BEAUTY BLOOD

quinbbyyy
Chapter #11

Ketegangan Dibalik Senyuman

Aula utama yang biasanya menyambut para finalis dengan cahaya hangat dan musik lembut, malam itu berubah menjadi ruang dingin tanpa jiwa. Lampu-lampu gantung kristal yang biasa berkilauan kini menyala redup, seperti dengan sengaja diredupkan untuk menciptakan suasana yang tak menyenangkan. Karpet merah tua membentang hingga ke panggung kecil di depan ruangan, tapi warna merahnya malam ini terlihat lebih gelap, seperti direndam bayangan. Udara di dalam aula begitu dingin, dan bukan karena AC saja, tapi karena sesuatu yang tak kasat mata ikut mengisi ruang itu, menggantung di antara para tamu yang duduk tanpa suara.

Barisan kursi depan telah terisi penuh oleh jajaran panitia dan narasumber. Mereka tampak kaku, wajah-wajah mereka lelah, mata-mata mereka gelap dan penuh kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan. Di sisi kanan ruangan, berdiri sekelompok pria berbadan tegap berseragam abu-abu gelap dengan emblem “Internal Security” tersemat di dada. Mereka tidak bicara, hanya berdiri diam sambil menatap lurus ke kerumunan dengan mata yang terlalu tajam untuk sekadar petugas biasa.

Tapi yang paling mencolok dari semua adalah pria yang duduk sendirian di tengah meja panjang, mengenakan jas biru tua yang rapi tak bercela, dasi gelap dan pin mawar perak yang terpajang di kerahnya. Dia tak memalingkan wajah, tak mengganti ekspresi sejak para finalis mulai memasuki aula satu per satu. Dialah Nicholass Raynard, CEO PT Sumber Wangi, pemilik saham utama acara ini, sekaligus pemilik jaringan hotel tempat mereka dikarantina. Ia duduk tenang, terlalu tenang untuk seseorang yang tahu ada seorang peserta tewas mengenaskan hanya satu jam sebelumnya. Tatapannya lurus ke depan, wajahnya datar, nyaris dingin. Seolah-olah semua ini hanyalah bagian dari pertunjukan yang sudah ia hafal dari awal.

Pintu aula mulai dipadati oleh para finalis. Mereka datang tergesa-gesa dari berbagai arah; dari tangga darurat, dari lift yang baru menyala kembali, dan bahkan dari lorong belakang yang biasanya hanya dilewati oleh staf hotel. Wajah mereka pucat, rambut berantakan, beberapa masih mengenakan piyama atau hanya kaus tipis dengan sandal hotel. Tidak ada yang rapi. Tidak ada yang bicara. Hanya gerakan lambat penuh ketakutan dan langkah kaki yang diseret pelan menuju kursi masing-masing.

Rani masuk dengan langkah tertatih, matanya merah sembab. Reina dan Vanya menyusul tak jauh di belakang, saling menggenggam tangan. Nafas mereka masih tak beraturan. Di belakangnya, Celia dan Sasha tampak kehilangan arah, duduk di kursi pertama yang mereka temukan, bahkan tak peduli apakah itu sesuai pembagian regional. Tidak ada yang protes. Tidak ada yang mengatur. Seolah sistem yang selama ini dijunjung tinggi dalam karantina nasional ini lenyap begitu saja dalam satu malam.

Seorang panitia perempuan berdiri di tengah aula, memegang mikrofon yang suaranya terdengar kecil dan bergetar. Ia meminta mereka duduk dan diam. Tak ada keributan, hanya ketakutan yang menyesakkan ruangan lebih dari jumlah orang yang hadir di dalamnya. Semua duduk, tapi mata mereka tak bisa diam. Mereka memandang ke sekeliling, ke pintu, ke langit-langit, dan sesekali mencuri pandang ke arah pria berjas biru di meja depan yang masih belum berkedip sejak awal.

Reina duduk di barisan tengah, berusaha menenangkan detak jantungnya yang seperti dipalu dari dalam. Ia mencuri pandang ke arah pria itu. “Dia gak kelihatan terkejut sama sekali,” bisik Vanya di sebelahnya, suaranya nyaris tak terdengar. Reina hanya mengangguk kecil. Memang sejak tadi, dari semua orang di ruangan ini, hanya Nicholass Raynard yang tidak berubah ekspresi.

Beberapa menit kemudian, Bayu berdiri dari sisi ruangan. Jasnya tak lagi rapi seperti biasanya, wajahnya letih, dan matanya dipenuhi garis-garis kecemasan. Langkahnya pelan menuju podium, seolah setiap langkah adalah beban. Ia memandang satu per satu wajah para finalis. Semua tatapan mengarah padanya, menuntut penjelasan, jawaban, bahkan perlindungan. Tapi tak satu pun yang benar-benar tahu apakah ia mampu memberikan itu semua.

