Tangga darurat itu seakan tak pernah berakhir. Setiap langkah terasa berat, bukan hanya oleh kelelahan fisik, tapi oleh beban mental yang tak kasat mata. Mereka berjalan seperti hantu dengan tatapan kosong, napas pendek-pendek, dan kaki yang terseret pelan karena tak lagi punya daya.
Derit logam tangga, hembusan angin dari ventilasi rusak, dan bunyi tapak kaki mereka menciptakan simfoni sunyi yang memekakkan. Tak ada yang berani bersuara. Seakan jika satu kata saja diucapkan, semuanya akan runtuh, termasuk kewarasan.
Sesampainya di lantai kamar para finalis, lorong itu menyambut mereka dengan kegelapan dan hawa kematian yang menyesakkan dada. Lampu neon tua di langit-langit berkedip tak teratur, menampilkan bayang-bayang samar di dinding yang seolah bergerak sendiri. Aroma busuk dari darah, daging membusuk, dan udara lembap menyergap mereka.
Dan di sana, tepat di depan pintu kamar Reina. Celia masih tergantung.
Kepalanya, masih tertancap pada ujung besi pintu, membatu dalam ekspresi kematian yang paling kejam. Matanya menatap kosong ke arah lorong, seolah menjadi saksi bisu dari semua yang tak sempat ia ceritakan. Lehernya koyak, darahnya menghitam di sepanjang daun pintu dan lantai sekitarnya. Rambut panjangnya menjuntai, menyatu dengan kegelapan malam yang menyelimuti tempat itu.
Reina tersentak. Nafasnya tercekat, dadanya seperti tertusuk dari dalam. Kakinya lunglai, dan ia bersandar pada tembok agar tidak jatuh. “Ya Tuhan…” bisiknya lirih, suara yang bahkan dirinya sendiri hampir tak dengar.
Adelina tak kuasa menahan isak. Ia membekap mulutnya dengan tangan gemetar, air matanya mengalir deras, tak terbendung. Salah satu panitia menoleh menjauh, tubuhnya tampak oleng seperti hendak muntah. Yang lain hanya berdiri kaku, wajahnya pucat pasi.
“Dia masih di sini…” gumam Reina akhirnya, nyaris seperti gumaman kerasukan. “Celia… dia masih di sini…”
Adelina meraih Reina dan memeluknya erat. “Kita nggak boleh lama-lama di sini. Maaf, Celia… maaf banget…” katanya dengan suara pecah. Mereka pun perlahan melangkah melewati pintu itu. Melewati kepala sahabat mereka yang kini hanyalah sisa dari tragedi yang terus menelan korban.
Begitu masuk ke dalam kamar, suasana tak kalah menyayat. Seprai yang dulu mereka gunakan tidur kini kotor berlumuran darah kering. Makeup berserakan. Beberapa barang pribadi masih tertata rapi seolah penghuninya baru keluar sebentar. Tapi kenyataan menghantam keras, tak akan ada yang kembali ke kamar ini sebagai manusia yang sama. Bahkan beberapa di antaranya, tak akan pernah kembali sama sekali.
Reina menunduk, memungut botol parfum milik Adelina yang masih utuh di meja rias. Tangannya bergetar saat menyentuhnya. “Aku ingat… dia selalu semprot ini sebelum tidur. Katanya biar mimpinya wangi,” gumamnya, tak tahu bicara pada siapa.
Dua panitia mulai mengumpulkan kabel dari pengering rambut, dan mencari logam kecil dari gantungan baju patah serta rel laci meja rusak. Salah satu dari mereka menemukan cairan pembersih di bawah wastafel, disimpan bersama sikat toilet dan kain pel berjamur.
“Kita punya cukup untuk mencoba, setidaknya mencoba,” kata salah satu panitia.
Reina masih terdiam. Pandangannya tertuju ke tempat tidur Vanya, Elya, dan dirinya sendiri. Terbayang malam-malam awal kontes saat mereka tertawa, bergosip soal Niko dan Bayu, saling bantu merias, dan saling bisikkan harapan. Semua itu kini seperti mimpi pahit yang direnggut paksa oleh kenyataan.
“Aku kangen mereka…” bisik Reina. Adelina menoleh, ikut menatap tempat tidur itu. “Aku juga… kangen banget…” Tak ada yang bicara lebih lanjut. Mereka hanya tahu mereka harus keluar. Harus tetap hidup. Dan untuk itu, mereka memungut seprai, kabel, botol kaca, logam patah, dan harapan sekecil apa pun.
Saat keluar kembali, Reina berhenti di depan pintu. Ia menatap wajah Celia yang membeku dalam kematian. Ia membuka mulut, suaranya hampir tak terdengar. “Celia… aku janji, kami akan cari tahu siapa yang lakukan semua ini. Kami akan lawan mereka. Dan kami… akan bertahan.”
