Pintu aula terus diguncang, dentuman demi dentuman menggetarkan lantai, tapi tidak satu pun celah terbuka. Beberapa panitia laki-laki masih berusaha mendobraknya dengan bahu yang kini mulai lebam, napas mereka tersengal, dan keringat menetes deras dari pelipis. Yang lain menyebar ke segala sudut aula, mencari benda apa pun yang mungkin bisa digunakan sebagai alat paksa. Suasana semakin kalut. Ketegangan tak lagi berupa gumam takut, melainkan jeritan, tangisan, dan perintah-perintah panik yang saling bersahutan, bercampur dalam satu ruangan yang kini terasa semakin pengap dan penuh sesak.
Di layar, wajah gadis itu masih terpampang jelas. Ia berdiri di dalam sumur tua, tubuhnya gemetar, matanya bengkak oleh air mata dan ketakutan. Teriakannya menggema melalui speaker aula, menusuk telinga, namun justru membuat semua orang membeku. Tangannya terangkat, seolah bisa meraih siapa saja yang mungkin menonton, yang mungkin peduli, yang mungkin bisa menolong. Terdengar suara berat dan dingin yang dimodulasi, datar, seperti bayangan yang berbicara dari balik besi dan gelap. “Sepuluh menit. Temukan dia, atau dia akan mati.”
Kalimat itu meledak seperti peluru ke dada semua orang. Beberapa langsung bergerak, dan Bayu yang merasa mengenali lokasi sumur itu berseru keras, menunjuk arah keluar aula. “Aku tahu tempat itu! Di belakang hotel, dekat gudang lama! Ayo cepat!”
Mereka berlarian, menabrak kursi-kursi, melewati kabel dan peralatan yang berserakan. Namun ketika tangan pertama menyentuh gagang pintu, seluruh harapan seakan dihantam palu: pintu tak bergerak. Hening sejenak, lalu panik meledak lebih dahsyat.
Beberapa panitia mulai menyeret menara pengeras suara dan tiang-tiang besi untuk digunakan menjebol pintu. Dilemparkan ke engsel, dihantam berkali-kali. Tapi pintu itu tetap kokoh, seperti tembok yang sengaja dibangun untuk membiarkan mereka menjadi saksi penderitaan. Seseorang mencoba membongkar panel lampu dan mengutak-atik sirkuit dengan harapan menemukan sistem kunci elektronik, namun semua upaya sia-sia.
Sementara itu, angka di pojok layar terus bergerak turun perlahan, dan seluruh ruangan tahu: waktu tidak sedang menunggu. Tak seorang pun bicara soal berapa menit yang tersisa, tapi detik-detiknya menetes seperti darah yang mengalir lambat ke tanah.
Di sudut aula, Celia terduduk memeluk lututnya, menggigit bibir menahan isak. Reina berjalan mondar-mandir tak tentu arah, hampir menabrak siapa saja, wajahnya merah oleh kemarahan dan ketakberdayaan. Vanya berdiri diam dengan tangan terkepal di sisi tubuhnya, berusaha menahan tangis yang hanya tinggal sehelai napas untuk pecah.
Gadis dalam layar tidak lagi berteriak. Ia hanya memejamkan mata, bibirnya komat-kamit, entah berdoa atau hanya pasrah. Beban besar yang menggantung di atas kepala kecilnya bergoyang pelan, seperti tali maut yang mulai tergoda untuk jatuh.
Dan aula itu, ruangan megah tempat mereka seharusnya belajar menjadi wajah kecantikan negeri, kini telah berubah menjadi ruang penyiksaan batin. Tak seorang pun tahu harus berkata apa. Tak seorang pun tahu siapa yang mereka lawan. Yang mereka tahu hanyalah satu: seseorang sedang menonton mereka, menikmati kepanikan mereka, dan mencabut nyawa demi nyawa. Perlahan, dengan irama waktu yang tak terhindarkan.
Di tengah keputusasaan yang melumpuhkan, terdengar suara panik namun bernada harapan dari arah belakang aula.
"Aku tahu sesuatu!" seru seorang narasumber perempuan yang sejak tadi tampak gelisah. Ia berlari terburu-buru dari sisi ruangan, menarik lengan salah satu panitia pria yang ikut berdiri linglung. “Waktu kami survei gedung ini… aku pernah lihat bagian atap toilet wanita, bilik paling ujung bisa dibuka. Aku yakin di atasnya ada celah ventilasi yang terhubung ke lorong belakang!”
Semua mata tertuju padanya. Beberapa orang langsung bangkit dan ikut berlari ke arah yang dimaksud. Mereka membuka pintu toilet aula dengan tergesa dan menuju ke bilik terakhir. Seorang panitia pria memanjat dudukan toilet, menepuk-nepuk langit-langit yang rendah. Jarinya meraba bagian sudut dan mendorong pelan.
Brakkk!
Langit-langit eternit terbuka perlahan, menampakkan rongga gelap berdebu di atasnya. “Benar! Ini bisa dilewati! Kita bisa merayap keluar dari sini!” ucap coach itu sambil menarik nafas tajam.
