BEAUTY BLOOD

quinbbyyy
Chapter #16

Kunci Rahasia

Sudah lewat pukul tujuh malam, dan suasana di lobby hotel mulai terasa janggal. Lampu gantung yang biasanya menciptakan kesan hangat kini memantul di permukaan marmer dengan cahaya pucat, seolah ikut resah. Bayu berkali-kali memeriksa jam tangan, gerakannya gugup dan tak sabaran. Ia tak bisa duduk diam, kakinya berjalan bolak-balik di depan meja resepsionis, matanya terus berpindah antara pintu utama, lift, dan lorong tangga. Di sisi lain, Niko berdiri membisu di bawah pancaran cahaya lampu dinding. Tak satu pun ekspresi terlukis di wajahnya, namun ada ketegangan tajam di garis rahangnya.

Beberapa panitia mulai saling berbisik, gugup. Narasumber duduk dengan wajah murung, sesekali menatap ke atas, ke arah langit-langit yang seolah menyimpan sesuatu yang mengancam turun. Mereka semua sadar waktu telah melewati batas. Para finalis seharusnya sudah kembali. Tapi tak ada satu pun dari mereka yang muncul. Tidak dari lift. Tidak dari lorong kamar. Tidak ada suara. Tidak ada tanda kehidupan.

Lalu sebuah suara mendadak membelah kesunyian. BRUK!!!

Benda berat jatuh di lantai atas, menghantam dengan bunyi yang bergema seperti peringatan buruk. Semua kepala menoleh bersamaan. Panitia panik. Seorang narasumber langsung berdiri, bahkan kursinya bergeser keras ke belakang. Bayu hampir lari ke arah tangga darurat.

Namun sebelum langkah mereka sampai, pintu tangga darurat terbanting terbuka, menghantam dinding dengan suara menyentak.

Dan seketika, kekacauan meledak.

Finalis-finalis berhamburan dari pintu itu seperti pecahan kaca dilemparkan ke lantai. Mereka berlari dalam kepanikan tak terkendali. Wajah-wajah muda itu bukan hanya ketakutan, mereka tampak remuk. Beberapa menjerit tanpa kata, lainnya terisak histeris. Reina muncul paling depan, rambutnya kusut, wajahnya penuh keringat dan debu, tangan kirinya menggenggam erat lengan Vanya yang nyaris pingsan. Adelina berlari sambil menoleh ke belakang dengan mata liar, sementara Alma tersungkur dan merangkak sebelum bangkit lagi. Nafas mereka berat, putus-putus, seperti paru-paru mereka tak pernah sempat mengambil udara.

Baju-baju mereka compang-camping, sebagian sobek, sebagian lainnya bernoda darah yang belum kering. Ada yang kehilangan sepatu, ada yang hanya memakai satu sandal. Ada yang menangis, menggigil, berteriak, atau bahkan tidak bersuara sama sekali. Matanya kosong, seperti jiwanya tertinggal di lantai atas bersama jeritan terakhir seseorang.

Bayu langsung menyongsong mereka, nyaris menjatuhkan dirinya sendiri karena langkah tergesa. “Apa yang terjadi?! Siapa yang terluka?! Siapa yang...?”

Tapi tak ada yang menjawab. Reina hanya menatapnya, matanya merah dan lelah, lalu menggeleng sambil tersedu. “Dahlia... Celia... mereka…”

Suaranya terputus. Tak perlu dilanjutkan. Panitia lain mulai menjerit. Beberapa langsung membantu memapah finalis yang pingsan di depan lift. Seorang narasumber memekik melihat darah di pakaian Alma. Niko tetap di tempatnya, namun sorot matanya menajam, memindai jumlah mereka satu per satu. Ia menghitung cepat. Satu hilang. Dua. Tiga. Tak semuanya kembali.