Air matanya jatuh, membasahi pipinya. Adelina menggenggam tangannya, dan mereka pun menuruni tangga bersama, meninggalkan lorong itu… tapi tidak kenangan, tidak trauma.
Dan di belakang mereka, kepala Celia tetap menatap kosong dengan sunyi, sepeti penanda bisu akan tragedi yang belum selesai.
***
Lorong hotel kembali sunyi ketika mereka meninggalkan kamar Reina. Bau kematian menggantung di udara, menyatu dalam debu dan kenangan buruk yang tak ingin dikenang. Di belakang mereka, mayat Celia masih tergantung kaku di pintu seolah menjadi penanda bahwa kejahatan tak pernah benar-benar pergi.
Tanpa suara, mereka berjalan menuju dua ruangan yang mungkin memberi harapan tipis yakni ruang kebersihan dan ruang keamanan. Langkah kaki terdengar lambat dan berat, bergema panjang di koridor yang dingin dan gelap. Lampu-lampu gantung berayun pelan, seolah diayun angin dari neraka. Setiap suara menjadi ancaman, setiap bayangan menyimpan kemungkinan kematian.
Pintu ruang kebersihan berderit saat dibuka. Aroma menyengat langsung menyerbu, campuran cairan pembersih, kain pel dan kelembaban. Rak-raknya penuh botol plastik dengan label yang nyaris tak terbaca. Adelina menyisir barisan botol, matanya tajam. Ia menemukan beberapa botol dengan isi masih penuh.
Namun di balik tumpukan karton tua, Reina menemukan dua botol berlabel kuning yang masih utuh, bersih, belum dibuka, dan masih jauh dari tanggal kedaluwarsa. “Yang ini bisa bereaksi lebih kuat,” gumam Reina lirih, matanya berbinar untuk pertama kali dalam waktu yang lama.
“Simpen semuanya,” ujar Bayu pendek. “Kita nggak tahu yang mana yang paling berguna.” Mereka mengemas cairan-cairan itu bersama beberapa kain berserat tinggi, tabung semprot bekas disinfektan, dan kawat logam berkarat. Setiap benda mereka anggap senjata, alat bertahan hidup apa pun yang bisa digunakan untuk melawan siapa pun yang menjebak mereka.
Lalu mereka menuju ruang keamanan. Pintu baja itu terbuka sedikit, seolah menanti. Dalam ruangan sempit itu, cahaya dari senter memantul pada kaca monitor yang mati dan rak-rak berdebu. Kursi pengawas tergeletak miring, bekas darah kering menghitam di lengan sandarannya. Heningnya ruangan lebih menusuk daripada suara teriakan.
Reina mengais kabel, kawat, dan baut besar dari bawah meja. Salah satu panitia menemukan senter kecil yang masih menyala, serta dua tabung semprot api manual.
“Cukup untuk satu ledakan kecil,” bisik Adelina, memandangi barang-barang itu. Reina merogoh saku celana hendak mengeluarkan korek api yang sejak tadi masih ia simpan. Sinar biru-oranye dari percikan api singkat menyinari wajah mereka semua.
Tak ada senyum. Tak ada ucapan lega. Hanya ketegangan yang makin menumpuk. Tapi di mata mereka, api kecil itu adalah semacam harapan bahwa mereka belum sepenuhnya dikalahkan.
Ruang keamanan terasa seperti napas terakhir harapan yang masih tersisa namun sunyi dan tak menjanjikan. Lemari logam terbuka lebar, kosong, hanya menyisakan debu yang menempel tebal di tiap sudut. Laci-laci dibuka dengan kasar, namun tidak terdapat senjata, yang tersisa hanya alat bantu. Seolah seseorang telah datang lebih dulu, dengan niat yang sangat pasti: membuat mereka tidak punya pertahanan.
Niko berdiri diam, tangannya mengepal. “Ini seharusnya banyak alat pengamanan. Dulu penuh alat kejut, baton baja, bahkan senjata api ringan,” gumamnya lirih, kecewa. “Semuanya hilang.”
Bayu mendesis, menendang lemari kosong di dekatnya hingga menimbulkan suara dentang nyaring. “Mereka tidak hanya ingin kita terkunci, tapi juga lumpuh.”
Salah satu panitia, wajahnya kusut dan bajunya penuh noda, menyandarkan tubuh ke dinding. “Senjata itu pasti sudah diambil. Entah oleh Danu atau orang lain yang masih bergerak di balik semua ini.”
Reina, yang sejak tadi menahan diri, kini melangkah maju. “Kita rakit saja bom kecil. Kita punya sisa parfum Adelina, ada cairan pembersih yang kami temukan di ruang kebersihan dan masa kedaluwarsanya masih lama, kandungannya masih kuat.”