Pintu kamar mewah itu berderit pelan dari dalam, membuka ruang bagi cahaya lorong yang temaram menyusup masuk seperti tamu tak diundang. Sosok Niko berdiri di ambang, diam seperti batu nisan yang ditinggalkan malam. Wajahnya tak menunjukkan emosi apa pun, namun sorot matanya seperti cermin retak yang bening tapi menyimpan ratusan pecahan rasa yang tak bisa disatukan kembali.
Begitu pintu kembali menutup, suara dunia luar seolah lenyap ditelan tembok. Dan Niko berdiri di sana, membiarkan tubuhnya sejenak menyatu dengan hening yang anehnya… terasa akrab.
Kamar itu bukan kamar biasa. Dindingnya luas, langit-langitnya tinggi, jendela kaca menghadap langsung ke kota yang gemerlap di bawah. Tapi bukan kemewahan yang menyita perhatian. Melainkan kenangan.
Setiap sudut kamar itu nyaris bernapas. Bukan oleh manusia, melainkan oleh sisa-sisa kehadiran seseorang yang pernah mengisi ruang itu dengan tawa, dengan cinta, dengan harapan yang kini hanya tinggal jejak samar.
Niko melangkah perlahan, seperti orang asing yang menginjak masa lalunya sendiri. Matanya menyapu ke kanan, di mana deretan bingkai foto berlapis emas tergantung sejajar. Di salah satunya, tampak seorang wanita muda dalam balutan jas putih. Sosok dokter yang memesona, berdiri di ruang operasi sambil tersenyum, tangannya masih mengenakan sarung tangan steril.
Di foto lain, ia dan Niko berdiri di pelataran rumah sakit, tertawa dalam cahaya sore. Mata mereka saling memandang seperti rahasia yang hanya mereka berdua tahu. Dan di sisi meja, sebuah bingkai kayu menampilkan momen saat keduanya duduk berdampingan di restoran bernuansa laut. Di hadapan mereka dua gelas anggur dan sekotak cincin terbuka.
“Lamaran pertama dan terakhir,” bisik Niko, nyaris tak terdengar.
Ia mendekat ke rak pojok kamar, di mana koleksi kecil benda pribadi sang tunangan masih tertata seperti tidak pernah pergi. Botol parfum yang sudah mengering, selendang krem yang tergantung di pojok kursi rotan, dan cangkir putih bergambar bunga camelia yang masih menyisakan noda teh di dasarnya.
Di atas ranjang berseprai linen lembut, gaun tidur putih berenda masih tergantung manis di ujung tempat tidur, seperti menunggu seseorang yang tak pernah pulang. Di lemari samping, sebuah foto besar dipajang menonjol: Niko dan wanita itu duduk di atas tangga rumah tua, kaki mereka menyentuh rerumputan, dan senyumnya… ah, senyumnya. Senyum yang terlalu hidup untuk dikenang, terlalu berat untuk dilupakan.
Niko duduk di sisi ranjang. Tangannya mengambil satu foto yang tergolek di atas nakas. Kali ini wajah sang gadis tertutup oleh rambutnya yang diterpa angin. Di belakangnya, langit penuh senja.
Dan tangan Niko sedang merangkul bahunya, wajahnya miring, tertawa lepas. Satu-satunya momen di mana Niko tidak terlihat seperti Niko yang sekarang.
Tangannya gemetar. Bahu kirinya perlahan turun. Air matanya tak pernah benar-benar tumpah, tapi semuanya telah runtuh.
Ia membuka laci kecil dan mengeluarkan sebuah cincin perak sederhana, dengan ukiran yang hampir hilang dimakan waktu. Didekapnya cincin itu di telapak tangan, seakan berharap sentuhan logam dingin itu bisa menghangatkan rongga dadanya yang sepi.
Di kamar itu, tidak ada suara. Hanya detik jam di dinding dan napas pelan seorang pria yang telah kehilangan separuh jiwanya. Ia tidak bicara. Karena yang ingin ia ajak bicara… sudah ada.
Niko menatap sekeliling sekali lagi. Matanya tertumbuk pada foto terakhir yang tergantung tepat di atas ranjang. Wanita itu dalam gaun putih, memandang kamera dengan mata basah dan bibir tersenyum kecil. Tangannya menggenggam bunga calla lily, dan di sisi kanannya… tempat kosong.
Seseorang yang seharusnya berdiri di sana. Tapi tak pernah sempat.
Dan malam pun merunduk dalam keheningan yang tak menyembuhkan. Niko masih duduk di sana, dikelilingi oleh bayang-bayang cinta yang tak pernah mati, tapi juga tak bisa lagi hidup.
