BEAUTY BLOOD

quinbbyyy
Chapter #25

Maaf Terakhir

Suasana di ruang konferensi pers nyaris membeku. Di antara kursi-kursi elegan, mikrofon mati, dan layar besar yang tak lagi menampilkan apapun selain logo perusahaan dengan pita hitam, isak tangis menjadi satu-satunya suara yang hidup. Cahaya lampu kristal di atas terasa terlalu terang untuk tempat yang kini dipenuhi duka dan penyesalan. Niko masih bersimpuh, tubuhnya condong ke depan, lututnya menekan lantai marmer yang dingin. Tangannya menggenggam ujung gamis milik ibu Clara, yang berdiri kaku namun tak menepis pelukan air mata pria itu.

"Ibu..." suaranya pecah, bergetar seiring napas yang berat. "Aku tahu semua permintaan maaf tak akan pernah cukup. Tapi beri tahu aku... bagaimana cara aku menebus ini semua? Apa yang bisa kulakukan untuk menyembuhkan luka di hati Ibu dan adik serta luka Clara yang tak sempat aku lindungi?"

Ibu Clara tak menjawab seketika. Matanya menyapu ruangan, menatap wajah-wajah yang juga berurai air mata. Suara tangis Reina makin terdengar dari kursi saksi, Adelina menggenggam tangan temannya erat. Bayu berdiri tak jauh, masih terpaku dengan rahang mengeras, menyaksikan sahabatnya merendah sedalam-dalamnya. Ajudan pribadi Niko bahkan menunduk dalam, menahan gejolak emosi saat melihat tuannya tak lagi terlihat seperti CEO hebat, tapi seorang lelaki hancur yang kehilangan cinta hidupnya dan kepercayaan dari orang-orang yang mencintai Clara.

Ibu Clara menarik napas panjang, tangannya gemetar ketika menyentuh kepala Niko. “Tebus dengan tidak melupakan. Jangan biarkan nama anakku hilang begitu saja. Lakukan sesuatu untuk dia, untuk semua yang telah tiada, agar mereka tidak mati sia-sia.” Niko menggenggam tangan itu lebih erat, kepalanya mengangguk, air matanya makin deras.

“Aku bersumpah…,” bisiknya lirih. “Nama itu akan kembali bersinar. Aku akan kembalikan kehormatan Clara. Dan aku akan membangun kebenaran untuk setiap korban… meski harus kubayar dengan hidupku.” Di ruangan itu, semua terdiam. Hening. Hanya suara isakan dari banyak mulut dan dada yang tercekat. Beberapa wartawan lupa memencet tombol kamera. Mereka bukan sedang meliput berita, mereka menyaksikan kisah nyata tentang kehilangan, penyesalan, dan cinta yang belum sempat tuntas.

Dan di tengah semua itu, Clara mungkin menyaksikan. Dalam gaun putih dan selempang kemenangannya, tersenyum pilu. Ibu Clara berdiri mematung, tubuhnya bergetar. Jemarinya meremas kerudungnya sendiri, menahan amarah dan duka yang bertahun-tahun ditahan rapat. Matanya merah, bukan hanya karena tangis, tapi karena kehilangan yang tak pernah pulih.

“Kalau kau benar-benar ingin menebus semuanya…” suara itu serak, nyaris berbisik, namun terdengar hingga ke sudut ruangan. Semua orang menahan napas. Reina mencengkeram lengan Adelina, Bayu terpaku dengan tatapan keras, dan para wartawan menunduk, tak sanggup menatap langsung kengerian yang tergantung di udara.

Ibu Clara menatap Niko tajam. “Ganti… nyawa anakku.”

Ruangan langsung sunyi. Seperti semua suara tersedot keluar dari udara. Niko tak langsung bereaksi. Tubuhnya membeku. Wajahnya menengadah pelan, matanya berkaca, memandangi ibu wanita yang ia cintai, seorang ibu yang kehilangan segalanya. Napasnya tercekat.

“Ibu…”

“Kalau kau tak bisa mengembalikan Clara,” lanjut sang ibu, suaranya pecah, “maka jangan hanya menangis dan memohon. Jangan hanya janji-janji. Clara mati, Niko… mati! Dan kau, kau diam! Kau sembunyi!” Teriakannya menghantam dinding dan hati semua orang. Kepala kepolisian berdiri pelan, mencoba menengahi, namun tak satu pun mampu bergerak lebih dulu. “Aku tidak ingin uangmu. Tidak ingin nama baik. Tidak butuh pernyataan perusahaan. Aku ingin anakku kembali! Tapi kau tak bisa memberinya, kan?” Ia menunduk, matanya tepat menatap pria yang dulu hendak menjadi menantunya. “Kalau kau memang ingin membayar, bayar dengan nyawamu.”

Tangan Niko gemetar. Ia tidak bangkit. Tidak protes. Tidak marah. Ia hanya memejamkan mata, bibirnya bergetar. “Kalau itu yang Ibu inginkan…” suaranya nyaris tak terdengar. “Biarkan aku menebusnya, dengan cara yang benar.” Tangis meledak dari bangku tamu. Reina memeluk wajahnya. Adelina terisak keras. Beberapa jurnalis yang mencoba kuat pun akhirnya menangis pelan di balik kamera yang merekam adegan memilukan itu.

Dan di ruangan itu, semua paham.

Tidak ada keadilan yang benar-benar bisa menyeimbangkan kehilangan seorang ibu. Tidak ada pertobatan yang bisa membangkitkan nyawa. Tapi ada satu hal yang nyata, pengakuan. Dan dari sanalah luka mungkin bisa mulai diobati. Meski perlahan. Meski berdarah.

Adik Clara masih bergumul dengan polisi yang berusaha melucuti senjatanya. Terengah, matanya masih menyala penuh bara dendam. Tapi dalam satu gerakan tak terduga, Niko bangkit dari sujudnya bukan untuk kabur, bukan pula untuk membela diri. Melainkan untuk merebut pistol itu dari tangan si pemuda.

Seketika ruangan geger.

“Niko!” teriak Bayu paling pertama, namun tak sempat menjangkau.

Polisi terlonjak, Reina berteriak nyaring, beberapa orang berdiri dari kursi, tapi semua terlambat.

Satu hentakan.

Satu tembakan.

Lihat selengkapnya