BEAUTY BLOOD

quinbbyyy
Chapter #24

Luka Yang Sama

Ketika suasana konferensi masih menggantung di antara pilu dan pelukan, waktu seolah terbelah. Dalam benak Niko, dalam benak semua yang tahu. Bayangan itu kembali, terputar begitu nyata.

Sebuah gudang tua, terletak di belakang Resort and Hotel Sumber Wangi, terlupakan oleh cahaya, terlupakan oleh hiruk-pikuk dunia luar. Di sinilah tubuh itu ditemukan. Diam. Dingin. Hancur namun tetap anggun.

Gaun indah yang pernah dikenakan sang pemenang malam final masih melekat pada tubuhnya. Kilauan kain satin biru keunguan masih tampak meski bercampur debu dan darah yang mengering. Selempang bertuliskan "Icon Kecantikan Indonesia" tercabik di satu sisi, terlipat pada dada yang tak lagi bernapas. Mahkota keemasan masih bertengger miring di rambut panjangnya yang kusut, seolah menolak jatuh dari kepala sang ratu yang tak sempat merayakan tahtanya.

Di lantai beton yang dingin dan retak-retak itu, tergeletak sebuah pisau dapur besar, berdarah, namun tak dipegang siapa-siapa. Pisau itu bersandar miring pada peti kayu tua, seperti lelah setelah menuntaskan tugas berdosa. Beberapa kelopak bunga yang jatuh dari mahkota Clara menempel di noda darah, lukisan menyedihkan dari kematian yang tak seharusnya terjadi.

Wajah Clara membiru, matanya setengah terbuka, menatap kosong ke arah langit-langit gudang yang dipenuhi sarang laba-laba. Rona keindahan yang dulu membuat semua mata terpana kini hanya menyisakan perih tak terucapkan. Sekujur tubuhnya menunjukkan perlawanan, ada luka lebam di pergelangan, robekan kecil di pundak kanan, dan luka tusuk yang dalam, tepat di bawah tulang rusuk.

Bayu-lah yang pertama menemukannya, saat itu. Ia tak sanggup mendekat. Sementara Niko, yang datang beberapa menit kemudian, hanya bisa berdiri membeku. Air matanya jatuh begitu saja. Mulutnya ingin berteriak, tapi tak ada suara. Hanya dengusan napas tak beraturan, dan lutut yang perlahan melemah hingga ia jatuh bersimpuh di sisi jenazah perempuan yang akan dinikahinya.

Clara ditemukan dalam keadaan masih mengenakan lambang kejayaannya sebagai simbol kematian yang ironis, mahkota kemuliaan di atas tubuh seorang korban.

Dan sejak hari itu, gudang tua itu tak pernah disentuh siapa pun. Terkunci. Dibiarkan terkubur dalam cerita-cerita miring yang terus berkembang. Cerita tentang pemenang yang menghilang. Tentang bunuh diri. Tentang tekanan mental. Tentang skandal.

Begitu Bayu melapor dengan suara tercekat dan tubuh gemetar, Niko langsung berdiri tanpa sepatah kata. Tak ada waktu untuk berduka. Yang ada hanya perintah, arahan, dan keputusan cepat. Dalam hitungan jam, kawasan gudang belakang itu diblokade. Jalur akses ditutup. Cahaya disorot ke segala sudut. Forensik dipanggil. Tim dokter dipacu datang. Polisi setempat digiring masuk diam-diam, hanya yang bisa dipercaya, hanya yang tak akan buka mulut tanpa izin.

Niko mengerahkan seluruh jaringannya. Tak ada kamera yang bisa merekam. Tak ada wartawan yang bisa membaui. Ia tahu betul, sekali ini bocor, satu Indonesia akan gaduh dan nama Clara akan berubah dari ikon menjadi sensasi murahan. Itu tidak bisa dibiarkan.

