Kau pergi, meninggalkan langit tanpa janji,
sementara aku masih di bumi yang retak ini.
Mengumpulkan puing harapan yang tak lagi utuh,
berjalan dalam dunia yang kehilangan cahaya.
Setiap malam kupanggil tanpa suara,
menyusuri ruang-ruang kosong yang dulu kau isi.
Rinduku bukan sekadar ingatan,
tapi luka yang menolak sembuh, tetap basah meski waktu berlalu.
Jika rindu ini bisa menjelma jembatan,
aku akan menyeberang meski tak ada jalan kembali.
Namun aku tinggal di antara detak dan hampa,
menunggu pagi yang tak kunjung membawa pulang bayangmu.
***
Langit tampak sendu saat mobil berwarna hitam legam berhenti perlahan di depan gerbang sebuah pemakaman elite. Udara pagi masih sejuk, namun tak cukup untuk menenangkan kegelisahan hati yang ikut turun bersama langkah kaki Nicholas Raynard dan kedua orang tuanya. Di sekeliling, pepohonan rindang berjajar tenang, dedaunan bergoyang pelan diterpa angin, menciptakan suara gemerisik yang menenangkan, namun terasa begitu kontras dengan gejolak di dada Niko.
Peti jenazah sudah tak ada. Yang tersisa hanya sepetak tanah teduh, nisan sederhana dari batu marmer putih, bertuliskan nama mendiang, tanggal lahir, dan wafat. Di atas pusara yang masih baru itu, bunga tabur telah layu sebagian, namun wanginya masih tertinggal samar di udara. Tanah merah masih tampak gembur, menyiratkan betapa perpisahan ini belum lama terjadi.
Di atas pusara, terhampar selembar sajadah lusuh. Sebuah Al-Qur'an kecil tergeletak di sampingnya, mungkin peninggalan dari seseorang yang tadi berziarah. Dua batu nisan menandai kepala dan kaki makam, sesuai tradisi Islam. Tak ada patung atau ukiran mewah. Hanya kesederhanaan yang dalam diamnya berbicara tentang kepulangan yang suci.
Niko berdiri terpaku. Suaranya tercekat, tak ada kata yang sanggup ia ucapkan. Hanya matanya yang bicara, menumpahkan apa yang tak pernah sempat ia sampaikan. Ia berjongkok perlahan, menggenggam bunga melati yang sempat dibawanya, dan meletakkannya di atas makam.
“Izinkan aku tetap rindu…” bisiknya nyaris tak terdengar, tenggorokannya tercekat.
Ibunya menepuk bahu dengan lembut. Ayahnya berdiri di belakang, menunduk, memberi waktu. Tak ada doa panjang dari Niko, hanya lirih istighfar dan lirih nama yang hanya bisa ia panggil dalam hati. Ia tak ingin menangis, namun air mata menetes juga, jatuh ke tanah yang kini memisahkan dunia mereka.
Burung-burung kecil beterbangan rendah, seolah ikut mendoakan. Cahaya matahari mulai menembus sela daun, membuat pusara itu sejenak disinari hangat, seperti salam terakhir dari langit.
Niko berjongkok lebih dalam, lututnya menyentuh tanah yang masih hangat oleh pagi. Kedua tangannya menggenggam erat sisi nisan, seakan dari batu itu, ia bisa menjangkau tangan yang telah lama membeku di balik tanah.
“Maaf…” suaranya pecah, bergetar seperti angin yang kehilangan arah. “Maaf aku gagal…” Air matanya mengalir deras, membasahi pipi yang biasanya selalu tenang dalam sorotan kamera dan rapat-rapat penting. Hari ini, tidak ada CEO. Tidak ada jabatan. Tidak ada status. Yang tersisa hanya seorang pria yang ditinggal cintanya dan terlambat melindunginya.
“Aku janji akan buat acara ini jadi aman… aku percaya sama orang-orangku,” gumamnya sambil mengusap nisan, “tapi ternyata orang yang paling kupercaya... yang paling kuandalkan... dia yang ngambil kamu dari aku.”
Ia terisak. Tubuhnya gemetar menahan sesal.
“Danu… aku serahkan semua padanya. Aku pikir dia bisa jaga semuanya. Tapi justru kamu yang dia rebut, Clara… Kamu, yang seharusnya hidup bahagia, bersamaku.”
Angin berhembus pelan, menyibak helai rambutnya. Niko mengangkat wajahnya sedikit, menatap langit yang tertutup awan tipis.
“Aku masih ingat semua... tawa kamu, cara kamu marah kalau aku lupa makan, cara kamu selalu semangatin aku waktu kerja rodi demi perusahaan. Tapi sekarang... semua itu tinggal gema.” Ia menarik napas panjang, mencoba menguatkan diri, tapi air matanya terus jatuh.
“Aku tahu kamu udah damai sekarang. Tapi aku masih di sini. Masih berdiri di antara luka yang belum sembuh. Dunia terasa kosong, Clara. Sejak kamu pergi… aku bukan siapa-siapa.” Ibunya menahan tangis di belakang, sementara ayahnya hanya bisa menunduk dalam diam.
