Lobby hotel itu tetap diam, seperti jantung raksasa yang berhenti berdetak. Lampu gantung di atas kepala mereka bergoyang perlahan, tanpa alasan yang jelas, menebarkan cahaya kekuningan yang semakin memperjelas kehancuran di sekitar. Potongan kursi yang hangus, lantai marmer berlumur noda tua, dan udara yang terlalu sunyi untuk dianggap normal.
Mereka semua telah duduk. Tak satu pun berbicara.
Reina menunduk, kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan. Di sebelahnya, Adelina masih bergetar, air matanya diam-diam jatuh satu per satu tanpa suara. Bayu mendongak sesekali ke arah pintu, lalu kembali memejamkan mata, seolah tak ingin melihat dunia lagi. Dua panitia pria duduk di lantai dekat pilar, tubuh mereka lunglai, punggung mereka bersandar pasrah.
Niko masih di lantai, matanya terbuka namun kosong, menatap lurus ke depan, entah melihat atau tidak. Lalu terdengar suara itu. Halus, tapi cukup untuk memecah sunyi.
Langkah. Lambat. Berat.
Satu langkah menyeret, satu langkah menapak.
Reina menegakkan tubuh, menatap ke arah lorong gelap di belakang meja resepsionis. Di sanalah suara itu berasal. Tapi saat ia berdiri, jantungnya mencelos dan matanya menangkap sesuatu dari arah berlawanan.
Di sisi lain, tepat di ambang pintu lobby, pintu utama tempat mereka dulu masuk pertama kali ke resort ini sebuah bayangan berdiri. Tubuhnya tinggi, tegak, tapi tak menampakkan wajah. Hanya siluet gelap menempel pada cahaya yang semakin redup di luar. Tidak bergerak. Tidak bernapas. Hanya diam dan mengawasi.
Reina hendak membuka mulut, tapi suara lain menyusul.
Langkah kedua, tapi bukan dari arah yang sama.
Kali ini dari belakang, dari lorong sempit di sisi lift yang sudah tidak berfungsi, tempat mereka menumpuk koper saat hari pertama datang. Ia menoleh pelan. Dan di sana terpampang jelas di balik gelap, bayangan kedua berdiri. Sama gelapnya. Sama diamnya.
Dua titik. Dua arah. Dua sosok.
Mereka tidak bergerak. Tapi napas seluruh ruangan mulai tak teratur. Udara mendadak menjadi lebih padat, lebih tajam, seperti ada dinding tak terlihat yang menekan dari segala penjuru.
Adelina mencengkeram tangan Reina. “Itu... dua?”
Reina tak menjawab. Ia tak sanggup. Bayu berdiri pelan, tubuhnya kaku, matanya tak lepas dari bayangan di pintu. Kedua panitia merapat ke dinding, insting bertahan mereka perlahan bangkit di tengah ketakutan.
Niko masih duduk. Tapi kini matanya kembali menyala. Seperti mengenali. Seperti tahu apa yang berdiri di depan dan di belakang mereka.
Bayangan itu tidak mendekat.
Belum.
Tapi kehadirannya cukup untuk membuat satu kesimpulan mengendap di benak mereka semua. Apa pun yang telah terjadi sebelumnya, belum selesai. Dan apa pun yang sedang menunggu mereka malam ini,
tidak akan membiarkan siapa pun keluar hidup-hidup begitu saja.
Bayangan itu masih berdiri. Dua titik. Dua arah. Diam. Tak bernapas. Tapi seolah hidup. Mengawasi. Menggoda rasa takut terdalam.
Niko berdiri. Tangannya mengepal. Matanya menyala tajam, dan tubuhnya perlahan bergerak maju, mendekati sosok yang berdiri di ambang pintu utama lobby. Setiap langkahnya berat, tapi penuh niat. Di sisi lain, Bayu bergerak cepat ke arah berlawanan, mendekati bayangan kedua yang berdiri diam di lorong gelap dekat lift mati.
“Kita selesaikan ini sekarang,” desis Bayu, napasnya berat, tangan menggenggam pecahan besi tajam yang entah sejak kapan ia bawa.
“Jangan pikir kalian bisa bersembunyi selamanya,” gumam Niko, langkahnya makin cepat. Reina melihat keduanya. Jantungnya membentur tulang rusuk saat menyadari keduanya hendak menyerang masing-masing bayangan dari dua arah. Terlalu nekat. Terlalu terburu-buru. “Niko! Bayu! Jangan!”
Tapi mereka tak mendengar. Mereka terlalu jauh. Terlalu dalam dalam dorongan amarah yang tak pernah reda. Dan tepat saat Niko mengangkat lengannya, suara listrik menyala.
TZZZK!
Suara keras dari sudut lobby memecah semua fokus. Layar informasi di atas meja resepsionis menyala sendiri, mendesis seperti benda tua yang dipaksa hidup kembali. Warna biru bergelombang memenuhi layar, seperti ombak gangguan yang menyeret mereka ke arah yang berbeda. Semua kepala menoleh.
Termasuk Niko dan Bayu. Gerakan mereka terhenti.
Mereka menatap layar itu, seolah ada magnet tak terlihat yang menarik perhatian. Hanya butuh satu detik untuk memecah fokus mereka dan ketika keduanya kembali menoleh ke arah semula.
Bayangan itu telah menghilang.
Tak ada suara. Tak ada gerakan. Hanya ruang kosong yang kini terasa jauh lebih menakutkan karena sesuatu yang seharusnya ada… tidak lagi di sana.
“Kemana mereka…?” gumam Bayu, setengah berbisik.
Niko masih diam. Tatapannya menajam, rahangnya mengeras. Tapi kini ia perlahan kembali ke tengah lobby, bergabung dengan yang lain yang sudah terpaku menatap layar informasi
Dan saat semua mata kembali tertuju, rekaman itu mulai berjalan.
Sudut pengambilan tinggi dari kamera CCTV, menyorot sebuah ruang rapat bergaya kolonial dengan satu sofa panjang dan jendela besar di belakang. Di tengahnya, sosok pria yang sangat familiar, Danu tampak berdiri sambil menerima amplop cokelat dari seorang pria berjas mewah. Senyumnya tipis, ekspresinya ragu namun akhirnya menerima amplop itu dan menyelipkannya ke dalam map kerja.
Ruangan di lobby membeku. Bahkan napas pun enggan terdengar.
Beberapa detik kemudian, pintu ruangan dalam rekaman terbuka keras. Sosok perempuan muncul, berjalan cepat, langkahnya penuh amarah. Rambutnya terurai cantik dengan mahkota di kepalanya, sorot matanya tegas dan membakar.
Tanpa ragu, ia menunjuk Danu, lalu ke amplop, kemudian mengarahkan jari ke pria tua di depannya. Mulutnya bergerak cepat, emosional. Tidak terdengar apa pun, namun satu kalimat yang jelas terbaca dari bibirnya seolah menghantam seluruh isi ruangan: