BEAUTY BLOOD

quinbbyyy
Chapter #15

Ketakutan Di Ujung Jalan

Kabut pagi mulai surut perlahan dari tepian sumur tua, meninggalkan sisa darah yang menempel di batu dan daun-daun lembap yang gugur seperti taburan kematian. Tubuh Anya masih terbujur diam di dasar kegelapan, hancur tanpa bentuk, dan meski mata Reina belum beralih dari sana, hatinya tahu: mereka harus pergi. Tak ada waktu untuk berkabung. Tak ada ruang untuk menyesali yang tak bisa diulang.

Bayu mendekat, menyentuh bahunya perlahan, tak berkata apa-apa, hanya menatap lurus ke arah pepohonan. Di samping mereka, Vanya masih berdiri kaku, napas pendek dan mata sembab, seperti gadis kecil yang tersesat dalam mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Niko berdiri lebih jauh di depan, diam dan tak bergerak, tubuhnya membelakangi sumur, wajahnya seperti patung batu yang tak lagi menyisakan amarah atau ketakutan.

“Kita… nggak bisa bawa dia,” suara Reina nyaris tenggelam, tapi cukup untuk didengar. Tak seorang pun menjawab, karena semua tahu: membawa jenazah itu artinya mengorbankan yang masih hidup.

Langkah mereka mulai bergerak, menyusuri jalanan tanah yang licin, menembus semak-semak yang masih basah oleh embun dan darah pagi. Burung-burung yang biasanya berkicau kini hanya terbang rendah, senyap, seolah tahu bahwa tempat ini telah kehilangan harap. Di atas sana, langit yang seharusnya biru pucat tampak memudar, ditelan kabut dan awan abu-abu yang mengambang berat.

Hotel itu berdiri seperti kuburan besar, tinggi, dingin, dikelilingi pagar besi dan kawat berduri yang seolah menertawakan mereka yang masih berani bertahan. Tak ada penjaga. Tak ada suara. Hanya derak kerikil di bawah sepatu mereka saat mereka akhirnya tiba di halaman depan. Pintu utama hotel terbuka sedikit, menganga sunyi seperti rahang gelap yang siap menelan mereka satu per satu.

Reina menggenggam tangan Vanya erat-erat, matanya menatap pintu yang setengah terbuka itu seperti menatap lorong neraka. Bayu berdiri diam, menahan napas, dan Niko yang tak pernah menoleh akhirnya melangkah lebih dulu, mendorong daun pintu yang berderit pelan, seakan dunia di dalam sana sedang menunggu mereka masuk.

Mereka tidak menoleh ke belakang. Tidak ada yang bicara. Tidak ada yang menangis lagi. Yang tertinggal hanyalah langkah kaki yang menggema di area hotel yang kosong dan hening, membawa mereka lebih dekat dengan pun yang masih tersisa… atau mungkin, apa pun yang belum selesai.

***

 

Lobi hotel itu masih menyisakan sisa kemewahannya, langit-langit tinggi dengan lampu gantung kristal yang menggantung megah, memantulkan cahaya pagi yang samar dari sela tirai tebal. Lantai marmer masih licin dan berkilau, tapi pantulan di permukaannya kini terasa dingin, mati, tak berjiwa. Aroma samar dari wewangian ruangan masih tercium, bercampur dengan bau debu dan sisa ledakan yang belum benar-benar hilang, menciptakan atmosfer yang janggal dan menyesakkan.

Ruangan itu sunyi total. Tak ada suara musik, tak ada staf hotel, tak ada sapaan dari resepsionis. Meja penerima tamu berdiri kosong, semua terlihat seperti biasa, seperti belum terjadi apa-apa. Tapi justru itulah yang membuatnya lebih mencekam. Keheningan itu seperti disusun rapat, menekan dada mereka yang baru saja masuk dari luar.

Wajah-wajah yang muncul satu per satu tampak rapuh. Mata mereka sayu, kulit pucat, rambut acak-acakan. Pakaian yang dulunya rapi kini penuh kotoran, sobek di sana-sini, dan sebagian masih menempel darah kering. Mereka berjalan lambat, langkahnya goyah, seperti tubuh mereka bergerak lebih karena harus, bukan karena mampu.

Pantulan langkah di lantai menggemakan kelelahan yang tidak terucap. Poster-poster kontes yang tertempel di dinding menjadi ironi yang kejam. Wajah-wajah finalis yang masih tersenyum, masih berdandan sempurna, menyambut mereka yang kini tak lagi utuh, tak lagi lengkap.