Niko meraih bunga melati yang tadi ia letakkan, menggenggamnya erat, lalu menaruh kembali di atas pusara. “Kalau kamu bisa dengar aku... tolong, maafkan aku,” katanya lirih. “Karena aku nggak ada di sana... karena aku nggak nyelamatin kamu.”
Udara pagi semakin sunyi, dan hanya suara isaknya yang terdengar di sela semilir angin. Ia tetap di sana cukup lama, membiarkan waktu berhenti bersamanya. Di hadapan pusara yang tak berkata, tapi menyimpan sejuta cerita, penyesalan, dan cinta yang tak selesai.
Langkah kaki Niko terasa berat saat ia akhirnya berdiri. Matanya masih sembab, tetapi sorotnya mulai mengeras, seolah ia hendak menguatkan kembali dirinya. Ayah dan ibunya mendekat, menepuk pelan punggungnya, lalu bersiap berjalan menuju mobil yang terparkir tak jauh dari pintu gerbang pemakaman.
Namun sebelum mereka sempat melangkah jauh, sebuah suara pelan namun dalam menghentikan langkah mereka.
“Nak Niko…”
Niko menoleh. Di bawah bayangan pohon kamboja yang teduh, berdirilah tiga orang: dua wanita paruh baya dengan wajah yang tak asing, dan seorang pemuda yang jelas mewarisi garis rahang Clara. Wajah mereka dibasahi air mata yang baru atau yang telah lama mengering, tapi sorot mata mereka hangat walau nyeri.
Ibu kandung dan adik pria Clara mendekat perlahan. Ibu Clara mengenakan busana muslim sederhana, sopan, dan berkabung. Sang adik pria, mengenakan kemeja abu gelap dan celana kain, menunduk sopan pada keluarga Niko.
Ibu Clara berbicara dengan suaranya serak namun penuh kelembutan, “Terima kasih, Nak. Untuk semua rasa cinta yang kamu beri ke anak kami. Untuk kesetiaan, dan segala duka yang kami tahu tak bisa kamu ucapkan sepenuhnya.”
Niko menatapnya, nyaris tak sanggup berkata apa pun. Tapi ibu itu tersenyum tipis, lalu menggenggam tangan Niko seerat mungkin.
“Kami tahu Clara mencintaimu sepenuh hati. Dia selalu cerita soal kamu, soal caramu membuat dia tertawa, caramu memperjuangkan cita-cita bersama.”
Adik Clara mengangguk setuju, menyeka sudut matanya. “Kakak tetap keluarga kami, Kak. Meski Kak Clara udah nggak ada, hubungan kita nggak berakhir di sini.”
Ayah Niko tersentuh, membungkuk pelan tanda hormat. Ibu Niko pun meraih tangan ibu Clara, menggenggamnya dengan penuh empati.
Adik Clara menatap Niko dalam diam, sebelum akhirnya bersuara pelan, “Kalau ada yang menyakitimu karena ini semua, Kak, ingat, kami ada di pihakmu.”
Dan saat itu juga, beban yang menyesakkan dada Niko terasa sedikit lebih ringan. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu membungkuk hormat.
“Terima kasih, Bu… semuanya. Clara… selalu jadi bagian dari hidup saya. Dan akan tetap begitu.”
Mereka berdiri sejenak dalam diam, hanya suara burung kecil dan semilir angin yang menemani. Bukan perpisahan, tapi peringatan bahwa cinta sejati tak mati di antara nisan dan bunga layu. Ia tetap hidup, dalam kenangan dan dalam hati yang saling menguatkan.
***
Pagi itu langit tampak jernih, seolah tak tahu ada hati yang sedang mendung. Udara di sekitar asrama Universitas Harapan Baru begitu hening, hanya suara roda troli besi yang berderak pelan di lorong, diiringi langkah kaki Reina dan kedua orang tuanya.
Reina berhenti di depan pintu kamarnya, kamar yang dulu terasa hangat, kini dingin dan asing. Ia memutar kenop pelan, lalu mendorong pintu dengan ragu. Begitu pintu terbuka, aroma familiar menyeruak. Campuran parfum milik Tiara dan aroma sabun laundry yang khas. Segalanya masih sama seperti saat mereka bercanda semalam sebelum berangkat ke karantina. Hanya saja, Tiara tak pernah kembali.
Matanya langsung tertumbuk pada sisi ranjang Tiara. Rapi. Tak disentuh. Di atas bantalnya masih tergolek boneka kecil berbentuk alpukat favorit Tiara, yang katanya lucu kayak gebetannya di fakultas hukum.
Reina melangkah masuk, lututnya gemetar. Ia mendekati meja belajar Tiara, jemarinya menyentuh sisa coretan di buku catatan. Masih ada jadwal kegiatan karantina yang mereka susun bersama. Masih ada sisa bekas lipstik di mug yang biasa Tiara pakai minum coklat panas.
“Tiara…” bisiknya, nyaris tak terdengar. Udara terasa lebih berat dari sebelumnya. Reina duduk perlahan di ranjang, menggenggam bantal milik sahabatnya dan mendekapnya erat ke dada. Air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya jatuh juga. Ia menangis dalam diam, sesekali mengusap wajahnya yang basah, tapi tangis tak kunjung reda.