Kabar itu menyebar cepat, membawa sedikit angin harapan di tengah ruangan yang semakin padat dengan histeria. Salah satu panitia laki-laki, yang selama ini tampak diam tapi matanya tajam, mengambil inisiatif berdiri di tengah aula, mengangkat suara. “Dengar semuanya! Kita tak bisa menunggu lebih lama. Kita akan pecah menjadi dua tim!”
Suasana yang tadi ricuh mendadak terdiam, menunggu arahan. “Tim satu, ikut saya. Kita akan keluar lewat celah atap toilet ini, lanjut menyusuri ventilasi dan mencari jalan ke belakang hotel. Fokus kita menyelamatkan gadis di dalam sumur. Tim dua tetap di aula, lakukan apa pun yang kalian bisa untuk buka pintu ini dari dalam, dari sini atau dari panel teknis. Kita kejar dari dua arah!”
Bayu berdiri cepat. “Aku ikut tim satu! Aku tahu jalan ke gudang belakang, aku pernah inspeksi jalur logistik!”
“Aku juga,” sahut Reina, tanpa ragu. Ia menggenggam tangan Vanya erat. “Kami ikut.” Beberapa panitia lainnya bersiap. Salah satu dari mereka menyalakan senter kecil dari saku jaket. Debu di langit-langit toilet sudah mulai berjatuhan, namun tidak ada yang peduli. Panitia pemberani itu naik lebih dulu, tubuhnya merayap perlahan ke dalam lorong gelap.
Niko muncul dari barisan belakang, diam-diam menyusul ke sisi Reina. Ia tak berkata apa pun, hanya menatap celah di langit-langit itu dengan tatapan tajam, lalu naik mengikuti mereka.
Di dalam toilet, satu per satu mereka mulai memanjat ke atas. Tubuh harus ditekuk sempit, punggung membentur pipa dan siku menahan agar tidak terjatuh. Debu tebal menempel di kulit. Udara dalam lorong itu pengap, panas, dan berbau lembap. Tapi tak ada yang mengeluh.
Di bawah, panitia yang tersisa bergerak cepat. Beberapa kembali memukul engsel pintu aula, yang lain mencoba membuka jalur listrik di panel tembok, berharap menemukan saklar pengaman.
Timer di layar tak terlihat dari toilet. Tapi semua yang ada di sana tahu… waktu yang tersisa tidak lagi banyak.
***
Lorong sempit di balik plafon toilet itu seperti tenggorokan dunia yang tak pernah tersentuh cahaya. Debu berterbangan, menggantung seperti kabut tipis yang mencekik napas. Tubuh-tubuh yang masuk ke sana harus meringkuk, bergerak perlahan, merayap seperti ular di antara kawat pipa dan balok kayu tua yang berderit pelan setiap kali tersentuh.
Reina berada di tengah, napasnya berat, tangannya terus meraba dinding lorong, mencari pegangan agar tak tergelincir. Vanya di belakangnya, sesekali batuk menahan debu, sementara Bayu di depan mereka membuka jalan dengan senter kecil, matanya menatap setiap celah seperti sedang membaca peta dari ingatan.
Di belakang, Niko mengikuti diam-diam, tapi langkahnya terukur dan pasti. Dalam diamnya, ia seolah mengukur waktu dengan ketukan jantung. Di ruang sekecil itu, tak ada ruang untuk bicara, hanya suara gesekan siku dan lutut yang menghantam permukaan keras.
Suasana sangat tegang. Setiap bunyi di atas sana, entah denting pipa, gemeretak kayu, atau desah nafas sendiri yang bisa membuat jantung terhenti sepersekian detik. Mereka seperti bergerak di leher waktu yang jika salah langkah sedikit, akan mengurung mereka dalam gelap selamanya.
Sementara itu di aula, tim dua sedang berpacu melawan waktu dan keputusasaan. Beberapa panitia membuka panel listrik dengan tangan gemetar, menjumper kabel dengan obeng kecil dan kabel serabut seadanya, mencoba menyambung arus yang entah akan membawa keajaiban atau kehancuran. Dua finalis lain membantu, membongkar bagian bawah meja teknisi yang selama ini tertutup kain, berharap menemukan jalur kunci otomatis.
Dari sisi lain, dua laki-laki mendorong lemari besi kecil ke arah pintu, lalu menjatuhkannya dengan keras, berulang-ulang, berharap kekuatan gravitasi bisa mengguncang engsel hingga melemah.
Sparks meledak dari kabel. Salah satu panitia terkejut dan menjatuhkan tangnya, hampir tersetrum. “Sial!” erangnya. “Aku butuh alat lebih kecil! Tang ini terlalu besar!”
“Tunggu, aku bawa jepitan rambut!” sahut finalis lain, menyerahkan benda mungil itu dengan tangan gemetar.
Di sisi lain aula, Celia dan Adelina berdiri sambil menggigit bibir. Mereka tak bisa membantu secara teknis, tapi tak bisa duduk diam. “Kenapa belum ada yang bilang mereka keluar dari toilet?” bisik Celia, wajahnya pucat pasi.
“Karena jalurnya sempit dan panjang,” gumam Adelina. “Kalau mereka terjebak di sana…”