Tanpa suara, tanpa saling sapa, mereka terus berjalan menuju aula utama. Lorong yang dulu ramai kini sunyi dan terasa tak berujung. Di setiap langkah, mereka membawa rasa takut, kehilangan, dan pertanyaan yang belum terjawab. Mungkin ada harapan di sana. Mungkin hanya kehancuran yang lebih dalam. Tapi mereka tetap melangkah, karena tak ada jalan lain.

***

Pintu aula itu terbuka pelan, berderit seolah mengaduh. Engselnya tak lagi kokoh, karat dan retakan akibat ledakan telah melemahkannya. Baru satu dorongan ringan, salah satu sisi pintu langsung roboh, menghantam lantai marmer dengan suara dentuman nyaring yang membelah sunyi. Debu beterbangan, menyebar bersama bau logam dan sisa pembakaran yang tajam menusuk. Suara itu membangunkan kesadaran mereka akan apa yang menanti di balik pintu.

Asap masih mengambang rendah, membentuk tirai abu yang menggantung di udara. Di baliknya, aula yang dulunya megah kini hanya tinggal puing. Langit-langit runtuh sebagian, menampakkan kerangka besi yang menggantung seperti tulang rusuk terbuka. Meja-meja terpental, kursi patah, selempang dan kain panggung terhempas ke dinding dalam kondisi gosong dan sobek. Lampu gantung kristal yang dahulu menjadi pusat keindahan kini tergantung miring, sebagian pecah dan menciptakan pantulan cahaya muram di antara asap.

Reina masuk paling depan, langkahnya ragu tapi tetap maju. Napasnya berat. Di tengah ruangan itu, ia melihatnya. Sosok-sosok yang terbakar, hancur, bertebaran tak karuan. Tubuh-tubuh hangus, beberapa sudah tidak lagi memiliki bentuk manusia. Kulit mengelupas, daging terbakar hingga tulang terlihat, wajah-wajah meleleh tanpa bisa dikenali. Tapi tidak semuanya asing. Beberapa potongan kecil seperti kain, Sepatu dan rambut masih bertahan, memberi identitas pada mereka yang tak bisa lagi berbicara.

Reina menjerit pelan, satu tangan menutupi mulutnya, tubuhnya gemetar hebat. Di antara puing, ia melihat secarik kain biru dengan bordir halus yang ia kenali itu adalah kain selendang milik Tiara, hadiah dari ibunya. Tak jauh dari sana, sepatu putih berhiaskan manik-manik masih terpasang di sepasang kaki yang kini kaku dan itu adalah milik Sasha. Rambut panjang yang menghitam di sisi panggung tak mungkin salah adalah Yasmine. Dan potongan selempang berwarna ungu lembut… milik Elya.

Reina jatuh berlutut, matanya berkaca, bibirnya bergetar hebat. "Enggak... Tuhan, enggak…,” bisiknya parau. “Mereka di sini… mereka beneran… di sini…”

Vanya menjerit keras, tangannya menutupi wajah. Ia mundur beberapa langkah, lalu menabrak tiang yang setengah hangus dan melorot ke lantai. “YA TUHAN! Itu… itu Sasha?! Itu... itu rambut Yasmine?!”

Seorang finalis lain berdiri di ambang pintu, lalu histeris. “ASTAGAAA! TUHAN, JANGAN!” Ia berbalik, menabrak Bayu dan menjerit, “Kita harus pergi! Kita nggak bisa di sini! Ini neraka!!”

Bayu memejamkan mata sejenak, menahan napasnya. Lalu ia berlutut, mengangkat satu lembar name tag hangus dari lantai. Huruf-hurufnya setengah terbakar, tapi masih terbaca yakni Elya - Universitas Gemilang.

“Mereka nggak sempat keluar,” gumamnya pelan. “Kita terlalu lambat.”

Reina menoleh padanya, matanya membelalak, wajahnya penuh air mata dan debu. “Kita yang ninggalin mereka, Kak Bayu… Kita nyelamatin satu orang… tapi ninggalin semua yang lain…”

Tak ada jawaban. Hanya sunyi yang mengunci ruang besar itu. Langkah-langkah kecil dari para finalis yang lain menyusul masuk, dan satu per satu mereka terdiam, membatu seperti patung-patung berkabung.

