BEAUTY BLOOD

quinbbyyy
Chapter #10

Gema Kepergian Perdana

Lorong hotel tampak berbeda dari sebelumnya. Sunyi. Sepi. Lampu gantung mengeluarkan cahaya kuning temaram, memantulkan bayangan panjang di dinding. Tak ada suara lain selain langkah kaki Reina dan Vanya di atas karpet tebal. “Aneh... tadi nggak sesunyi ini, ya?” bisik Vanya.

Reina menatap sekeliling. “Aku juga ngerasa beda. Lebih... dingin?” Tiba-tiba terdengar tetesan pluk... pluk... pluk..., samar tapi ritmis. Seperti air. Atau... darah?

Ketika mereka sudah hampir sampai di kamar mereka, suara keretakan pelan terdengar dari atas. Mereka menoleh ke langit-langit.

KREEK... Sebelum sempat bereaksi, sesuatu jatuh dengan suara keras.

BRUK!!!

Sebuah tubuh perempuan terhempas dari plafon, tepat di depan mereka. Reina menjerit histeris. Vanya teriak panjang hingga suaranya parau. “AAAAAAAAAAAHHHHHHH!!!!”

Tubuh itu berlumuran darah. Bibir dijahit kasar dengan benang hitam. Rambutnya dikepang kaku, namun bagian pangkal kepangan melilit leher, seolah digunakan untuk menggantung dirinya sendiri. Matanya terbuka, membeku dalam tatapan kosong.

Reina mundur, tubuhnya menggigil. Vanya memegangi dada, air mata mulai tumpah karena syok. “T-TOLONG! TOLONG!!!” Reina berteriak lagi, penuh panik. Jeritan mereka menggema ke seluruh lantai. Pintu-pintu kamar mulai terbuka satu persatu, disertai raut wajah kebingungan karena mendengar suara jeritan.

Tiara membuka kamar 1803, lalu menyusul Sasha, Yasmine, Adelina, dan Celia. Wajah mereka dipenuhi kebingungan dan ketegangan. “Ada apa?!” tanya Sasha panik.

“REINA??”

Reina menunjuk tubuh di lantai sambil terisak. “DIA... JATUH... dari atas!!”

Satu per satu finalis lain keluar dari kamar masing-masing. Beberapa masih memakai baju tidur, yang lain menutupi tubuh dengan selimut. Saat mereka melihat tubuh perempuan itu, keheningan menyelimuti lorong. Yasmine menutup mulutnya. “Ya Tuhan…”

Adelina mundur dua langkah, matanya membesar. “Itu... itu bukan... manusia biasa…” Tiara segera menarik Reina ke pelukannya, mencoba menenangkannya meski dirinya sendiri gemetar. Vanya masih terduduk di lantai, tak sanggup berdiri.

Sasha berteriak ke ujung lorong, “SESEORANG TELEPON KEAMANAN!!”

Sementara itu, beberapa peserta mulai berkerumun, setengah percaya, setengah tak mampu mengalihkan pandangan dari tubuh itu. Dan saat semua mata tertuju ke sana, lampu lorong mulai berkedip pelan. Tik... tik... tik...

Cahaya meredup, kemudian terang, lalu mati sesaat. Reina memekik lagi. Malam itu, persahabatan dan tawa yang hangat berubah menjadi awal dari mimpi buruk.

Lorong hotel berubah menjadi medan kepanikan. Reina masih menggigil dalam pelukan Tiara, Vanya menangis terdiam, matanya tak lepas dari tubuh yang baru saja jatuh dari plafon. Perempuan muda yang bibirnya dijahit kasar, rambut terkepang ketat hingga melilit lehernya sendiri.

Teriakan mereka membuat seluruh peserta keluar dari kamar masing-masing. Tiara, Sasha, Yasmine, Celia, dan Adelina berdiri di lorong bersama puluhan finalis lain yang baru bangun, bingung dan pucat.

"Ada... ada apa?!" teriak salah satu peserta dari Kalimantan.

“Kenapa kalian teriak?!” Tapi tak satu pun dari mereka menjawab. Semuanya mematung di depan tubuh berdarah yang kini tergeletak tak bergerak.

Yasmine menutup mulutnya dengan tangan. "T-Tubuhnya... ya Tuhan..."

Beberapa melangkah maju, yang lain justru mundur, tak sanggup melihat lebih dekat. Cahaya lampu lorong yang mulai redup berkedip pelan, seolah ikut menambah ketegangan yang menguap di udara.

Adelina melirik ke sisi kaki korban. Matanya menyipit. "Eh... lihat deh... sepatunya..." katanya pelan. Sasha menoleh. “Itu… itu kayak sepatu hak milik Lia…”

“Lia?” tanya Tiara, suaranya menegang. Celia mendekat setengah langkah, menatap pita kecil biru yang masih terikat di pergelangan sepatu korban. Ia terdiam beberapa detik, lalu berbisik dengan suara bergetar. “Itu Lia. Lia dari Maluku.”

Suara itu seperti menjatuhkan palu. Semua finalis saling berpandangan. Hening. Lalu seketika pecah jadi gumaman panik.

“Enggak mungkin... Lia bilang dia mau istirahat sore tadi, kan?”

“Dia nggak kelihatan waktu briefing malam... tapi kukira dia masih di kamarnya.”

“Bagaimana bisa dia... jatuh dari atas plafon?!”

“Kita harus kasih tahu panitia sekarang juga!” seru Sasha. Tiara menggeleng cepat. Wajahnya tegang. “Nggak bisa. Semua HP dikumpulkan. Ingat? Peraturan karantina. Kita bahkan nggak tahu jam berapa sekarang.”

Reina menatap teman-temannya, matanya membelalak ketakutan. “Kita nggak punya cara buat hubungi siapa pun. Kita... sendirian.” Kata-kata itu menggantung di udara.

Vanya akhirnya berdiri perlahan, masih gemetar. “Kita harus cari panitia. Atau security. Siapa pun. Jangan sendirian.” Beberapa peserta mengangguk cepat, mulai berinisiatif untuk mencari bantuan, tapi langkah mereka tertahan ketika suara aneh terdengar dari ujung lorong.

Sebuah bunyi seretan… seperti kain basah diseret di lantai. Semua mata menoleh ke arah bunyi itu. Lorong tampak kosong.

Namun... lampu di ujung mulai berkedip cepat, satu per satu padam perlahan dan menuju ke arah mereka. “Masuk ke kamar! SEKARANG!!” teriak Tiara.

Tanpa pikir panjang, para finalis saling menarik satu sama lain masuk ke kamar-kamar terdekat. Reina dan Vanya didorong kembali masuk ke kamar Tiara bersama yang lain, pintu langsung dikunci rapat.

Napas tersengal. Jantung berdetak liar. Di balik pintu, suara langkah dan seretan samar terus bergema.

Dan di lorong kosong itu, tubuh Lia masih tergeletak, senyap. Tapi ada sesuatu... sesuatu yang belum selesai.

***

Lihat selengkapnya