Brakk!
“Nih nilai matematika lo! buset ini nilai apa diameter otak lo? kok kecil banget,” suara Raka pada Arven yang sedang membagikan hasil penilaian harian tempo hari.
Arven hanya menghela.
“Eh nilai lo berapa? Remidi gak?” tanya Raka pada temannya.
“Gue 80, lumayan lah!”
“Anjir lumayan banget lah! Daripada dia dapet 35!” ujarnya sambil tertawa, entah apa yang lucu.
Tapi Arven sama sekali tidak mempedulikan tingkah gila teman-teman sekelasnya, tanpa menyembunyikan lembar penilaian hariannya Arven bangkit kemudian bersiap meninggalkan kelas.
Brugh
Suara tawa kembali memecah kelas setelah salah satu dari mereka menyandung Arven hingga jatuh. Kacamata kotaknya terhempas jauh, membuat pandangan Arven sedikit buram.
“Gue heran kenapa lo bisa keterima di sekolah ni, lo nggak kaya, dan lo nggak pinter. Atau jangan-jangan Ibu lu buka praktek ya di rumah?”
“Iyalah pasti! Terus, kepala sekolah di guna-guna sama ibunya!”
“Hahaha! Sialan kok tau sih lo?!”
“Tau dong! Pantes bokap dia minta cerai sama nyokapnya, ternyata nyokapnya buka praktek!”
Suara suara mereka sukses membuat telinga Arven memanas, cowok itu bangkit dan menatap orang-orang di sekelilingnya dengan nyalang.
“Apa lo liat-liat?!” bentak Raka.
“Berani dia!”
“Hajar!”
Belum sampai sedetik Arven sudah kembali tersungkur akibat tendangan kencang dari mereka, tak sampai disana Arven pun menerima pukulan di pelipisnya juga banyak jambakan.
Buagh!
Dugh!
Arven tidak berteriak atau apapun, cowok itu hanya diam berusaha melindungi dirinya sendiri.
“Astaga Arven!” suara melengking ikut meramaikan suasana kelas yang gaduh.
Sheren menaruh jajanannya di sembarang meja kemudian menghampiri kerumunan manusia tidak berhati tersebut.
“Raka lo ngapain sih?!” tangan Sheren berusaha menghalau Raka dan teman-temannya yang masih saja menghantam Arven.
Buagh!
“Aw!”
Raka tidak sengaja menyikut rahang Sheren hingga gadis itu mendangak.
Arven menatap gadis yang barusaja terpekik itu, Nampak dari matanya cairan merah keluar dari rahang Sheren. Arven hanya diam membeku, ia sendiri rasanya tidak dapat menolong Sheren sekarang.
Sheren berdecak kemudian menarik Raka dan teman-temannya dari hadapan Arven, sesudahnya Sheren menarik lengan Arven untuk bangun dan menyeretnya keluar kelas.
Makian dari Raka dan teman-temannya mengirinya perginya mereka berdua. Mau bagaimanapun Sheren sudah bertindak, dan para lelaki itu tidak bisa ikut memarahi sang ratu sekolah.
“Eh Sheren mau kemana?” tanya Arora, gadis itupun bersiap untuk mengikuti Sheren dan Arven.
“Jangan,” suara Reon.
“Hah? kok jangan sih?!”
“Dia nggak apa-apa, biarin dia jaga Arven,”
✨✨✨
“Kenapa diem aja sih?” omel Sheren sambil mengobati pelipis Arven dengan obat merah.
Arven hanya diam, susah payah ia menahan matanya agar tidak terus-terusan menatap wajah cantik Sheren yang sedari tadi mengomelinya.
Setelah selesai mengoles obat merah, Sheren menutup luka Arven dengan perban. Kemudian gadis itu berkacak.
“Lo ada masalah apa sama anak sekolah ini?” tanya Sheren.
Arven membuang muka “Kamu tidak perlu tahu, urus saja dirimu sendiri. Lihat! Rahang kamu juga terluka,” ujar Arven.
Sheren terdiam, kemudian memegangi rahangnya yang kini terdapat noda darah yang sudah mengering.
“Gue nggak minta lo ngelawan mereka, tapi kalo lo dihajar seenggaknya bela diri lo sendiri, jangan pasrah gini,” ujar Sheren sambil mengurus lukanya sendiri.
Arven bangkit dari duduknya, membuat Sheren harus mendongak karena tinggi Arven yang terlampau tinggi darinya.
“Saya nggak minta kamu lakukan ini, tapi terima kasih,” ujar Arven sambil melewati tubuh Sheren begitu saja.
Tanpa menoleh ke arah Arven, gadis itu menghela.
Brakk