“Kani, bolanya.” Rasta tersenyum sambil menunjuk bola voli yang menggelinding ke arahku. Aku memungutnya. Sebelum aku sempat melempar balik bola itu, seseorang di belakangku menceletuk. Suara Ilana. Ya, tentu saja si primadona sekolah selalu ada di mana pun Rasta berada.
“Kani, lempar bolanya kemari. Biar aku yang melempar bola itu ke Rasta,” cetusnya, memasang wajah imut yang banyak digilai sebagian cowok di sekolah.
Aku menimang bola di tangan. Kutatap Rasta. Dia menggeleng pelan. Hampir tidak kentara. Aku menoleh ke belakang, Ilana menunggu dengan wajah cerah, mengedip genit ke arahku. Bagus. Ini dilema yang menyedihkan.
Aku tidak mau cari gara-gara dengan Ilana, pun tidak mau membuat Rasta kecewa.
“Makasih,” ucap Ilana girang begitu menerima lemparan bola dariku.
Sori, bisikku melalui angin. Semoga Rasta bisa mendengar dan menerima maafku. Tapi, Rasta tidak bisa menerimanya. Ia menolak bola yang dilempar Ilana. Dengan gesit meninggalkan lapangan tanpa menoleh kepadaku, pun kepada Ilana.
Lihat, Kani! Dia marah. Aku menghela napas. Ilana sama kagetnya melihat sikap Rasta. Kedua teman di samping kanan-kirinya mencoba menenangkan. Semua memandangku dengan tatapan menuduh. Kenapa? Aku sudah melempar bolanya kepada si cantik Ilana. Apalagi yang harus kulakukan? Mengantar Ilana ke hadapan Rasta? Menyodorkannya dengan saus mayo dan topping lelehan cokelat meluber di rambutnya agar bisa dijilati Rasta?
“Ini gara-gara Kani kelamaan mikir lempar bolanya ke kamu, Lan. Rasta jadi capek,” tuduhnya. Ilana langsung menatapku, lalu ke bola yang sekarang melesak masuk ke rumpun bunga melati di pinggir lapangan. Aku membuang muka dan memungut peralatan menggambarku di bangku besi dengan cepat.
“Kani, kenapa Rasta? Kalian teman dekat, kan?” tanya Ilana.
“Aku nggak tahu. Kamu tanyakan saja sendiri,” jawabku. Bergegas keluar dari lapangan. Lagi-lagi, telingaku sempat menangkap kalimat fakta mengenai diriku dari mulut teman Ilana.
“Rasta kok betah ya, berteman dengan si jelek Kani?”
Karena sudah cukup jauh, aku tak bisa mendengar lagi ucapan mereka. Tidak sakit, kok. Sudah bosan dikatai jelek, cuma heran saja. Kapan mereka bosan mengataiku seperti itu? Oke, aku memang jelek meski kata Rasta aku tidak jelek. Tapi, tetap saja aku jelek. Kulitku tidak putih ataupun kuning langsat. Hidungku kecil. Tubuhku pendek. Tidak ada yang bisa kubanggakan dari fisikku. Kecuali mata cokelatku. Rasta menyukai mata cokelat ini. Katanya aku tampak hidup.
Aku benar-benar tidak menarik. Tidak cantik. Padahal, Rasta berkali-kali menjelaskan definisi cantik baginya adalah hati. Bukan putihnya kulit, bangirnya hidung, rampingnya tubuh seseorang. Kalimat Rasta tidak bisa menaikkan egoku agar percaya diri bahwa aku cantik. Andai semua mata orang seperti mata Rasta, tentu aku akan merasa cantik setiap hari. Setiap detik karena pujian kecil Rasta yang membesarkan kepala.
Ya, andai ada banyak Rasta di dunia ini, tidak akan ada manusia merasa terkucil dan sendirian.