Tangis dan teriakan pecah bersamaan. Seisi lobby berubah jadi ruang gawat darurat yang tanpa peralatan. Semua orang bergerak tanpa arah. Beberapa mencoba bertanya. Beberapa menenangkan. Beberapa hanya berdiri membeku, tak tahu lagi harus berbuat apa.

Dan dari pintu tangga yang masih terbuka, hawa dingin menyelinap pelan ke dalam ruangan. Membawa serta bisikan samar. Seolah apa pun yang mengusir anak-anak itu dari lantai atas… belum selesai bermain.

Langit malam sudah benar-benar jatuh di luar jendela-jendela besar lobi hotel, namun kekelaman sesungguhnya justru berada di dalam. Tangisan, teriakan, isak panik dan langkah tergesa memenuhi udara seperti suara perang tanpa senjata. Beberapa finalis terduduk di lantai, menggigil dan memegangi tubuh mereka sendiri, sebagian lainnya menunduk sambil menjerit di telapak tangan, dan sisanya hanya menatap kosong ke depan, seolah otak mereka belum siap mencerna apa yang baru saja terjadi.

Reina berdiri di tengah kekacauan itu, tubuhnya bergetar, wajahnya basah oleh keringat dan air mata yang tak henti mengalir. Bayu memegang kedua lengannya, mencoba menenangkannya, tapi tangan Reina seperti batu es, dan kata-katanya keluar tersendat, terpotong oleh napas yang terengah.

“Dahlia…” suaranya hampir tak terdengar, seperti ditarik dari dasar tenggorokannya. “Dia… dia sempat lari di belakang… tapi seseorang… seseorang menarik dia kembali… dia berteriak… suruh kami lari aja…” matanya menatap Bayu dengan pandangan kosong, seolah menanti izin untuk percaya bahwa semua ini bukan nyata. “Itu… itu orang… jelas-jelas manusia… bukan hantu…”

Tangis kembali pecah dari salah satu finalis yang duduk tak jauh. Reina menunduk, menahan mual yang mendesak di dadanya, tangannya mencengkeram ujung bajunya sendiri, berusaha tetap berdiri.

Adelina yang duduk di lantai, lututnya terlipat, rambutnya acak-acakan, tiba-tiba bersuara, suara seraknya pecah di antara isakan.

“Celia...” katanya pelan, namun tajam. “Dia tadi di kamar bersamaku… habis mandi… aku cuma masuk kamar mandi sebentar…” ia menggigit bibir bawahnya, tubuhnya terguncang. “Pas keluar… dia nggak ada. Aku kira dia ke kamar Reina… tapi pas aku keluar…” napasnya tercekat, suaranya berubah menjadi parau dan berat, “Pintunya dibuka paksa… dihantam… pakai kepala Celia.”

Seketika, jeritan histeris meledak dari seorang finalis yang baru menyadari nama yang disebut. Yang lain menangis lebih keras, beberapa langsung menutupi wajah dan menggoyang-goyangkan kepala seperti ingin menghapus bayangan itu. Seorang panitia terjatuh terduduk, memegangi kepalanya sendiri dengan kedua tangan. Di sudut ruangan, dua finalis muntah bersamaan. Bau darah yang masih melekat di pakaian mereka seolah kembali menjadi nyata.

“Dia dijadikan alat,” lanjut Adelina, suaranya patah. “Dibuat mainan… kayak bukan manusia lagi…”

Niko, yang selama ini berdiri kaku, akhirnya melangkah maju, wajahnya tetap dingin namun sorot matanya gelap seperti malam yang menelan hotel ini. Tapi tak ada yang memperhatikan dia saat itu. Semua orang sibuk dengan jerit, dengan tubuh yang tak henti gemetar, dengan kebingungan yang terus tumbuh menjadi histeria.

Seorang panitia mencoba memanggil nama satu per satu untuk memastikan siapa yang masih hidup. Tapi suaranya tenggelam dalam riuh ketakutan. Tak ada yang menjawab dengan pasti. Tak ada yang bisa berhenti menangis cukup lama untuk benar-benar menjawab.

