BEAUTY BLOOD

quinbbyyy
Chapter #26

Jejak Luka di Bawah Hujan

Langit mendung menggantung rendah di atas markas besar kepolisian, seakan alam pun ikut berduka atas tragedi panjang yang membekas dalam sejarah negeri ini. Reina dan Adelina melangkah perlahan memasuki ruang kunjungan tahanan, masing-masing membawa hati yang penuh luka dan kepala yang masih dihantui kenangan di Resort & Hotel Sumber Wangi. Di balik jeruji, Bayu duduk dalam diam. Matanya cekung, tubuhnya mengurus, wajahnya jauh dari kilau saat ia masih menjadi chairman ajang kecantikan paling prestisius itu. Ketika Reina dan Adelina tiba, Bayu bangkit berdiri. Tak ada senyum, tak ada kata. Hanya tatapan redup yang menyesali segalanya.

Ia bukan hanya dituduh menghabisi Danu, melainkan juga dinyatakan bersalah atas rentetan pembunuhan brutal terhadap sejumlah orang penting dalam rangkaian ajang tersebut: para finalis, panitia, coach, pemateri, hingga staf hotel. Bersama keluarga almarhumah Clara, Bayu terbukti telah menyusun rencana pembalasan terencana demi menuntut balas atas kematian Clara yang ia yakini ditutup-tutupi. Jaksa menjeratnya dengan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, serta Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan yang menyebabkan hilangnya nyawa. Tidak hanya itu, ia juga dikenai UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme atas serangkaian aksi yang menyebabkan kepanikan massal dan korban jiwa dalam jumlah besar.

Reina berdiri kaku, menahan getar tubuhnya. Ia mengenang saat Bayu masih seperti kakak sendiri bagi para finalis, sosok yang peduli, suportif, dan hangat. Kini, yang berdiri di hadapannya adalah bayangan kelam dari orang yang sama, seseorang yang memilih jalur balas dendam dan membenamkan dirinya dalam darah. Adelina menggenggam lengan Reina, air matanya jatuh tanpa suara. Mereka tahu, tidak ada lagi yang bisa dikembalikan. Tiara, Sasha, Vanya, Celia, dan banyak lagi, semuanya telah tiada. Bayu hanya berkata pelan, matanya tak lepas dari Reina dan Adelina. Ia seperti ingin bicara, tapi tak mampu merangkai kalimat. Yang terdengar hanya helaan napas berat, napas orang yang memikul dosa yang tak akan pernah bisa ditebus, bahkan dengan seumur hidup di penjara.

Petugas mengisyaratkan waktu habis. Reina mengangguk pelan, berbalik. Adelina menyeka air matanya, lalu ikut melangkah keluar. Saat pintu besi menutup di belakang mereka, gema denting logam itu seperti menandai akhir dari kisah Panjang, kisah yang menyisakan luka, kehilangan, dan satu kebenaran pahit

***

 

Langit yang semula hanya mendung kini pecah menjadi gerimis lembut, seperti menangisi luka-luka yang tak kunjung sembuh. Rintik hujan turun membasahi pelataran kantor polisi, membasuh pelan jejak-jejak kesedihan yang mengendap sejak pagi. Reina dan Adelina berjalan perlahan menuju area parkir, langkah mereka berat seiring perasaan yang tak sanggup dijelaskan dengan kata. Payung di tangan petugas tak mampu meredam dingin yang merambat dari ujung kaki hingga ke hati. Dalam keheningan yang hanya diisi suara hujan, keduanya terdiam, masih memikirkan pertemuan dengan Bayu yang begitu memilukan.

Saat mereka hampir mencapai mobil, langkah Reina terhenti. Dari arah berlawanan, tampak sepasang suami istri berjalan pelan, basah oleh hujan dan duka yang menua di wajah mereka. Di belakangnya, dua ajudan mengikuti dalam diam, payung-payung mereka menunduk dalam sopan, seolah tahu kedatangan mereka bukan untuk kekuasaan, tapi untuk kehilangan.

Kedua orang tua Niko.

Mereka bertemu tepat di tengah pelataran. Pandangan mereka bertaut, saling menembus lebatnya rintik air, menyusup ke dalam luka yang sama-sama masih basah. Tak ada kata-kata. Hanya tatapan panjang yang saling mengakui rasa kehilangan yang terlalu besar untuk diceritakan. Reina menunduk pelan. Adelina mengikuti. Sebuah anggukan penuh hormat, lembut, namun dalam.

Kedua orang tua Niko membalas dengan lirih gerak kepala. Tak ada senyum, tak ada salam. Tapi ada pemahaman. Bahwa di balik semua tragedi dan darah yang tumpah, masih ada manusia yang saling mengerti betapa beratnya kehilangan seseorang yang dicintai. Mereka lalu berjalan melewati satu sama lain, dua arah yang berbeda, dua dunia yang tak sama, tapi terhubung oleh kesedihan yang serupa. Reina dan Adelina menuju mobil mereka yang terparkir di ujung, sedangkan orang tua Niko terus melangkah, mendekat ke pintu utama kantor polisi.

Lihat selengkapnya