Karena bagi Niko… kamar itu bukan tempat tinggal. Melainkan pusara yang dibangun untuk kenangan.
Dan ia, adalah penjaganya.
***
Sebuah ballroom luas, dipenuhi undangan dan kamera, gemerlap lampu menghujani panggung utama. Di atasnya, melangkahlah seorang wanita cantik. Mengenakan gaun biru pucat yang jatuh anggun di tubuhnya. Rambutnya ditata sederhana, wajahnya tanpa kilau palsu. Ia bukan yang paling mencolok, bukan yang paling bersinar. Tapi justru itu yang membuat semua mata tak bisa berpaling.
Niko, yang duduk di deretan depan dengan setelan abu-abu dan sikap formalnya, awalnya sekadar menonton. Namun ketika wanita itu mulai berbicara… waktu seakan melambat.
“Menurut saya, kecantikan bukan untuk dikagumi… tetapi untuk membawa pesan. Jika kecantikan bisa membuat orang mendengar, maka saya ingin berbicara tentang hak kesehatan ibu dan anak…”
Suara wanita itu tak tinggi, tak lantang. Tapi ia tak perlu berteriak. Kata-katanya jujur, dan itulah yang membelah keheningan ruang. Dan di momen itu, kamera tak merekam apa pun yang lebih indah daripada mata Niko yang tiba-tiba berbinar. Bukan karena jatuh cinta pada pandangan pertama, tapi karena jiwanya disentuh untuk pertama kali.
Pintu rumah sakit terbuka. Wanita itu keluar dengan langkah letih setelah menyelesaikan operasi panjang. Jas dokternya masih menempel, sedikit berantakan, namun wajahnya tetap tenang. Seperti seseorang yang berdamai dengan rasa lelah.
Niko menunggunya di sisi mobil, berdiri tanpa bicara. Ia membuka pintu untuknya, lalu menunduk mencium ujung jarinya seperti menyambut seseorang yang baru saja kembali dari medan perang.
"Terima kasih sudah pulang dengan selamat," ucapnya pelan, dan dunia terasa teduh dalam sekejap.
Ruang makan malam para finalis. Niko duduk berhadapan dengan wanita itu, keduanya dengan secangkir teh hangat di tangan. Mereka dikelilingi keramaian, namun seperti berada dalam dunia mereka sendiri. “Kalau suatu hari kamu bicara di forum dunia,” kata Niko sambil menatap matanya, “biarkan aku jadi orang pertama yang berdiri mendukungmu.” Wanita itu tersenyum lembut, matanya menyipit sedikit, “Kalau kamu terus bekerja sampai lupa makan, izinkan aku jadi orang pertama yang menyuapimu.” Dan mereka tertawa. Ringan. Tulus. Seolah semua waktu menanti mereka tiba di titik itu.
Ruang steril rumah sakit, setelah operasi penyelamatan yang hampir mustahil. Ia membuka pintu ruang istirahat dokter, matanya lelah, namun bibirnya melengkung kecil. Dan di sanalah Niko, menunggu… bukan dengan buket bunga. Tapi dengan sebuah kotak kecil berbalut kain beludru.
Ia tidak bicara banyak. Hanya satu kalimat yang mematahkan seluruh dinding. “Izinkan aku menjaga hatimu.” Wanita itu terdiam. Lalu mengangguk, pelan, dengan mata berkaca. Dan di dalam diam mereka, dunia menjadi lebih masuk akal.
Ballroom penuh lampu gantung, bunga calla lily, musik gesek dan tamu-tamu terhormat. Pesta pertunangan yang megah. Di tengah lantai dansa, mereka berdua berdiri, berputar pelan, saling menatap seperti tak ingin waktu ikut menari bersama mereka.
Wanita itu berbisik pelan di bahunya, “Aku harap malam ini tak berakhir.” Niko menjawab, nyaris tanpa suara. “Kalau kamu mau, kita bisa tinggal di sini selamanya.”
Semua ingatan masa lalu bersama wanita tercintanya terus berputar dalam benaknya, menyisakkan rasa sesak di dada.
Niko kembali duduk sendirian di ranjang itu, dalam kamar yang tak lagi memiliki gema suara wanita yang sangat dicintainya. Tangisnya tumpah. Bisu, dalam, dan menyesakkan. Ia menunduk, tubuhnya gemetar, tangannya menggenggam foto yang mulai retak di ujung bingkainya.
Tak ada kata yang cukup untuk mendefinisikan kehilangannya. Karena kehilangan bukan hanya soal ketiadaan. Tapi tentang segala hal yang masih tinggal, meski orangnya sudah pergi.