Lobby kini bukan lagi tempat menunggu. Ia berubah menjadi tempat pelarian, tempat di mana semua yang tersisa hanya mencoba bertahan. Mereka berkumpul, tapi tak benar-benar bersama. Masing-masing tenggelam dalam kepanikan yang tak bisa diselamatkan dengan pelukan, atau kata-kata. Hanya dengan waktu. Jika waktu masih mereka miliki.

***

 

Keheningan turun perlahan seperti kabut yang menggulung lembut namun mencekik. Setelah jeritan dan tangisan reda, yang tersisa hanya suara napas berat dan detak jarum jam di balik meja resepsionis. Lantai lobi berlumur sisa lumpur dan darah kering yang terbawa bersama sepatu-sepatu kotor, namun tak ada yang peduli. Semua membisu. Tak ada yang berbicara. Mereka duduk terpencar, sebagian bersandar di dinding, sebagian melipat kaki di lantai sambil menatap kosong ke arah yang tak jelas.

Masing-masing tenggelam dalam pikiran sendiri, tentang sahabat yang telah tiada, tentang kemungkinan tidak bisa pulang, dan tentang maut yang seperti terus mengejar, satu langkah di belakang mereka.

Tiba-tiba, dari dekat area sofa, suara berat seorang pria terdengar. Bukan panik, bukan gemetar tapi tenang, bulat, dan jelas. Seorang narasumber, yang sejak awal hanya mengamati dalam diam, akhirnya bicara. “Kalau kita terus menunggu di sini, kita cuma menunggu giliran. Kita harus keluar dari tempat ini… sekarang juga.”

Semua menoleh perlahan. Tak ada yang membalas, tapi dalam diam mereka tahu, itu satu-satunya jalan yang tersisa. “Resort ini dikelilingi dinding tinggi, iya,” lanjutnya. “Tapi bukan berarti tak bisa dipanjat. Kita punya cukup orang. Kita bisa cari barang seperti meja, lemari, tangga… apa pun.”

Sejenak tak ada yang menjawab. Lalu Bayu mengangguk pelan. “Aku tahu ruang penyimpanan. Banyak alat tukang dan benda tajam. Kita bisa bawa untuk jaga-jaga.”

Satu per satu, mereka mulai bangkit. Mata mereka masih merah, tubuh masih lelah, tapi dorongan untuk bertahan hidup memaksa kaki mereka bergerak. Mereka berpencar, mengambil segala benda yang bisa membantu. Meja panjang dari ruang makan, tangga lipat dari ruang cleaning service, rak kayu dari gudang peralatan, bahkan papan-papan hancur dari lobi yang bisa dijadikan pijakan.

Dari ruang perkakas, mereka juga mengambil palu, linggis, obeng panjang, dan pisau tukang. Apa pun yang bisa dijadikan senjata jika mereka bertemu sesuatu yang tak bisa dilawan dengan tangan kosong. Barang-barang itu dibungkus kain, diikat ke tubuh mereka, atau dijinjing dengan tangan gemetar tapi mantap.

Tak ada yang benar-benar tahu ke mana arah dinding terdekat, tapi mereka sepakat mencari jalan melingkar melalui belakang resort, menyusuri jalur taman yang kini gelap dan tertutup embun malam. Mereka berjalan dalam diam, langkah pelan dan waspada. Tak ada yang tertawa, tak ada yang bicara. Hanya raut wajah-wajah yang telah kehilangan terlalu banyak untuk merasa aman lagi.

Dan malam terus menebal, menyelimuti mereka yang masih hidup… dan berusaha kabur dari mimpi buruk yang terus menutup semua jalan keluar.

