BEAUTY BLOOD

quinbbyyy
Chapter #18

Bayang-Bayang Menghantui

Suasana begitu sunyi hingga suara gesekan napas terdengar seperti lolongan. Tapi dari balik gelap, langkah cepat menyusup, lalu suara keras meledak seperti petir yang menghantam lantai. Dalam sekejap, tubuh Bayu tersungkur, dan Niko ada di atasnya—mata merah membara, tangannya mencengkeram kerah dengan brutal, bibirnya bergetar bukan karena takut, tapi karena amarah yang tak lagi bisa dibendung.

"LO, KAN?! SIALAN LO! LO YANG LAKUIN SEMUA INI!" teriaknya, lalu menghantamkan Bayu ke lantai dengan dorongan gila. "LO ADA DI SEMUA LOKASI MAYAT! LO ITU SETANNYA DI SINI ANJING!"

Bayu melawan, napas terputus-putus, lalu tinjunya menghantam rahang Niko, membuat pria itu terguncang, tapi tak mundur. “LO GILA, NIKO! GUA MATI-MATIAN NYELAMETIN MEREKA! DAN LO NUDUH GUA DALANGNYA?!”

Niko membalas pukulan. Suara benturan kulit dan tulang memenuhi ruangan. Beberapa orang menjerit, sebagian berdiri, bingung harus melerai atau ikut melampiaskan sisa panik yang tak punya wadah.

"Lo selalu deket bareng Clara, selalu menempel! Jangan pura-pura nggak tahu! LO SUKA KAN SAMA DIA!" raung Niko, suara penuh racun. Darah menetes dari bibirnya tapi ia tetap menyerang. "Lo iri, dan lo ambil semuanya dari gua! BANGSAT BABI"

Bayu menyeringai getir. “Dia milik lo, Niko. Tapi bukan berarti dia milik neraka lo juga. Jangan seret semua orang ke lubang tempat lo terkubur. JANGAN KARENA LO GAGAL MELINDUNGI ORANG YANG LO CINTAI, LO SALAHIN ORANG LAIN YA BABIII!”

Dorongan besar membuat Niko terlempar ke rak tua, menimbulkan debu beterbangan. Reina menarik tubuh Niko, mengguncangnya sambil berteriak, “BERHENTI! KALIAN! MAU KITA MATI DENGAN SALING MENGHABISI?!”

Tapi Niko tak lagi mendengar. Kepalanya tertunduk, bahunya naik turun, bukan karena lelah tapi karena luka itu kini benar-benar terbuka. Di sisi lain, Bayu menatap kosong ke lantai, napasnya berat, darah mengalir dari pelipis.

Dan di antara dua pria yang saling menyalahkan, ruangan dipenuhi sunyi aneh yang menggantung. Seolah ada yang menonton. Menanti. Mencatat setiap amarah mereka... sebagai bagian dari permainan yang jauh lebih kejam.

Reina berdiri di antara dua sosok yang nyaris kehilangan akal, tubuhnya menjadi pembatas satu-satunya antara kebencian yang siap meledak. Nafasnya berat, dada naik turun, tapi matanya tajam, menyala oleh campuran marah dan cemas. “Berhenti! Aku mohon, cukup!” teriaknya, suaranya pecah karena terlalu banyak beban yang ia pikul sendirian. “Kita sedang sekarat di tempat ini, dan kalian malah saling hancurkan? Ini bukan waktunya!”

Tapi kata-katanya seperti dilempar ke dalam kehampaan. Niko masih mendekap luka yang tak berdarah, tapi terasa menganga. Ia menunjuk Bayu dengan sorot yang membakar. “Lo tahu lebih dari yang lo bilang! Gua lihat cara lo sejak awal! Lo terlalu... bersih!” gumamnya dengan napas memburu, nyaris berdesis seperti binatang yang terpojok.

Bayu melangkah maju, wajahnya merah, rahang menggertak. “Lo pikir gua punya waktu buat nyusun pembantaian ini?! Gua berjuang nyelametin mereka satu-satu, tapi yang gua dapet malah tuduhan dari orang yang terlalu pengecut buat hadapi kenyataan bahwa tunangannya bukan satu-satunya korban!”

Niko menubruk lagi, dan Reina mendorong sekuat yang ia bisa, tubuhnya terhuyung, tapi ia tetap di tengah. “BERHENTI! KALIAN GILA?!” teriaknya, tangis menekan suaranya dari dalam dada. “Kita dikurung, diburu, teman-teman kita dipotong-potong dan kalian pikir saling tonjok bisa bawa kita keluar dari sini?!”

Namun keduanya tak lagi waras. Kalimat-kalimat penuh kemarahan meledak seperti peluru. Sorot mata yang menyimpan trauma, suara yang tak lagi peduli pada logika. Mereka saling membakar, saling tuduh, saling telanjangi luka yang paling dalam. Semua karena mereka sudah kehilangan segalanya, termasuk kontrol atas diri sendiri.

Di sekeliling mereka, para finalis dan panitia hanya bisa mematung. Vanya menutup telinganya, gemetar sambil menunduk. Adelina terisak tanpa suara. Seseorang memukul dinding, bukan karena marah, tapi karena frustasi melihat segalanya perlahan meleleh menjadi kekacauan tanpa bentuk.

