Di bawah langit pagi yang perlahan kembali biru, Reina masih duduk membisu di tepi danau. Udara di sekitarnya tak lagi terasa mencekam seperti tadi, tetapi perasaan ganjil tetap membekap dadanya. Jemarinya mengepal sebuah amplop cokelat yang entah sejak kapan benda itu ada di sana. Ia belum membukanya lagi, tetapi tubuhnya gemetar seolah sudah tahu apa yang tersembunyi di dalamnya. Danau itu, taman ini begitu familiar. Seolah ia pernah menginjak tanah ini dalam kehidupan yang terasa seperti mimpi. Ia berdiri perlahan, menatap tenang air danau yang memantulkan bayangannya sendiri tapi di antara riak itu, ada kilasan sosok lain yang tak dia kenali atau terlalu dia kenali.
Tiba-tiba, suara langkah pelan terdengar di belakang. Reina menoleh. Seorang perempuan berdiri di sana. Rambut panjangnya berayun lembut, gaun putihnya berkibar pelan ditiup angin. Wajahnya cantik dan teduh, senyumnya begitu hangat namun menyimpan kedalaman yang sulit dijelaskan. Reina tak bisa bicara. Ia tahu perempuan itu bukan dari dunia yang sama lagi.
Perempuan itu tidak mengatakan sepatah kata pun. Ia hanya melangkah pelan mendekat, lalu berhenti tepat di depan Reina. Saat angin kembali berembus lebih kuat, amplop di tangan Reina terbuka dan foto-foto di dalamnya terbang melayang di udara. Reina berusaha menangkapnya, namun satu per satu melesat melewatinya, menari-nari bersama cahaya pagi. Satu foto terakhir berputar di udara, tepat di depan wajah Reina, menampilkan sesuatu yang semula membuat jantungnya mencelos. Tapi hanya sesaat. Dalam sekejap, gambar itu menghilang, berubah menjadi selembar kertas foto putih polos. Tak ada gambar. Tak ada sosok mengerikan. Seolah semua hanya fragmen mimpi yang kini larut bersama angin.
Dari kejauhan, suara langkah kembali terdengar. Kali ini lebih berat, lebih mantap. Seorang pria muda berjalan ke arah mereka. Wajahnya teduh, matanya tajam namun damai. Ia mengenakan kemeja putih bersih, dan Reina langsung mengenalinya meski suaranya tak terdengar. Pria itu menghampiri si perempuan. Keduanya saling menatap, saling memahami, seolah dunia pernah berhenti hanya agar mereka bisa saling menemukan kembali. Pria itu lalu mengulurkan tangan, dan perempuan bergaun putih itu menyambutnya tanpa ragu. Mereka berjalan perlahan bersama, meninggalkan Reina yang masih terdiam.
Langkah mereka ringan, namun setiap pijakan terasa sakral. Awan putih membentuk jalan cahaya di ujung taman, seolah alam pun membuka pintu khusus untuk mereka. Reina tak mencoba mengejar. Ia hanya menatap, menahan napas, membiarkan air matanya jatuh tanpa suara.
Cahaya menelan mereka sepenuhnya.
Danau kembali tenang. Angin kembali lembut. Hanya Reina yang masih berdiri di sana, sendiri tapi tidak lagi kesepian. Ia tahu, dalam keheningan itu, ada yang akhirnya pulang. Dan ada yang kini bersiap untuk terus berjalan. Dengan amplop kosong di tangan dan hati yang penuh jawaban.
***
Mata Reina terbuka lebar. Napasnya memburu, tak beraturan, seolah baru saja ditarik dari dasar lautan. Dadanya naik turun dengan cepat, peluh membasahi pelipis dan tengkuknya. Pandangannya kabur, bayangan siluet langit-langit, cahaya temaram dari jendela, hingga pelan-pelan semuanya menjadi jelas.
Ia terduduk. Matanya menyapu sekeliling, mengendus kenyataan yang perlahan-lahan menghampirinya. Bantal bersarung putih. Dinding kamar bercat lembut. Aroma khas rumah yang begitu familiar. Di luar, kicau burung pagi bersahutan. Ia berada di tempat yang paling ia kenal, kamar lamanya, di rumah orang tuanya. Masih terengah, Reina mengusap wajahnya, mencoba memastikan bahwa ia tak lagi berada di tepi danau. Tak ada gaun putih. Tak ada foto melayang. Tak ada cahaya aneh. Semua hanya mimpi.
Tapi terasa nyata.