecil, tangannya cekatan membantu melepaskan satu per satu pin tersebut. “Tadi di atas panggung kamu tampil keren, Del. Aku suka ekspresi percaya dirimu.”
Elya mengangkat bahu. “Aku nggak tahu apakah itu ekspresi percaya diri atau rasa takut. Tapi yang jelas, aku nggak ingin kelihatan gugup di depan juri.”
Dahlia, yang tengah sibuk melepas anting-anting panjangnya, tertawa kecil. “Ya ampun, kita yang katanya ‘anggun dan elegan’ di panggung, sekarang mengeluh soal sepatu, rambut, dan lelah.”
Reina ikut terkekeh, menatap ke arah jendela besar yang memperlihatkan gemerlap kota di malam hari. “Tapi justru ini yang aku suka. Di panggung kita bersaing, tapi di kamar kita tetap teman.”
Alma menggumam, setengah mengantuk. “Kalau besok masih disuruh pakai sepatu hak tinggi selama berjam-jam, aku akan kirim surat protes ke panitia.”
Mereka semua tertawa ringan, merasakan sejenak kedamaian di tengah kompetisi yang begitu ketat.
Reina menghela napas panjang, tubuhnya masih terasa berat akibat lelah. Ia menyeret langkah menuju koper besar berwarna abu-abu muda yang tergeletak di dekat meja rias. Dengan gerakan malas, ia membuka resleting koper, lalu mulai mengaduk-ngaduk isi di dalamnya, mencari handuk rambut kecil favorit miliknya yang biasa ia gunakan setelah mandi.
Tangannya terus bergerak di antara tumpukan pakaian, alat styling rambut, dan berbagai keperluan pribadi. Tapi handuk itu tidak ada.
"Aneh...," gumam Reina, mulai merasa gelisah. Ia membongkar lebih dalam, bahkan memeriksa kantong-kantong kecil koper. Tetap tidak ada.
Barulah sebuah kilasan memori muncul di benaknya, sebelum keberangkatan ke venue, ia sempat menitipkan handuk tersebut ke tas besar milik Tiara karena tak muat lagi dalam kopernya.
Reina mendengus kecil. "Ya ampun, titip ke Tiara, lupa sendiri."
Tanpa berpikir lama, ia meraih jaket tipis di sandaran sofa, lalu berjalan cepat ke arah pintu. Suara langkahnya menarik perhatian Dahlia, yang sedang santai menggulung rambutnya menggunakan jari sambil berbaring di tempat tidur.
"Reina, mau ke mana?" tanya Dahlia, suaranya malas, nyaris menguap.
Reina sudah menggenggam gagang pintu, menoleh sambil tersenyum kecil. "Mau ke kamar Tiara. Handukku ada di tas dia."
Vanya, yang sedari tadi duduk di lantai sambil merapikan kuku kakinya, langsung menegakkan tubuh begitu mendengar nama Tiara disebut. Matanya berbinar kecil, penuh semangat.
"Eh, aku ikut, dong!" serunya. Ia cepat-cepat bangkit, meski sempat meringis sedikit karena telapak kakinya masih terasa pegal.
"Kenapa mau ikut?" tanya Reina, setengah bercanda.
Vanya mengedikkan bahu santai. "Sekalian mau ngobrol. Aku belum sempat tanya ke Tiara soal makeup yang dia pakai tadi. Cakep banget hasilnya."
Dahlia tertawa kecil dari atas kasur. "Kalau kalian ketemu Tiara, sekalian bilangin aku mau pinjem catokan rambutnya, ya. Nggak perlu buru-buru, sih... asal sebelum besok pagi," celetuknya.
"Noted!" kata Reina sambil tertawa. Ia melirik Vanya yang sudah siap di sampingnya, dan bersama-sama mereka mendorong pintu kamar, keluar ke koridor hotel.
Lorong itu lengang, hanya terdengar bunyi samar pendingin udara dan desiran langkah kaki mereka di atas karpet tebal. Lampu-lampu gantung kecil di langit-langit lorong memancarkan cahaya kekuningan yang hangat, menciptakan suasana yang nyaman dan sedikit magis.
Sesekali Vanya bergurau kecil, membuat Reina terkikik pelan.