“Aku muak…” gumam salah satu panitia. “Ini neraka…”

Dan benar. Ini bukan lagi pertengkaran. Ini adalah letusan dari jiwa-jiwa yang sudah digerogoti ketakutan terlalu lama. Dan dalam keributan itu, di balik dinding berjamur dan kegelapan yang tak menyisakan ruang harapan, terdengar suara samar seperti tawa yang rendah, pelan, nyaris seperti bisikan.

Bukan berasal dari mulut siapa pun yang ada di sana. Tapi cukup untuk membuat kulit siapa pun merinding. Karena jelas, ada yang menikmati pertunjukan ini. Dan ia belum selesai.

***

Niko dan Bayu kembali saling terjang, tubuh mereka saling banting dalam amukan yang tak bisa dibendung. Nafas mereka memburu, teriakan dan umpatan tumpah ruah, membelah udara yang sudah lama pengap oleh kematian dan kegilaan. Tubuh mereka saling menghantam dinding dan lantai, sementara tangan-tangan yang mencoba melerai hanya tersingkir seperti debu tak berguna. Tidak ada lagi nalar, hanya amarah yang mendidih, membakar logika yang tersisa.

Namun dalam kekacauan itu, tak satu pun dari mereka sadar bahwa bahaya sesungguhnya tidak datang dari depan

Dari atas, dari kegelapan plafon yang sudah retak dan bolong muncul sesuatu. Sebatang logam panjang melengkung, seperti kail pemancingan raksasa, meluncur perlahan ke bawah, tak bersuara, nyaris tak terlihat. Hingga…

CEKRAK!

Seketika kail itu mencengkeram kerah belakang baju Vanya. Tak ada waktu untuk berpikir. Dalam hitungan detik, tubuh Vanya terangkat ke udara, ditarik ke atas dengan paksa seperti binatang buruan yang diseret ke dalam perangkap.

“AAAAAARGHHHH!!!”

Teriakan Vanya menghantam seluruh ruangan. Semua orang mendongak secara serempak, ngeri membatu. Vanya menggantung sangat tinggi, melayang-layang dengan tubuh mencakar udara, kakinya mengayun liar, matanya melebar oleh teror murni. Ia mencoba meraih ke bawah, tangannya menggapai kosong, sementara tubuhnya terus tergantung di ujung besi yang kini bergetar, seperti dikendalikan sesuatu dari balik langit-langit gelap.

“REINA!! TOLONG AKU!!!”

Jeritannya melengking, mengguncang tulang-tulang mereka yang menyaksikan. Reina berdiri kaku, wajahnya seputih kain kafan, matanya membelalak tak percaya. “VANYA?! VANYA TURUN! JANGAN AMBIL DIA!”

Pertikaian Niko dan Bayu terhenti. Semua beku. Mata mereka tertuju ke atas, ke satu titik di mana kenyataan terasa seperti mimpi buruk yang terlalu nyata. Tak ada yang bergerak cukup cepat. Tak ada yang bisa menjangkau. Panitia hanya bisa terpaku, satu dua mencoba menyeret meja dan rak, tapi tak satu pun tinggi cukup.

Vanya terus menjerit, suara tangisnya memecah, bercampur antara takut, sakit, dan kesadaran bahwa dirinya… sedang dibawa pergi oleh sesuatu yang tak mereka pahami.

“Aku nggak mau mati… Reina! TOLONG!!”

Logam itu mulai berayun, lebih tinggi. Nafas Vanya tersendat. Tubuhnya bergetar hebat. Dan semua hanya bisa melihat.

Jeritan Vanya masih melengking dari atas, memecah udara yang sudah berat oleh ketakutan. Tubuhnya tergantung tinggi di langit-langit, digantung oleh seutas besi melengkung yang mencengkeram leher bajunya seperti cakar tajam. Kakinya mengayun, tubuhnya bergetar, dan dari bawah, semua hanya bisa menyaksikan—tak mampu berbuat apa-apa.

“Reina! Aku nggak mau mati! Tolong aku!”

Tangis dan jeritannya menusuk. Reina berdiri mematung di bawahnya, matanya membelalak, napas memburu, tangan terulur tanpa bisa menjangkau. Di sekelilingnya, panitia dan finalis berhamburan, mencari tangga, bangku, apapun untuk menolong. Tapi langit-langit itu terlalu tinggi. Jauh dari jangkauan manusia biasa.

Dan saat mereka mendongak bersama, barulah mereka melihat kenyataan yang lebih mengerikan. Kail yang menggantung Vanya bukan sekadar pengait. Di atasnya, ada sistem jebakan dengan seutas kawat halus yang menjulur dari kail ke arah tuas logam yang menopang botol kaca bening. Isinya mengkilap dan lengket. Minyak tanah.

Di bawah botol itu, sudah terpasang pemantik api. Terbuka. Menunggu.

“Jangan tarik dia!” salah satu panitia berteriak, suaranya parau dan gemetar. “Kalau kita tarik… tuas itu ketarik. Maka api akan menyebar dan kita semua terbakar!”

Lihat selengkapnya