Langit-langit retak meneteskan luka,
bukan air, tapi wajah-wajah nestapa.
Doa tersesat di rambut yang dikepang durja,
dan bibir dibungkam dalam benang dusta.
Langkah gemetar di lantai gemuruh,
jejak takut tak punya arah yang utuh.
Jerit tak sampai, hanya gema yang lusuh,
menggantung di udara, dilupakan peluh.
Di singgasana senyap ia bertakhta,
dengan mata dingin seperti tak bernyawa.
Tawa tak terucap, tapi bahaya menyapa…
mereka pion dalam pesta yang tak pernah bermakna.
Aula utama kini berubah menjadi ruang pengungsian senyap yang menggantung dalam waktu. Jam dinding besar yang tergantung di atas pintu kayu berat menunjukkan pukul tiga dini hari. Detik-detiknya terus berdetak lambat, namun terasa seolah seluruh waktu telah beku, tertahan dalam rasa lelah dan kecemasan yang menggumpal. Sinar lampu gantung kristal masih menyala di atas kepala, namun cahaya keemasan yang biasanya menyambut tamu dengan kehangatan kini berubah menjadi cahaya pucat yang dingin dan menyesakkan. Bayang-bayang panjang tergantung di lantai, tak bergerak, seakan takut mengusik malam yang muram.
Beberapa finalis sudah terlelap dalam kelelahan yang bukan sekadar fisik, tapi mental. Kepala-kepala bersandar pada lengan kursi, beberapa saling menopang satu sama lain, terlelap dalam posisi tidak nyaman namun pasrah. Wajah-wajah muda mereka masih menyisakan ketakutan, meski kini tertutup tidur yang lebih menyerupai pingsan. Suara napas yang lirih dan pelan menjadi satu-satunya ritme hidup di aula yang tak lagi punya denyut.
Di antara mereka, para panitia juga mulai menyerah pada kelelahan. Sebagian duduk bersandar di dinding, mata terpejam, tangan masih menggenggam clipboard atau berkas-berkas yang kini tak lagi berarti. Mereka tidur dalam posisi duduk, tubuh mereka miring, terlihat rapuh seperti boneka porselen yang hampir retak. Rasa lelah dan bingung menggantung di wajah mereka, tak tahu harus percaya pada apa yang sedang terjadi.
Di dekat panggung, Bayu masih terjaga. Wajahnya pucat, sorot matanya dalam dan tak fokus, seolah ia sedang mencoba menyatukan potongan-potongan logika dari teka-teki yang tidak memiliki ujung. Suara-suara pelan dari panitia yang masih sadar terdengar seperti gumaman tanpa makna. Bisikan panik, pertanyaan retoris, dan keheningan yang lebih banyak bicara daripada kata-kata.
Namun satu sosok tetap tak berubah sejak awal. Nicholass Raynard.
Ia masih duduk di kursinya, tegak seperti patung yang diukir dari marmer dingin. Tangannya bertaut di pangkuan, wajahnya tanpa gerak, dan matanya terbuka, menatap ke depan dengan kejernihan yang mengganggu. Tak ada kerutan cemas, tak ada kedipan gelisah, tak satu pun tanda bahwa ia terus-menerus mengamati kekacauan yang telah berlangsung selama berjam-jam. Ia hanya duduk… menyimak… menunggu.
Ketika keheningan hampir menjadi satu-satunya hal yang tersisa, sebuah suara lirih memecahnya. “Kak… aku mau ke toilet,” ucap seorang finalis perempuan, hampir seperti berbisik kepada bayangannya sendiri. Ia menggeliat dari kursinya, matanya setengah tertutup, namun jelas tak bisa menahan kebutuhan yang terlalu manusiawi untuk diabaikan. Suaranya terdengar ragu, seolah takut bahwa bahkan kata “toilet” bisa membangunkan sesuatu yang menyeramkan dari langit-langit.
Temannya yang duduk tak jauh dari situ, seorang finalis lain yang juga belum tertidur dan segera mengangguk dan berdiri perlahan. “Aku temani. Aku juga dari tadi nahan, tapi gak berani pergi sendirian.” Mereka saling pandang sebentar, lalu mulai berjalan perlahan menuju sisi aula, di mana pintu kecil menuju lorong toilet berada. Langkah mereka pelan, berusaha tidak menimbulkan suara. Mereka tidak ingin membangunkan siapa pun, atau lebih tepatnya… tidak ingin mengusik keheningan yang terasa lebih hidup daripada mereka sendiri.
Namun saat mereka hendak menyentuh gagang pintu, sebuah suara terdengar, dalam, pelan, namun membelah udara aula seperti pisau dingin menembus kabut.
“Jangan sendirian.” Mereka terhenti seketika. Pundak keduanya menegang, dan kepala mereka menoleh bersamaan ke arah suara itu berasal.
Nicholass.
Ia masih duduk di tempatnya, namun kali ini matanya tak lagi mengawang. Pandangannya lurus tertuju pada dua finalis itu. Suaranya tidak tinggi, tidak berwibawa… tapi mengandung sesuatu yang membuat bulu kuduk berdiri. Seolah yang berbicara bukan hanya dia, tapi sesuatu yang lebih besar berbicara dari dalam dirinya.