Tubuh Clara ditangani dengan penuh kehati-hatian, seolah dengan harapan bisu bahwa waktu bisa diputar ulang. Tapi tubuh itu sudah terlalu kaku. Terlalu dingin. Harapan itu sudah tidak mungkin lagi.

Sementara itu, ruang pertemuan khusus Sumber Wangi Group langsung dibuka malam itu juga. Para petinggi hadir. Mata-mata serius menatap ke arah satu dokumen: laporan awal kematian Clara Ravindra. Semua tahu: jika kabar ini sampai ke media dengan narasi asli, citra perusahaan akan terkoyak. Acara pemilihan Icon Kecantikan Indonesia akan tercoreng. Nama Clara bisa tercabik tanpa ampun.

“Jika publik tahu dia dibunuh, semua akan menuntut. Reputasi kita tamat,” ucap salah satu direktur dengan suara tegang.

Niko menunduk. Jemarinya mengepal. Pandangannya kosong. Ia benci semua yang dibicarakan. Tapi ia juga tahu bahwa dalam dunia mereka, kematian pun bisa dinegosiasikan. Maka keputusan akhir pun dijatuhkan.

“Rilis berita bunuh diri.”

Kalimat itu berat. Namun disepakati. Mereka merancang skenario dengan sangat rapi tentang tekanan mental, jadwal padat, perfeksionisme yang melukai diri sendiri. Clara dijadikan simbol kelelahan dalam dunia gemerlap.

Dan berita itu pun menyebar.

Foto Clara yang sangat cantik, tersenyum, masih hidup dalam kenangan public menghiasi layar televisi dan halaman depan media cetak. Ungkapan duka datang dari penjuru negeri. Tapi hanya sedikit yang tahu, senyum di foto itu tak pernah tahu bahwa ia akan dimakamkan dengan mahkota dan luka di rusuknya.

Sementara Niko hanya bisa diam, berhadapan dengan cermin di ruangannya. Di balik matanya, bukan hanya rasa bersalah yang membunuh pelan-pelan tapi juga kebencian terhadap dirinya sendiri.

Ia sudah kehilangan tunangannya. Dan kini ia juga kehilangan kebenaran.

Bayu berdiri mematung di sudut ruangan, tubuhnya masih dibalut pakaian formal namun basah oleh keringat dingin. Detik itu, semua terasa lambat. Sorot kamera, gemuruh wartawan, isak tangis orang tua korban, bahkan suara pengacara yang mencoba menenangkan suasana semua seperti terbungkam oleh satu pemandangan yang menghunjam perasaan.

Di tengah ruangan konferensi pers yang kacau itu, Niko bersujud di depan seorang wanita paruh baya, ibunda dari gadis yang pernah menjadi tunangannya, cinta yang tak sempat ia selamatkan. Tangannya menggenggam ujung gamis wanita itu, keningnya menyentuh lantai, tubuhnya bergetar hebat. Tak ada kata, hanya air mata yang tak bisa dibendung, dan suara napasnya yang nyaris tersedu.

Bayu tak mampu menahan dadanya yang sesak. Hatinya perih, seolah ikut merasakan beban bertahun-tahun yang selama ini Niko simpan rapat. Ia tahu, ia mungkin satu-satunya orang yang tahu betapa Niko mencintai Clara. Tapi ia juga tahu, betapa keras kepala dan dinginnya pria itu setelah kejadian. Betapa ia lebih memilih mengurung diri dalam dinding kemewahan dan protokol bisnis, dibanding menghadapi kenyataan bahwa wanita yang ia cintai tewas dibunuh oleh orang dalam perusahaannya sendiri.

Kini, semua runtuh. Niko tak lagi CEO agung yang dihormati. Ia hanyalah lelaki patah yang mencari ampunan, bukan pada publik, tapi pada satu sosok ibu yang kehilangan segalanya.

Bayu menunduk. Matanya memanas. Sebagian hatinya ingin memeluk sahabatnya itu. Sebagian lagi masih marah, kecewa, dan remuk karena fakta yang selama ini mereka tutupi.

***

Lihat selengkapnya