Suara Bayu pelan namun jelas saat ia akhirnya bicara. Ia menyebut nama Lia dengan nada penuh duka. Mengatakan bahwa apa yang terjadi bukan insiden biasa. Ia menjelaskan bahwa CCTV di lantai delapan padam selama dua belas menit, tepat sebelum kejadian. Bahwa jaringan hotel mendadak mati. Bahwa semua komunikasi sengaja diblokir karena protokol internal karantina. Tapi yang paling mengejutkan adalah kalimat berikutnya, tentang simbol asing di balik plafon kamar Lia. Diukir dengan darah. Bukan satu, tapi ada di tiga kamar lainnya. Dan salah satunya adalah kamar 1810. Kamar Reina dan Vanya.

Seluruh aula membeku. Reina merasa tenggorokannya tercekat. Vanya mencengkeram tangannya lebih keras dari sebelumnya. Panitia-panitia di barisan belakang mulai saling berbisik. Beberapa narasumber menunduk, dan salah satu security menoleh ke arah langit-langit seperti memastikan tidak ada yang akan jatuh lagi dari atas.

Rani tak kuat lagi. Ia menangis keras-keras sambil menutupi wajahnya. Beberapa finalis menahan isak. Ada yang mulai panik, berdiri dari kursi, namun didesak kembali duduk oleh panitia. Reina hanya bisa membeku, menatap podium, tapi sudut matanya sesekali melirik ke arah pria berjas biru. Dan di saat itu, ia melihat sesuatu.

Nicholass Raynard tersenyum. Senyum kecil. Tipis. Hampir tak terlihat. Tapi cukup untuk membuat jantung Reina berhenti satu detak. Karena itu bukan senyum lega. Bukan simpati. Itu seperti senyum... seseorang yang sedang menyaksikan sesuatu berjalan persis seperti yang ia harapkan.

Lampu aula tiba-tiba berkedip. Hanya sesaat. Tapi cukup untuk membuat semua orang menoleh ke atas secara refleks. Speaker menggantung di tiap sudut aula mengeluarkan suara mendengung, lalu samar-samar terdengar seperti desahan… atau bisikan… dalam bahasa yang tak dikenal. Terlalu cepat untuk dipahami, terlalu asing untuk dianggap wajar.

Satu per satu mata mulai menatap langit-langit dengan rasa takut yang tak lagi bisa dibendung. Reina menggigil, Vanya berbisik dengan suara tercekat, dan Sasha di belakang mereka mulai menangis lagi.

Nicholass Raynard tidak bereaksi. Hanya menatap lurus ke depan. Dan saat itu semua sadar, bahwa mereka telah masuk ke dalam permainan yang jauh lebih besar dari sekadar kompetisi.

Riuh rendah suara para finalis di dalam aula menciptakan suasana yang nyaris tak terkendali. Setelah pernyataan mengerikan dari Kak Bayu tentang simbol darah dan kematian Lia yang misterius, sebagian dari mereka tak mampu lagi menahan emosi. Tangis pecah dari sudut-sudut ruangan, beberapa berdiri dengan panik, sementara yang lain melontarkan spekulasi liar.

"Apa ini kutukan?" seru seorang finalis dengan suara gemetar, matanya membelalak.

"Aku dengar ada peserta yang hilang juga tahun lalu di tempat ini!" ujar yang lain sambil menatap sekeliling seolah mencari jalan keluar.

"Kalau itu beneran simbol ritual, kita semua bisa jadi korban selanjutnya!" Semakin banyak suara, semakin kacau suasana. Beberapa panitia mencoba menenangkan dengan isyarat tangan, tapi tak satu pun dari mereka benar-benar tahu harus berkata apa. Bahkan suara Kak Bayu tak lagi cukup untuk menenangkan.

Lalu, tanpa peringatan, terdengar suara retakan samar dari langit-langit. Seolah kayu rapuh mulai menyerah pada beban yang tidak terlihat. Semua mendongak. Dan dalam sekejap, bagian tengah plafon aula runtuh dengan suara membelah udara, seperti rahasia yang dipaksa terbuka paksa.

Tapi bukan tubuh manusia yang jatuh kali ini. Melainkan ratusan lembar foto.

Foto-foto itu berhamburan ke udara lalu berjatuhan seperti hujan mimpi buruk. Mereka berputar di udara sebelum perlahan-lahan meluncur ke lantai, ke meja panitia, ke pangkuan para finalis, dan ke seluruh permukaan aula. Semuanya seragam dalam warna pudar sepi: hitam-putih, buram, dengan detail yang mengerikan.

Hening sekejap. Lalu teriakan mengguncang aula.

Lihat selengkapnya