“Hati-hati,” ucapnya lagi. “Jangan pergi sendiri. Harus selalu bersama.” Keduanya hanya bisa mengangguk, kaku, seperti tubuh mereka sedang menolak perintah, tapi pikiran mereka terlalu takut untuk melawan. Mereka pun membuka pintu, melangkah keluar ke lorong panjang yang dingin dan remang. Cahaya lampu di luar tidak terlalu terang, dan pintu aula perlahan menutup di belakang mereka dengan suara mengerang, seperti napas panjang yang tertahan.
Dan di dalam aula, suasana kembali ke keheningan semula. Tapi kali ini, keheningan itu terasa lebih berat. Lebih pekat. Seolah setiap detik yang berlalu membawa lebih banyak pertanyaan, dan semakin sedikit harapan. Sementara itu, Nicholass Raynard kembali menatap ke depan. Wajahnya masih tanpa ekspresi. Dan malam… belum selesai.
***
Dengan langkah tergesa dan napas memburu, dua finalis perempuan menyusuri lorong panjang dan sempit yang menuju toilet aula. Lantai marmer yang dingin memantulkan suara langkah mereka seperti gema dari dalam perut bangunan tua, dan setiap pantulan seolah mengiringi langkah mereka dengan bisikan tak terlihat. Lampu-lampu di atas berkedip pelan, menciptakan tarian cahaya redup yang bergerak di sepanjang dinding, membentuk bayang-bayang aneh yang menyerupai tangan… atau mungkin hanya ilusi dari kelelahan dan ketakutan.
Mereka saling mendekat, hampir berjalan menempel, seolah takut jika ruang di antara mereka terlalu lebar, sesuatu akan menyelinap masuk. Tak ada suara lain selain derak lembut dari panel kayu tua dan bunyi napas mereka yang tercekat.
Setibanya di toilet wanita, pintu tua itu berayun perlahan, seolah menyambut dengan ragu. Engselnya berdecit seperti erangan rendah. Lampu dalam ruangan menyala, tapi redup dan sedikit kekuningan, membuat segala sesuatu tampak lebih tua dan lebih rusak dari kenyataannya. Cermin memantulkan ruang sempit itu dengan kabur, seperti tak yakin ingin memperlihatkan bayangannya sendiri.
“Aku duluan ya, kamu jaga,” ujar salah satu dari mereka dengan suara rendah. Temannya mengangguk cepat, menunggu di depan wastafel, memeluk dirinya sendiri, sesekali melirik ke pintu seakan takut sesuatu akan masuk diam-diam.
Beberapa menit berlalu. Suara aliran air, helaan napas lega, lalu langkah keluar dari bilik. “Gantian. Cepat ya,” ucapnya, menepuk lengan temannya yang langsung mengangguk dan masuk ke bilik tanpa banyak bicara.
Kini sendirian, finalis itu berdiri di depan wastafel. Jemarinya bergetar saat memutar keran air. Air dingin menyembur, mengguyur telapak tangannya. Ia menunduk, membasuh wajahnya perlahan. Sekali, dua kali dan membiarkan air itu meresap ke dalam kulit, seolah air bisa menyapu bersih semua rasa ngeri yang terus menempel di sekujur tubuhnya sejak kejadian di aula.
Namun ketika ia mengangkat kepala, memandang ke arah cermin, segalanya berubah. Refleksi dirinya terpampang di sana… tapi bukan hanya dirinya.
Di belakang, perlahan muncul sepasang bibir. Bukan wajah. Bukan sosok. Hanya bibir yang melayang dalam kabut kaca, tersenyum lebar, bahkan terlalu lebar. Warna bibir itu pucat keabu-abuan, seolah tak memiliki darah. Senyumannya bengkok, dan yang paling mengerikan: ia tersenyum tanpa suara, seperti mengejek keputusasaan.
Sebelum ia bisa menjerit, dua tangan putih pucat muncul dari balik bahunya dan dengan cekatan membekap mulutnya. Dingin. Keras. Tidak seperti tangan manusia, lebih seperti daging yang telah mati namun dipaksa bergerak. Tubuhnya ditarik ke belakang, dibekap dengan sempurna. Kakinya menendang, tumitnya menghantam lantai, tapi tidak ada suara. Hanya percikan kecil air dan tubuh yang diseret dengan diam. Kepalanya sempat membentur sisi wastafel, tak terlalu keras namun cukup untuk membuat dunianya berputar. Lalu… gelap.
Beberapa detik kemudian, temannya keluar dari bilik, menghela napas sambil mengancingkan kancing atasnya. Ia berbicara sambil berjalan pelan, mengira temannya masih di wastafel. “Kamu cuci muka ya? Tungguin aku ya…”
Tak ada balasan.
Ia memiringkan kepala, bingung. Toilet itu tidak besar, tapi tampak sepi sekali. Ia melangkah pelan ke depan cermin. Kosong. Tidak ada siapa-siapa. Keran air masih mengucur perlahan, meninggalkan genangan kecil di pinggiran wastafel.
Hening.
Ia menelan ludah. “Halo? Keisha?” Suaranya nyaring di ruangan sempit, tapi terasa seperti ditelan dinding. Ia mulai membuka bilik satu per satu. Tak ada. Bahkan suara derit pintu bilik seperti enggan menjawab.
Lalu matanya menangkap sesuatu. Sesuatu yang tergeletak di bawah wastafel. Ia merunduk, dan jantungnya seperti berhenti berdetak.