Sheren memasuki gedung megah yang dipenuhi dekorasi bertema flora yang menenangkan, matanya menjelajahi tiap sudut ruangan yang dipenuhi para tamu undangan yang berpakaian glamour dan memesona.
“Kamu mau ikut mama salam ke pengantin atau mau makan duluan?” tanya mama sambil sedikit memperbaiki tatanan hijabnya.
Sheren menggaruk tengkuk. “Sheren makan aja deh ma, lagian Sheren gak kenal sama tante pengantinnya,” katanya.
“Bilang aja laper,” celetuk Sean, adik laki-lakinya.
Sheren hanya melengos malas mendengar cibiran adiknya.
Sang mama menghela. “Yaudah sana! Jangan matiin HP kamu ya, nanti mama kabarin,” pesannya kemudian mulai mengantri untuk menyalami pengantin di pelaminan sana.
Sheren yang merasa bebas cepat-cepat keluar dari gedung dan keramaian pesta pernikahan yang memusingkan.
Ia memanyunkan bibirnya. “Ngapain mama ajak gue segala, padahal Sean juga cukup untuk setor muka ke pengantin,” gerutunya sambil berjalan menyusuri bagian sisi gedung.
Mata Sheren tertuju pada sebuah taman dengan permainan ala kadarnya seperti perosotan dan—
“Ayunan!” pekiknya kemudian berlari kecil menghampiri ayunan itu dan menaikinya. Sheren menendang udara untuk mempercepat laju ayun nya, ia sungguh menikmati bagaimana angin menyapu rambutnya hingga berantakan. Saat dirasa cukup lelah, ia pun berhenti mengayun.
“Ngapain sih repot-repot dateng ke pernikahan orang lain, kirim doa juga cukup,” gerutunya lagi.
“Kedatangan tamu sangat berarti bagi kedua mempelai, secara tidak langsung para tamu menjadi saksi awal mula lembaran kehidupan baru mereka,” ujar sebuah suara.
Sheren sempat bergidik, kemudian gadis itu cepat-cepat menoleh ke belakang dan mendapati seorang pria duduk di kursi tak jauh di belakangnya.
“Om siapa?” tanya Sheren sambil menautkan alisnya.
Pria itu tersenyum tipis. "Mengapa pandangan kamu soal pernikahan begitu cetek? Apa kamu tidak punya tunangan atau pacar?”
Mata Sheren membelalak. “Om gila?! Umur gue masih 18 tahun, tunangan apanya?!” ujarnya dengan nada sedikit tinggi.
“Umur saya juga masih 22 tahun, panggil kak juga cukup, gak perlu sampai panggil om,” pria itu mendengus geli.
Sheren turun dari ayunan dan mulai melangkah mendekati pria berbalut kemeja putih dan dasi kupu-kupu itu.
“Kakak pelayan katering?” tanya Sheren sambil duduk di sebelahnya.
“Ya begitulah."
Pria itu memandang langit "saya udah menyaksikan ratusan mempelai berbahagia menyalami para tamunya. Entah mengapa itu suatu kebahagiaan juga bagi saya,” ujarnya.
Sheren menyipitkan mata “Kakak kebelet nikah ya?" terka gadis itu.
“Ck bukan! otak kamu memang cetek ya?” pria itu mengetuk pelan kepala Sheren hingga gadis itu mengaduh.
“Cari pacar atau minta djodohkan sana sama ibumu.”
“Ngapain susah-susah cari pacar, ujung-ujungnya putus juga, kan belum tentu dia jadi jodoh kita, jatohnya kita jadi sayang sama jodoh orang,” ujar Sheren sambil mengayunkan kakinya.
“Kalau orang 'itu' beneran jodohmu gimana?”