Niko masih berdiri di ambang pintu, tatapannya tajam menelusuri ruangan, tapi sorotnya kosong. Wajahnya seperti tak terkejut, seperti sudah tahu ini akan terjadi dan justru karena itu, matanya terlihat lebih dalam, lebih gelap dari siapa pun di ruangan itu. “Ini… bukan kecelakaan,” gumamnya lirih, tapi cukup keras untuk terdengar. “Ini peringatan…”

Reina berdiri perlahan, tubuhnya limbung. Ia berjalan maju, lututnya goyah. Ia melewati tubuh-tubuh gosong yang dulu adalah temannya, sahabatnya. “Kalau ini peringatan… lalu siapa yang ditujunya?” tanyanya sambil menatap ke sekeliling.

Tak ada yang menjawab.

Yang tersisa hanya ruang penuh kematian, bau hangus yang tak mau pergi, dan rasa bersalah yang menggantung di udara seperti api yang belum padam. Dan mereka semua tahu bahwa ini belum akhir. Neraka belum selesai membuka pintunya.

Di tengah kepanikan yang masih mengendap, di antara bau hangus yang menusuk dan sisa-sisa kehancuran yang menyebar di aula, suasana begitu sunyi. Suara tangis yang sebelumnya menguasai ruangan mulai memudar, berganti dengan isak lirih dan napas terengah. Sebagian dari mereka terduduk di lantai yang berdebu dan dingin, sebagian lain bersandar di dinding yang menghitam, diam, menatap kosong ke depan. Tak ada lagi kekuatan tersisa untuk berkata-kata. Semua tampak kehilangan arah, tenggelam dalam trauma yang belum sempat dicerna.

Namun di sela kehampaan itu, sesuatu yang aneh terjadi. Sebuah suara keras dan nyaring muncul, bergemuruh dari sudut aula. Bukan suara bom. Bukan jeritan. Tapi bunyi perut yang lapar, panjang, dalam, dan tidak bisa diabaikan.

Krucukkkk…

Beberapa kepala spontan menoleh. Mata yang sembab dan tubuh yang lesu sempat terangkat, seperti mencari sumber suara. Dahlia yang duduk bersimpuh di dekat tembok sontak mematung, kedua tangannya memegangi perutnya sendiri. Ia terlihat malu tapi tak bisa menyembunyikan kenyataan.

“Itu… bukan suara hantu,” gumamnya lirih dengan wajah tertekuk, “itu perutku... aku laper banget.” Sejenak hening, lalu tawa kecil pecah di antara kesunyian. Tawa itu pelan, tapi jelas, datang dari Vanya. Ia menunduk, bahunya berguncang, dan tak lama kemudian terdengar suara tawanya yang benar-benar meledak.

“Ya ampun, Dahlia... kamu serius?” katanya sambil terbatuk karena tertawa terlalu keras. “Kita baru aja lihat... semua ini, dan kamu ngeluhnya soal laper?”

Dahlia mengangkat bahu dengan ekspresi frustrasi. “Maaf banget, ya. Aku masih manusia, Van. Dan manusia itu butuh makan. Kalau enggak, ya... ya kayak gini.”

Adelina yang terbaring setengah duduk menyahut dengan lesu, “Perutku juga dari tadi bunyi. Aku kira suara apa, ternyata lambungku minta diperhatikan.” Celia menyikut Alma yang sedang menatap kosong ke arah panggung. “Gue bahkan mimpi tadi kita disuruh masak bareng di dapur kompetisi, tapi bahan makanannya cuma bayangan.”

Alma tidak langsung menjawab. Ia menarik napas panjang lalu menatap mereka dengan datar. “Kalau sekarang tiba-tiba ada yang nyodorin sepiring nasi sama ayam goreng panas... gue siap nikah sama dia. Nggak peduli siapa pun dia.”

Reina yang sejak tadi hanya terdiam, akhirnya mengangkat wajah. Sisa air mata masih menempel di pipinya, tapi kini bibirnya melengkung sedikit. “Serius, sih. Kita bisa mati bukan karena dikejar hantu... tapi karena kelaparan.”

Bayu yang berdiri tak jauh dari mereka ikut menoleh. Ia mengangguk ringan. “Resto di lantai bawah tadi nggak hancur. Kayaknya aman. Dapur juga belum sempat kena ledakan.” Mendegar hal itu, Dahlia langsung bangkit, setengah berlari ke arah pintu aula. “Yaudah yuk! Kita masih hidup, dan perut kita juga harus diisi kalau nggak mau jadi zombie beneran!”

