Langkah mereka berat. Sepatu penuh lumpur, sebagian bahkan tanpa alas kaki. Tubuh penuh luka dan noda darah kering, pakaian koyak seperti sisa perang zaman Majapahit. Reina dan yang lainnya tampak seperti rombongan figuran film horor yang kabur dari lokasi syuting karena kru-nya hilang semua.
Udara malam di komplek elite itu tenang, terlalu tenang, hingga napas berat mereka menggema di antara rumah-rumah besar. Tak ada lampu jalan, hanya cahaya remang dari lampu taman yang membuat penampakan mereka makin mistis.
“Kalau ada warga keluar rumah sekarang,” bisik Adelina pelan, “kita bakal dikira hantu bareng.”
Bayu tak menjawab. Matanya kosong. Ia bahkan melangkah sambil menggendong gulungan kabel seperti bawa anak kucing.
Di ujung blok, tepat di depan rumah megah berpagar tinggi, dua sosok tengah jongkok mencurigakan. Satu pakai hoodie kebesaran dan helm ojek online, satu lagi jaketan jeans tapi celananya sarung. Klasik. Keduanya tengah serius membongkar panel kunci otomatis gerbang dengan obeng plus dan... sendok nasi.
“Ini rumah siapa, bro?” bisik si maling helm.
“Katanya rumah konglomerat. Gua dengar dari grup WA RT, pas lebaran ngasih THR dua ratus ribu per kepala,” sahut temannya sambil mengintip ke dalam.
Dan saat itulah mereka melihat rombongan Reina muncul dari tikungan. Enam makhluk, tubuhnya kotor, rambut awut-awutan, jalan tertatih seperti mayat hidup dari dunia gelap. Cahaya remang membuat siluet mereka menyeramkan. Bahkan Adelina terseret bayangan kabel panjang yang melilit seperti ular.
“AH, ZOMBIE!” jerit si maling helm. Helmnya langsung copot karena kelonggaran dan mental ke pot bunga.
“BRO, GUA LIAT DARAH DI MULUT MEREKA! BROOO!! AAARGH!!!” teriak yang satu lagi, saking paniknya lari ke arah pagar dan nyangkut di tiang gerbang, menggeliat seperti ikan asin dilempar ke kawat jemuran.
Keributan itu cukup memicu gerakan alarm alami seorang satpam yang tertidur di pos jaga. Pria paruh baya itu keluar sambil membawa senter yang lebih cocok untuk konser rock daripada patroli. Satu lagi satpam muda menyusul, masih menyumpal kemeja ke dalam celana.
“ADA APA INI?!” bentak si satpam tua.
“ZOMBIEEE!! MEREKA!!” tuding si maling sembari bersujud, helmnya terlempar entah kemana.
Si satpam menyorotkan senter ke arah Reina, dkk. Tatapannya langsung berubah bingung, lalu waswas antara ingin kabur atau menelpon Ustaz Deri dari blok B5.
Enam orang berdiri diam tak bersuara, seperti patung lilin setelah blackout. Mata mereka kosong. Napas berat. Bau badan bercampur darah.
“Ya Allah… ini rombongan penghuni rumah sebelah..?” gumam satpam muda.
Niko, yang masih berdiri di tengah, akhirnya bicara. Suaranya serak. “Kami… butuh bantuan.”
Reina tiba-tiba batuk darah kering. Satpam tua mundur pelan-pelan. “Mereka kerasukan, Mas,” bisik satpam muda sambil merapat ke belakang tiang.
“Gua nggak tandatangan kontrak buat kayak gini…”
Si maling yang masih jongkok terisak. “Pak, saya cuma mau nyolong... Saya salah... Saya tobat… asal jangan diseret sama zombie-zombie ini!”
Akhirnya, dua maling digiring ke mobil patroli. Rombongan Reina, dkk. Juga ikut. Bukan karena mencurigakan, tapi karena satpam takut meninggalkan mereka begitu saja.
Dalam perjalanan ke kantor polisi, suasana hening. Sampai salah satu maling berbisik ke temannya, “Bro, kita maling kelas teri, tapi malam ini kita seangkot sama hantu kelas kakap.”
Yang satu lagi menjawab, “Bro, demi Tuhan, kalo kita selamat, gua nyumbang masjid tiap Jumat.”
Reina hanya bersandar di pintu mobil, menatap langit gelap yang masih memeluk kisah berdarah mereka. Ia menghela napas. Tapi dari sudut bibirnya yang retak, tersungging senyum getir.
Setidaknya mereka hidup. Untuk sekarang.
