Pesan singkat itu kukirim beberapa jam yang lalu setelah sampai di rumah. Tapi, tidak juga Rasta membalasnya. Pikiran jelekku harus segera disalurkan ke kertas kosong. Lalu, aku mengubahnya menjadi kertas bergambar. Rasta amat menyukai gambarku. Terutama wajahnya sendiri. Kupikir karena dia narsis. Ternyata bukan. Dia suka melihatku fokus menggambar dan mengamati wajahnya. Seolah duniaku berpusat kepadanya. Memang benar, saat menggambar wajah Rasta, duniaku begitu berbeda. Mata Rasta berbicara, bernada. Aku menikmatinya. Seolah Rasta menyimpan segenggam dunia pada dua bola matanya yang cerlang itu.
Saat sedang menyiapkan rautan dan pensil, ponselku berdering. Pesan balasan dari Rasta.
Ingat ini, Kani. Aku sedang menghukummu. Tapi, aku nggak tega melihatmu sedih. Selamat malam.
Selamat malam, batinku. Aku tersenyum. Seperti dongeng saja, seorang pangeran tampan tanpa syarat menyukai putri buruk rupa. Benar-benar sebuah keajaiban seperti kata Ilana.
“Kani, bantu Ibu!” Suara Ibu terdengar dari arah dapur. Aku keluar dan melihat Ibu sedang mengeluarkan ketan yang baru saja matang.
“Masih ramai kedainya, Bu?” tanyaku. Dua jam lalu Ibu memasak ketan dan dibawa ke kedai. Sekarang memasak ketan lagi.
Ibu mengusap leher dan keningnya dengan tisu. “Iya. Ramai. Bapak sama Ibu sampai kewalahan. Di depan pasar, tahu kan pemilik toko beras? Nah iya, putrinya menikah. Ada orkesnya. Banyak yang nonton. Kedai kita jadi kebanjiran pelanggan.”
“Syukurlah. Maaf, Kani banyak tugas hari i—”
“Kani, nggak apa-apa. Nanti kamu bantu Ibu sebentar bawa ketan ke kedai.”
“Iya, Bu.”
***
“Kani!” Apung menjejeri langkahku. Napasnya masih tersengal-sengal, bahkan sampai batuk.
“Ada apa, Pung?” Aku menepuk bahunya, menenangkan.
“Aku dapat Pikachu di ujung gang sana. Yes!” teriaknya.
Dasar, maniak games. “Aku kira kamu habis dikejar orang atau bagaimana. Tahunya cuma Pokemon.”
Apung nyengir. Menunjukkan berapa Pikachu yang sudah didapatnya dengan wajah tak kalah girangnya. Andai gigi Apung tidak dijadikan masalah oleh teman-teman, mungkin Apung akan jadi idola, wajah manisnya tersembunyi di balik kacamata itu. Ah, manusia. Kekurangan secuil akan dianggap besar dan kalah dengan kelebihan itu sendiri.
“Aku traktir, ya,” kata Apung, segera menggeretku ke kantin. Pagi begini biasanya kantin sepi.
“Aku sudah sarapan, Pung.”
“Temani aku makan. Aku ingin cerita.”
Aku menimang, lalu melirik ke gerbang. Biasanya Rasta datang sepuluh menit sebelum bel berdenting. Tidak apa-apalah menemani Apung sebentar saja.
“Oke.”
Apung masuk ke kantin, lalu memesan segelas susu hangat untukku dan pesanannya sendiri. Dia datang ke meja masih dengan wajah merah padam. Malu. Malu kenapa dia? Perubahannya drastis sekali.
“Mau cerita apa?” tanyaku. Tanganku merogoh tas untuk mengambil peralatan menggambar. Jika sering melihat kebiasaan menggambarku, EGP-lah. Orang yang belum tahu, pasti menganggapku ribet dan sok pintar. Ah, susah kalau sudah berhubungan dengan anak manusia yang isi kepalanya cuma mencacati hidup orang.