***

Langkah-langkah mereka berat saat mendekati pintu utama hotel, seperti diseret oleh harapan yang mulai mengering. Di balik pintu itu terbentang halaman luar, jalan setapak, taman gelap, dan pagar batu tinggi yang selama ini menjadi batas antara hidup dan mati. Tak ada suara selain derak lantai marmer dan denting senyap dari benda-benda logam yang mereka bawa: tangga lipat, kursi, obeng, linggis, sisa-sisa benda sipil yang kini menjadi perlengkapan perang.

Seorang narasumber pria berada paling depan. Bahunya lebar, tangan menggenggam erat pegangan obeng besar yang dililit kain bekas sebagai pegangan. Tak ada ragu di wajahnya, hanya kelelahan yang tak lagi butuh alasan. Satu lirikan singkat ke arah Bayu di belakangnya, dan ia membuka pintu itu perlahan.

Udara malam menyeruak seperti embusan napas dari liang gelap. Dingin dan sunyi. Aroma tanah basah, hutan yang mengendap, dan sesuatu yang tak terlihat namun terasa menempel di tengkuk. Seperti mata yang mengintai dari semak tak bernama. Langit mendung, cahaya bulan terpotong awan. Tak ada suara burung malam. Bahkan jangkrik pun bungkam.

Satu langkah ia ambil ke luar. Disusul langkah kedua.

Dan saat itulah kematian menjemput.

Tak terdengar langkah. Tak ada bayangan. Hanya suara siulan tajam. Cepat, tak terlihat dan tiba-tiba panah menancap di dadanya. Sekejap tubuhnya terhuyung. Panah kedua menghantam bahunya. Lalu panah ketiga, seperti bisikan terakhir, menancap tepat di leher.

Ia tak sempat berteriak. Hanya mata yang membesar, tubuhnya jatuh menyamping, dan darah menyembur, menyapu lantai marmer depan pintu dengan semburat gelap dan panas. Suara tubuhnya membentur tanah seperti karung daging yang dilempar dari ketinggian.

Hening retak dalam sekejap. Suara jerit menyusul dari belakang. Seseorang menjerit, seorang finalis tersungkur ke lantai, dan yang lain mundur dengan napas tercekat. Reina berdiri membeku, matanya terpaku pada tubuh yang masih berkedut di luar pintu. Vanya langsung memeluk dirinya sendiri, menggigil. Bayu nyaris melangkah, tapi tangan Reina menahannya. Tidak dengan kekuatan, hanya dengan ketakutan yang terlalu nyata.

Dan tiba-tiba, suara itu datang.

Dari pengeras suara tua yang menggantung di sudut langit-langit lobi, muncul suara. Bukan suara manusia. Terlalu rusak, terlalu perlahan, seperti rekaman tua yang diputar mundur. “Jangan coba-coba kabur…”

Suaranya parau, mengendap di setiap telinga seperti racun yang mengalir lewat kata. Mereka semua terpaku, kepala menengadah, tubuh tak lagi tahu harus ke mana. Mata mereka saling mencari, berharap ini hanya ancaman kosong.

Langit-langit hotel terasa lebih rendah. Udara lebih tipis. Tak ada yang bernapas terlalu dalam. “Kalian ada di sini karena sesuatu. Setiap darah yang mengalir malam ini, setiap kepala yang terpenggal, setiap tubuh yang pecah, bukan kecelakaan. Semua itu… adalah akibat.”

Mata-mata mulai saling memandang. Tak ada yang bicara. Tapi satu demi satu, kecurigaan mulai tumbuh seperti benih busuk di tengah tanah basah.

“Seseorang di antara kalian menyimpan sesuatu. Sebuah dosa. Kesalahan besar. Dan selama ia diam... kalian akan jadi tumbalnya.”

Napas Vanya terhenti. Reina memejamkan mata. Suara itu merasuk seperti nyanyian neraka yang dihafal dari kehidupan lalu. “Ini bukan tempat pelatihan. Ini ruang penghakiman.”

Lalu hening.

Lihat selengkapnya