Mobil patroli itu melaju pelan menyusuri kompleks, penuh sesak dengan dua maling yang masih syok dan enam manusia setengah zombie, bukan karena gigitan, tapi karena trauma dan lelah luar biasa. Di barisan belakang, kedua maling masih saling pandang, napas belum stabil.
“Eh, Bro… lo liat gak tadi? Itu cewek yang nangis-nangis terus tapi mukanya… glowing,” bisik si maling yang berkemeja flanel sambil lirak-lirik ke arah Reina.
Temannya yang duduk sambil memeluk helm, ikut melirik. “Buset, iya… padahal bajunya kayak hasil cakar-cakaran sama kucing jalanan, tapi mukanya kayak iklan serum. Licin!”
Si flanel makin penasaran. “Gue curiga mereka bukan manusia biasa. Ini zombie-zombie beauty vlogger. Udah kena ledakan, nginjek mayat, tapi pori-pori tetep kecil!”
Maling helm manggut-manggut serius. “Lo liat yang cowok juga? Itu yang diem doang, rambut udah kayak disiram oli bekas, tapi aura sultan masih nempel. Ini mah zombie-zombie K-pop.”
Mereka sempat nyengir-nyengir sendiri. Lalu dengan polosnya si helm nyeletuk, “Coba tanya deh, Mbak pakai essence apa ya? Bisa glowing gitu padahal abis nerobos neraka.”
Baru dia mau buka mulut lagi, Reina melirik sekilas dengan mata sayu, sembab, dengan tatapan yang bisa ngebekuin niat maling veteran. Seketika mulut si maling langsung mingkem, telan ludah, dan pelan-pelan elus-elus helmnya seperti menenangkan diri.
Dari kursi depan, satpam mendelik lewat kaca spion. “Eh, kalian ini maling apa tim penilai Miss Universe? Kagak nyangka ketangkep bukan gara-gara maling, tapi sibuk ngomentarin skincare korban.”
Satpam satunya lagi ikut nyeletuk. “Mereka baru lolos dari pembantaian massal, kalian yang abis loncat pagar aja udah megap-megap. Mending diem.”
Sementara itu, di tengah keheningan yang penuh luka dan bau anyir, rombongan Reina cuma terdiam lemas. Tidak menjawab, tidak peduli. Tapi salah satu dari mereka nyaris tertawa. Atau mungkin itu cuma suara batuk kelelahan. Sulit dibedakan saat semua udah kayak kerupuk disiram kuah rendang.
Dan mobil itu pun meluncur menuju kantor polisi, dengan muatan absurd: dua maling norak, enam penyintas tragedi berdarah.
***
Pukul satu dini hari.
Kantor polisi sektor pinggiran kota yang biasanya senyap, malam itu tetap dalam suasana yang senyap dan malas. Lampu neon menyala setengah redup, sebagian berkedip lambat seperti memberi isyarat dunia belum siap bangun. Di balik meja penerima tamu, seorang petugas berseragam lengkap tertidur dengan sangat niat dalam keadaan mulut terbuka, kepala miring, dan suara ngoroknya berirama seperti sirene ambulans rusak. Tangannya masih memegang bolpoin, seolah sedang mengisi laporan mimpi.
Di pojok ruangan, satu petugas lainnya duduk serius menatap layar komputer. Matanya nyaris tak berkedip, ekspresinya tegang... tapi bukan karena data kriminal. Di layar tertangkap tab browser terbuka bertuliskan “Live Score Liga Champions” dan satu jendela kecil berisi YouTube dengan judul “10 Misteri Terseram di Dunia”.
Di dekat jendela, satu lagi petugas bersandar santai, main game di ponsel. Suara ting ting dari permainannya cukup nyaring, dan jari-jarinya lincah seperti sedang berlatih piano. Ia sesekali tertawa kecil sendiri. Entah karena menang atau baru dapet skin baru.
Semua terpecah saat pintu utama dibuka paksa.
BRAK!
Dua satpam kompleks perumahan masuk terburu-buru, menyeret dua maling yang wajahnya sudah seperti kucing habis diguyur air. Di belakang mereka, muncul barisan Reina, Adelina, Bayu, Niko, dan dua panitia lainnya. Semua dalam keadaan seperti zombie, jalan sempoyongan, muka pucat, baju robek, darah di mana-mana.
Petugas yang main HP melotot. “Anjay... ini kalian habis jadi korban pengeroyokan?”
Yang tidur langsung terbangun. “Astagfirullah! Gelut subuh-subuh?!”
Petugas komputer yang paling tenang justru berdiri dan menghela napas. “Tolong jangan bilang ada cerita konspirasi lagi…”