Dari sudut ruangan yang kusam, suara mendesis menyeruak tiba-tiba, seperti napas terakhir dari mesin yang telah lama mati. Semua orang tersentak. Tatapan mereka serempak tertuju pada sebuah televisi tua yang semula tertutup debu, kini menyala sendiri. Layarnya bergetar, warnanya kusam dan bergelombang, tapi cukup jelas untuk membuat seisi ruangan menahan napas.
Gambar pertama muncul. Seorang perempuan muda. Wajahnya cantik, cerah, dan penuh kehidupan. Ia mengenakan jas putih kedokteran, langkahnya sigap menyusuri lorong rumah sakit, membawa setumpuk buku dan map. Senyumnya tulus, ekspresinya cerdas. Dalam potongan-potongan rekaman selanjutnya, ia berdiri di ruang diskusi, bicara lantang dengan tangan terbuka, memimpin rapat organisasi kampus, menerima penghargaan, dan sesekali duduk sendiri dengan wajah lelah namun tetap anggun. Semuanya begitu hidup, bahkan terlalu hidup untuk ditayangkan dalam tempat yang penuh kematian seperti ini.
Kini, perempuan itu tampil di atas panggung megah. Gaunnya panjang, sorot lampu menyapu wajahnya. Ia melangkah mantap, menjawab pertanyaan dengan suara yang tenang, penuh percaya diri. Kamera berpindah cepat menampilkan detik-detik penuh haru saat mahkota diletakkan di kepalanya. Matanya berkaca-kaca, bibirnya bergetar menahan tangis bahagia. Di sampingnya, berdiri seorang pria tinggi, mengenakan setelan hitam. Wajahnya tenang, tangannya menggenggam jemari perempuan itu dengan lembut. Tak ada keraguan: itu Niko.
Suasana di ruangan berubah. Seolah udara mengental, merayap masuk ke rongga dada setiap orang dan memaksa mereka menahan napas. Detak jantung mereka tak serempak, tapi ketegangan terasa kolektif.
Lalu, nama itu terucap lirih dari salah satu peserta, nyaris seperti doa buruk yang tak ingin dikonfirmasi.
"Clarissa Ravindra..."
Hening menegang, lalu pecah.
“Itu… dia,” suara lain menyusul, gemetar, penuh ketakutan dan kemarahan. “Itu perempuan di foto. Yang barusan muncul di ruangan ini.”
Beberapa finalis berdiri gemetar. Panitia saling memandang, wajah mereka mengabur antara pucat dan ngeri. Tak butuh waktu lama hingga suara meledak dari berbagai arah seperti amarah, kebingungan, kepedihan.
“Jadi ini semua tentang dia?!” suara itu melengking.
“Kenapa kita tak tahu dari awal?! Kenapa semuanya tentang dia, tentang Clara?!”
Reina tak berpaling dari Niko. Matanya basah, tapi sorotnya tajam, penuh luka yang menuntut jawaban. Napasnya tersengal karena bukan hanya letih, tapi karena sesuatu yang patah dalam dirinya tak kunjung terjawab.
“Kau berdiri di sana, menyaksikan kami satu per satu mati. Dan kini semuanya terhubung… dengan dia. Dengan perempuan yang jelas-jelas kau cintai.”
Niko tetap tak berkata apa-apa. Wajahnya menegang, pandangannya terpaku pada layar yang kini mulai berpendar, kehilangan sinyal. Clara, perempuan yang dahulu berdiri dengan mahkota di atas kepala, kini menghilang ke balik bayangan hitam dan suara retakan listrik.
Dan di dalam ruangan gelap itu, tak seorang pun tahu harus melanjutkan ke mana. Yang mereka tahu hanya satu, yakni semua jawaban yang mereka cari bermula dari perempuan itu. Dan semua kematian yang mereka tangisi mungkin bukan sekadar kebetulan.
Satu persatu dari mereka, finalis yang masih hidup, panitia yang tersisa, bahkan para coach yang semula hanya menunduk dalam diam dan mulai menatap Niko dengan kebingungan yang tak bisa lagi mereka sembunyikan. Ruangan tua itu, dengan lampu temaram yang berkedip samar, seakan menahan napasnya sendiri. Udara menjadi berat, terlalu padat oleh ketegangan yang menumpuk sejak tadi.
Niko berdiri di sisi belakang ruangan. Tak ada satu pun dari mereka yang berani mendekat, namun tak satu pun juga mampu berpaling.
Bahunya naik turun pelan. Jemarinya mengepal. Helaan napasnya mulai terdengar, kasar, patah-patah. Lalu ia melangkah mundur, matanya tak terfokus seolah tak lagi benar-benar melihat siapa pun di sekelilingnya. Saat punggungnya menyentuh dinding, tubuhnya seperti kehilangan daya, namun masih ditahan amarah yang belum punya arah.