Beauty

Bentang Pustaka
Chapter #2

Dua

Kadang aku bingung, bahkan menganggap Rasta sedikit abnormal karena memilihku dan ingin memamerkan aku di depan teman-temannya. Dia tidak sedikit pun malu berjalan beriringan denganku. Aku justru yang malu. Aku menunduk dan menunduk seolah pusat duniaku hanya ada di ujung sepatu, kecil dan sempit. Aku sama sekali tidak berani memandang, pun menengok, dunia Rasta yang begitu cerlang, mewah.

Duniaku seharusnya tidak pernah bersinggungan dengan dunia Rasta. Rasa suka Rasta kepadaku lama-kelamaan akan memudar seiring tuanya waktu yang kami lalui. Rasta akan melupakanku, melenyapkan ingatan tentang cewek jelek yang dulu dipacarinya. Semua pikiran jelek ini tidak pernah mau pergi, terus merajai dan memaksaku mengambil kesimpulan yang jelas dibenci Rasta.

Rasta memilihku karena aku berbeda. “Kamu beda,” kata Rasta.

Ah, apa bedanya aku dengan cewek-cewek itu? Aku tidak memakai make-up karena tidak punya uang saku banyak. Dan, memakai make-up tidak cocok dengan kulitku yang gelap. Pakaianku sederhana, rambutku apalagi. Dibiarkan lurus sepinggang tanpa jepit atau ornamen manis lainnya karena lagi-lagi uangku tidak banyak. Daripada habis untuk hal yang tidak kusukai, lebih baik kubelikan peralatan menggambar.

Keluargaku tidak semiskin bayangan orang. Kami punya rumah kecil di gang sempit. Berdempetan dengan rumah kontrakan, sesak dan ramai. Ayah dan Ibu memiliki kedai kopi yang ramai di seberang pasar. Kopi racikan Bapak disukai para tengkulak dan kuli panggul. Murah, tapi enak. Itu yang dicari orang-orang berdompet tipis.

Setiap malam, kedai kopi Bapak ramai. Aku dan Ibu akan sibuk. Kami membuat camilan, makanan pendamping secangkir kopi. Ketan bakar dengan aneka topping. Lagi-lagi, prinsip keluargaku, yang penting pelanggan puas meski untung kami sedikit. Menyenangkan lidah para pembeli berdompet tipis itu impian Bapak dan Ibu sejak dahulu. Mereka ingin orang kelas kami bisa merasakan lezatnya makanan seperti di lidah orang kaya. Sebelum membuka kedai kopi, Bapak dan Ibu bekerja di restoran mewah sebagai pencuci piring. Berbekal telinga dan mata, Bapak dan Ibu belajar. Hasilnya kedai kopi ini lahir 10 tahun lalu.

Sayangnya di sekolah, usaha kedai kopi Bapak dianggap tidak keren oleh teman-temanku. Menurut mereka terkesan kumuh karena berada di pasar tradisional. Mereka menyebutnya warung. Dan, aku dicap si miskin penjual kopi dan ketan. Meski Rasta tahu latar belakangku, dia tidak peduli. Seakan dia bisa menulikan dan membutakan indranya. Padahal, aku peduli. Aku tidak mau Rasta mengalami rasa malu yang kualami selama ini.

Oleh karena rasa maluku dan demi Rasta, aku memutuskan backstreet. Bukan hal mudah. Rasta terus mengeluh, cemburu tidak jelas, bahkan terkesan lebay. Padahal, aku tidak memiliki teman cowok yang sepadan dengannya. Temanku hanyalah Apung, si maniak games dengan kawat gigi memenuhi mulutnya. Sekarang dia lagi gandrung game Pokemon Go. Apa cowok model Apung pantas dicemburui oleh cowok sekaliber Rasta? Nyatanya itulah yang terjadi padanya. Dia cemburu pada Apung meski tidak kentara.

Aku sepertinya berhasil memancing Rasta mendekat begitu Apung mengambil kursi di seberang meja kantin beberapa menit lalu, mengobrol Pokemon Go. Dia bilang baru mendapatkan monster banyak dan beberapa Pikachu. Ingin aku bilang kepada Apung bahwa sejatinya games hanya untuk orang yang kurang kerjaan, kekurangan aktivitas. Tapi, aku tidak tega melihat wajah Apung berubah mendung.

Rasta kelihatan kurang tidur, tidak seperti kemarin, segar dan cerah. Dia menarik kursi di samping Apung, bukan di sampingku. Oke, dia masih marah. Tumben sekali Rasta serius. Aku melempar senyum ke arahnya. Dia hanya mengangguk singkat.

Seperti teman akrab, Rasta menyandarkan lengan kanannya di bahu Apung. Dua cowok di depanku mulai asyik sendiri dengan topik baru, ada cewek cantik di kelas X. Dan, Rasta tampak menikmati obrolan itu dengan terkekeh. Mengabaikan aku.

“Kani, mau pulang bareng aku?” Apung bertanya tiba-tiba. Rasta terkejut. Aku gelagapan.

Apung serius? Apung sesekali mengajak pulang bareng. Jalan kaki jika uang sakunya habis untuk membeli komik langka. Dan, Apung tidak pernah terang-terangan mengajak di depan Rasta. Aku pun selalu menolak ajakan Apung.

“A-aku sudah ada janji,” jawabku asal. Tampak Rasta bernapas lega. Sama leganya denganku.

“Sama siapa?” tanya Apung.

“Sama aku,” Rasta berdeham. Apung memasang wajah mengernyit.

“Oh, ya udah. Aku pulang sendiri aja.” Apung bangkit, tapi matanya terus fokus ke layar ponsel. Tanpa melihat, Apung hafal jalan keluar dari kantin. Hebat sekali. Insting atau nekat, beda tipis. Aku tersenyum melihat ulah Apung.

Rasta belum pergi juga. Ia kini pindah ke kursi Apung, tepat di depanku. Tidak mengatakan apa pun. Diam. Sesekali ia mengaduk semangkuk bakso pesanannya.

Ilana mendekat dan merangkul leher Rasta dari belakang. Meski singkat, Rasta tidak bereaksi apa pun. Ia balas tersenyum memandang wajah cantik Ilana. Mereka serasi, sama-sama diciptakan dengan segala kelebihan yang melekat. Sayangnya Rasta justru memilihku yang sama sekali tidak pantas disandingkan dengan pangeran sepertinya.

Lihat selengkapnya