BEAUTY BLOOD

quinbbyyy
Chapter #23

Pelukan Luka Yang Tertunda

BRUK!!!

Pintu terbanting saat Reina menerobos masuk dengan tubuh setengah basah keringat dan luka ringan di lengan. Semua orang terhenyak, lensa kamera berputar, kilatan lampu menyala otomatis, dan deretan tamu langsung bangkit dari duduknya.

Di belakang Reina, dua sosok bertopeng menyusul masuk. Suasana langsung membeku. Bahkan wartawan yang tadi agresif pun terpaku.

“REINA!!” teriak Adelina dan ibu Reina bersamaan.

Beberapa petugas kepolisian meraih senjata mereka, tapi terlalu lambat. Salah satu dari penyerang langsung melompat, menjambak Reina dari belakang, menariknya dengan kasar, dan mengacungkan pisau ke lehernya.

Jeritan langsung membelah udara.

“JANGAN ADA YANG BERGERAK!” suara penyerang itu keras dan parau. Pisau berkilat menempel erat pada kulit Reina yang pucat.

Seluruh ruangan diam membatu. Bayu dan Niko berdiri, wajah mereka berubah drastis. Reina gemetar, napasnya memburu, darah mengalir dari goresan kecil di pipi, tapi sorot matanya masih menyala menyimpan keberanian di balik kepanikan yang mencekam.

Sementara itu, satu-satunya suara yang terdengar hanyalah derit kecil kamera CCTV yang berputar… merekam semuanya.

Suasana masih menegang. Pisau masih melekat di leher Reina. Isak tertahan terdengar dari deretan kursi depan. Kamera wartawan merekam tanpa berkedip, seolah seluruh dunia menahan napas.

Lalu tiba-tiba—

"Ibu! Adik! Hentikan!!"

Suara Bayu menggema, keras, penuh panik, dan tak sengaja lolos dari mulutnya seperti ledakan dari lubuk hati yang terdalam. "Sasaran kita bukan Reina!" lanjutnya, kini nadanya lebih putus asa. "Pembunuh Clara sudah mati! Kita… kita sudah sepakat... kita hentikan semua ini begitu Danu mati!"

Seisi ruangan membeku.

Sorot kamera berpaling dari Reina ke arah Bayu. Mikrofon nyaris jatuh dari tangan wartawan. Para saksi dan keluarga korban mendadak menegang, mata membelalak bahkan Kepala Polisi berdiri dari kursinya, nyaris tak percaya dengan yang baru saja didengar.

Niko, yang berdiri hanya beberapa langkah dari Reina, tampak membeku. Matanya tak berkedip menatap Bayu yang wajahnya memucat seketika, tubuhnya limbung, seperti baru ditabrak kenyataan yang paling tak masuk akal.

"Apa maksudmu Kak?" gumamnya nyaris tak terdengar. Reina yang masih dalam cengkeraman pisau, menahan napas. Matanya melebar, bukan hanya karena ancaman di lehernya, tapi karena pengkhianatan yang kini berputar di udara. Kepalanya pelan menoleh, sedikit berusaha menangkap bayangan dari dua sosok bertopeng yang kini juga membeku setelah teriakan Bayu itu.

Penonton diam. Tapi ketegangan memuncak.

Semua menatap Bayu.

Dan Bayu hanya bisa berdiri dengan napas memburu dan wajah yang tak lagi bisa disembunyikan bahwa ia menyimpan sesuatu. Sesuatu yang tak seharusnya ia ucapkan. Dan ia baru saja melepaskannya.

Ketika semua perhatian masih terpusat pada Bayu dengan nafas tercekat, jantung bergemuruh, kepala mencoba mencerna maksud dari kata-katanya, dua letupan keras mendadak mengoyak keheningan.

DOR! DOR!

Sontak ruangan bergetar oleh teriakan. Dua sosok misterius itu langsung terhuyung, lutut mereka roboh bersamaan, masing-masing peluru bersarang tepat di kaki mereka. Darah menggenang cepat di lantai marmer, menodai sepatu dan ujung karpet merah tempat para saksi duduk.

“Tiarap! Jangan bergerak!” teriak salah satu polisi bersenjata lengkap, melompat dari arah samping podium dengan gerakan terlatih.

Polisi lainnya langsung sigap membekuk kedua pelaku, membanting tubuh mereka ke lantai dengan borgol yang sudah siap sejak awal. Topeng salah satu dari mereka terlepas, memperlihatkan wajah muda yang mirip Clara, yang ternyata merupakan adik prianya.

Reina yang selama ini terkunci dalam cengkeraman salah satu pelaku, langsung melesat mundur, tubuhnya gemetar hebat. Ia menatap sekeliling seperti bingung dan matanya berair, napas tak beraturan.

“Ayah!” teriaknya.

Tubuh Reina berlari terpincang, seolah segala kekuatan di kakinya telah habis terkuras, menuju kedua orang tuanya yang berdiri di barisan belakang ruangan. Ibunya langsung menyambut dengan pelukan erat, sementara sang ayah berdiri kokoh di samping, membelai kepala anaknya penuh haru dan kemarahan yang tertahan.

Teriakan, isak, dan sorakan media bercampur menjadi satu. Tapi suara yang paling menguasai ruangan tetap diam yang mencekam dari Bayu, yang kini berdiri sendiri di antara orang-orang yang mulai menyadari bahwa ini belum selesai.

Suara tembakan tadi belum sempat hilang dari telinga ketika tubuh sang adik mendadak menggeliat kuat dari dekapan polisi. Wajahnya merah penuh amarah, dan dengan gerakan secepat kilat yang tak terlihat seperti gerakan anak muda biasa tangannya melesat ke balik sabuk pinggangnya.

Cklek!

Kilatan senjata api menyembul dari balik kemejanya yang longgar. Sebuah pistol kecil, tapi cukup mematikan, kini berada dalam genggamannya.

"LEPASKAN IBUKU!" teriaknya parau nyaris seperti lolongan kesakitan.

Polisi terdekat sontak bereaksi, namun sang adik Clara lebih cepat. Ia menodongkan pistol ke arah salah satu polisi, memaksa barisan mundur dan menciptakan celah tipis yang segera ia manfaatkan untuk menyergap ke arah ibunya yang masih dibekuk.

Lihat selengkapnya