Adelina ikut berdiri sambil mengibaskan debu dari bajunya yang lusuh. “Tapi serius, jangan kasih gue bubur. Minimal mie goreng pedes sama telur ceplok dua.” Celia menyusul di belakang, sambil menyeret tas kecilnya yang sudah hampir putus. “Gue enggak peduli gue kelihatan kayak korban sinetron. Asal dapet sepiring nasi, gue bakal senyum lagi.”

Tawa-tawa kecil mulai terdengar, bahkan di tengah bayangan kematian yang masih tertinggal. Mereka tahu trauma itu belum berakhir, tapi untuk sesaat, rasa lapar justru menyatukan mereka dalam kepasrahan yang jujur dan bukan karena lemah, tapi karena bertahan juga butuh kekuatan.

Langkah mereka pelan, menyusuri lorong hotel yang dingin dan lengang. Beberapa masih tertatih, tapi kini dengan arah yang jelas. Menuju tangga bawah. Menuju restoran yang entah masih lengkap atau tidak. Bukan untuk pesta, bukan untuk kenyang. Tapi untuk sekadar merasa bahwa mereka masih bernapas. Masih punya rasa. Masih bisa tertawa, meski dunia di sekeliling mereka telah berubah menjadi reruntuhan.

***

 

Pintu restoran terbuka perlahan dengan suara mendesis lirih, menyambut mereka bukan dengan aroma roti panggang atau wangi kopi pagi seperti seharusnya, melainkan dengan udara basi yang tercampur debu dan sisa asap. Langkah mereka langsung melambat. Pandangan mata menelusuri ruangan yang pernah hangat dan hidup itu yang kini sunyi, rusak, dan kosong dari tanda-tanda kehidupan.

Meja-meja bergeser tak beraturan, kursi terjatuh seperti ditinggalkan dalam keadaan panik. Taplak putih yang biasanya rapi kini menggantung kusut, beberapa robek dan kotor. Nampan-nampan makanan masih tergeletak di atas meja prasmanan, sebagian tertutup tudung logam, sebagian lagi terbuka menampilkan sisa roti yang mengeras, buah yang mulai layu, dan potongan daging yang mengering.

Tidak ada suara dari dapur. Tidak ada langkah para chef. Tidak ada aroma wajan atau panci mendidih. Hanya keheningan dan kesan seolah tempat itu ditinggalkan mendadak oleh seseorang yang tahu, bahaya sedang datang.

“Kenapa sepi banget…” suara Adelina nyaris tak terdengar. “Chef-nya ke mana semua?” Celia berdiri kaku di dekat meja minuman, tatapannya kosong menembus konter dapur terbuka yang gelap. “Mereka pergi… atau lebih buruk.”

Tapi Dahlia tidak peduli. Dengan perut yang sudah memberontak sejak satu jam lalu, ia langsung menghampiri meja saji dan membuka penutup logam satu per satu, matanya berbinar begitu melihat nasi kotak yang masih utuh, meski mulai dingin.

“Aku nggak sanggup lagi mikir. Mau ada hantu atau enggak, aku harus makan sekarang,” katanya sambil menarik satu kotak dan duduk di lantai. Suapan pertamanya besar dan cepat, seperti refleks bertahan hidup.

Alma mengikuti, mengambil sepotong roti kering, mengolesinya dengan mentega seadanya. Ia duduk di lantai dekat lemari pendingin. “Aku bahkan rela makan plastik kalau itu bisa ngisi perut.” Adelina terkekeh getir. “Kalau ada yang nyodorin aku mie goreng sama telur dadar sekarang, aku mungkin jatuh cinta.”

Celia menyambar jus dingin dari kulkas kecil, membuka tutupnya dan meminum langsung seperti air suci. Ia menatap ke langit-langit restoran dan menghela napas panjang. “Mungkin ini bukan surga, tapi perutku akhirnya ngerti rasanya tenang.”

Sementara yang lain mulai sibuk menyantap apapun yang bisa dimakan, Reina masih berdiri. Matanya menelusuri ruangan, masih menyimpan keraguan dan curiga, tapi tubuhnya jelas sudah terlalu lelah untuk tetap waspada.

Lihat selengkapnya